Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepala Sekolahku yang Bengis!

12 Desember 2013   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:02 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala Sekolahku yang Bengis!

Menjadi murid dengan ber-IQ di atas rata-rata memang (sangat) menyenangkan. Banyak teman dan juga sangat dikenal seluruh antero seisi ruang sekolah. Namun dengan kepintaranku itu ternyata tidak selalu membawa kebanggaan pula. Ada saja cobaan! Ini bukan dari teman sekelas apalagi yang lainnya. Tapi ini berasal dari penghuni sekolah juga. Tak lain tak bukan adalah kepala sekolahku sendiri. Itulah cobaan yang berasal datang menghampiri.

Salah satunya adalah dibully secara verbal yang kurasakan! Karena aku saat itu adalah murid dengan ber-IQ di atas rata-rata tetapi dalam kehidupan taraf tidak punya. Alias, hidup pas-pasan!

Memang aku hidup dari keluarga pas-pasan. Apapun dilakukan dengan cara pas-pasan pula. Berangkat-pulang sekolah pun aku jalan kaki. Walau jarak tempuh lumayan jauh bila kuukur dengan langkahku yang saat itu masih duduk di bangku SMP kelas Satu. Saat itu masih di tahun 1993. Aku setiap hari melakukan itu!

Tanpa mengeluh apalagi menggerutu kujalankan dengan sebisaku. Karena sikon (situasi dan kondisi) aku pun harus membiasakan menghadapi dan melakukan itu. Bagaimana pun terjadi. Karena bagiku sekolah adalah penting untuk nanti dimasa depanku. Apalagi masalah pendidikan nomor satu yang harus aku utamakan! Dengan kondisi berbagai polemik yang aku lalui tetap kujalani. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh kepala sekolahku.

Kepala sekolahku selalu mencibir dan merendahkanku. Karena apa?

Aku dari keluarga pas-pasan! Keluarga yang kurang mampu saat itu. Jadi percuma aku ber-IQ di atas rata-rata dari teman-teman di kelas maupun sekolah. Aku selalu dibully secara verbal oleh kepala sekolahku!

“Percuma kau pintar! Ber-IQ tinggi kalau kau hidup susah. Mana mungkin kau bisa sekolah tinggi nanti?”

Begitu setiap kali aku dipanggil ke ruang guru. Tak lain. Tak bukan mengenai biaya administrasi. Uang SPP yang belum terbayarkan selama dua bahkan sampai tiga bulan menunggak. Tapi aku sudah biasa dengan ritme kehidupanku di sekolah. Kalau bukan dipanggil di ruang guru karena belum bayar uang SPP. Kadang menerima pembully-an dari kepala sekolahku.

Tapi itu dulu saat kurasakan betapa sakitnya dibully secara verbal oleh kepala sekolah di masa bangku SMP. Aku masih selalu ingat masa-masa pembully-an di sekolah oleh kepala sekolahku. Bahkan sampai-sampai aku “balas dendam” jika suatu saat nanti akan kubuktikan. Apa yang dikatakan oleh kepala sekolahku itu salah.

"Orang susah tidak boleh sekolah tinggi!" Begitu katanya.

Padahal itul adalah sebuah tindak ketidakmanusiawian. Bukan mencerminkan salah satu citra seorang pendidik. Namun aku saat itu tak menggubrisnya apalagi menghiraukannya melainkan menyimpan ucapan-ucapan itu sebagai motivatorku. Kalau aku tidak seperti apa yang dikatakannya itu. Walau pun masih rasa kecewa terhadap kepala sekolahku di masa SMP itu. Karena aku manusia akhirnya aku melupakan itu semua. Aku mema’afkan beliau tanpa rasa kesumat Lagi pula Tuhan saja mau mema’afkan hambaNya kenapa aku tidak! Bukankah itu pongah namanya?  Tapi orang seperti itu masih ada menghias di bumi ini. Entah.

Itulah kehidupan…

Akhirnya aku bisa seperti sekarang ini! Tidak jauh-jauh profesi yang kujalani saat ini. Ternyata sebelas-dua belas dengan kepala sekolah SMPku sebagai seorang pendidik. Tetapi aku tidak akan menjadi seorang pendidik yang bengis. Selalu memandang seseorang dari derajat dan martabatnya. Aku ingin memuliakan orang-orang yang seperti diriku pada masa-masa itu. Bila aku mau ingin memberikan ilmu secara gratis bagi yang membutuhkan ilmuku tanpa pamrih apalagi dibayar oleh rupiah.

Kalau begitu dimana sekarang keberadaan kepala sekolah bengisku itu?

Sekarang kepala sekolahku sudah tiada. Meninggal dunia karena kencing manis (diabetes militus). Itu aku ketahui dari mantan guru-guruku di bangku SMP.

Haruskah aku mema’afkan kembali?

Lagi-lagi iya! Apalagi aku mendo’akan agar liang kuburnya diberi cahaya terang. Halnya ilmu yang akan aku sampaikan nanti bagi yang membutuhkan ilmuku.

Dan satu hal yang kuharapkan lagi. Tak ada lagi kepala sekolah-kepala sekolah yang bengis di tanah air ini. Hanya karena persoalan ketiadaan ekonomi seorang murid. Tak mampu membayar uang SPP harus melakukan tindak ketidakmanusiawian. Miris sekali.[]

diruangtanpatelingadanmata, 11122013

-Berkomentarlah dengan bijak! Setelah itu voted-

sumber ilustrasi : www.gamewallpapers.us

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun