Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya dan Buku Itu: Dont Judge a Book from It's Cover

26 November 2013   17:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dan Buku Itu: Dont Judge a Book from It's Cover

[caption id="attachment_304583" align="aligncenter" width="452" caption="www.tower.com"][/caption]

“Saya tidak  menyangka kalau kamu kok bisa baca buku seperti itu!”

”Bro, jangan kebanyakan baca buku kayak begitu. Buku Djenar Maesa Ayu lagi. Nanti otak lo mesum tauu...

”Ah, biasa aja kok bukunya!”

Entah berapa banyak lagi masukan dan ucapan seperti itu berseliweran di telinga saya. Dan betapa itu membuat telinga saya gatal ketika saya sedang asyik melahap isi dari buku ” 1 Perempuan 14 Laki-laki” karya cerpen yang menganut kaum feminis ini, Djenar Maesa Ayu pada saatitu. Begitu saya bilang!

Hmm...dan itu membuat saya tersenyum.

Jujur saya membaca karya-karya beliau bukan itu tujuan saya—maaf— memesumkan otak saya dengan buku yang saya baca. Tetapi saya membaca buku-buku itu; dimulai dari ”Mereka Bilang: Saya Monyet, ”Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”, ”Cerita Pendek tentang Cerita Pendek”  sampai terakhir ini—”1 Perempuan 14 Laki-laki” . Hanya satu yang ada di benak saya—sedang ”mengumpulkan” kosakata dan diksi untuk saya pelajari nanti ketika saya sedang menulis. Adakah yang salah?

Hingga saya teringat dengan ucapan Djenar Maesa Ayu yang saya kutip dari majalah Mata Baca/edisi Juni/2006 hal. 6 dan 7 seperti beliau katakan.” Itu prasangka namanya. Saya malah sering kasihan kalau ada yang bilang karya saya porno. Kadang mereka main asumsi. Belum baca main cap saja. Karya saya ditunjukan bagi pembaca dewasa, dengan tanda petik. Ada yang merasa dewasa lewat umur. Saya melihatnya  dari sudut pandang  pembaca dewasa  yang siap dengan kedewasaannya, bukan dari umurnya.”

”Kenapa buku-buku itu yang jadikan buat contoh bukan yang lainnya?”

Pasti Anda akan berkata demikian bukan? Jika saya tidak berkata begitu bukan?J

Oya, saya lupa memberitahukan pula! Saya juga suka kok dengan karya-karya Helvy Tiana Rosa apalagi yang ”Bukavu” dan adiknya Asma Nadia ”Istana Kedua” dan kumpulan album (kumcer) ”Emak Ingin Naik Haji”. Dan itu benar-benar membuat saya takjub dan tak bisa berkata. Dan buku kumcernya si penulis idola saya Seno Gumira Adjidarma ”Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Itu awal saya mencintai dan menghargai cerpen dan seorang budayawan serta mantan photografer, Seno Gumir Adjidarma a.k.a SGA—sapaan akrabnya. Setelah itu saya makin menggandrungi karya-karyanya. Karena mereka itu yang menginspirasikan saya itu menggeluti dunia tulis menulis—dalam hal ini dunia sastra.

Lagi-lagi itu semua saya lakukan karena ingin mengenal dan menghargai karya besar cerpenis dan novelis yang lainnya. Bukankah penulis sekaligus pembaca yang bijak dan tidak sombong itu harus menghargai karya-karya cerpenis dan novelis besar lainnya? Jadi apa salah jika saya membaca karya-karya itu semua, bukan?

Dan juga saya katakan, saya melakukan itu karena untuk mengetahui hasil proses kreatif mereka dan bagaimana mereka bisa menghasilkan seperti itu. Dan itu tak lebih dari apa yang saya lakukan. Entahlah, jika Anda mempercayainya. Entah.

Maka dari itulah jika saya (sering kali) mendapatkan masukan dan ucapan seperti itu  saya menganggapnya biasa-biasa saja. Lagi pula itu hak prerogatif seseorang tak ada yang berhak menilai dan menjudge seseorang untuk membaca buku itu, benakan? Apalagi jika saya dilarang nantinya. Kan ini buku-buku saya. Saya beli dan saya pelajari.Hehe

Tapi saya bersyukur toh mereka secara tidak langsung ternyata peduli juga dengan karya-karya yang saya baca itu.

Memang akhir-akhir ini saya sedang menggandungi karya-karya seperti itu. Dan lebih menjurus ke sastra. Seperti buku-buku yang sering saya baca selama ini baik dari karya-karya Agoos Noor, Damhuri Muhammad, Hamsad Rangkuti, Ayu Utami, Clara Ng, Lan Fang dan juga satu karya yang masih fresh. Karya dari teman saya yang sekarang ini menjabat penulis, penyair serta PNS—dalam karyanya berbentuk kumpulan cerpen.

Oya, selain buku-buku itu—saya juga memiliki beberapa buku lainnya. Kalau tidak salah hitung saya sekarang ini sudah memiliki buku sekitar kira 150-an eksemplar buku. Entah, dari buku kumcer (kumpulan cerpen) remaja maupun dewasa juga ada anak-anak lalu ditambah buku-buku novel islami maupun yang umum dan juga buku-buku non fiksi. Baik yang how to maupun buku panduan atau tips and triks menulis. Maklum begini-begini saya punya perpustakaan sendiri di ruang inspirasi saya. Tak lain ruang inspirasi saya itu ruang kamar tidur saya sekaligus tempat saya bekerja.

Kenapa saya mempunyai perpustakaan pribadi? Karena saya ingin membiasakan diri saya selalu mencintai buku. Dan juga dekat dengan buku. Lalu hidup dengan buku pula. Ya, kalau bisa mati sedang memeluk buku. Mati dengan yang baik. Husnul khotimah. Amin

Memang sebelum saya terjun membuat perpustakaan pribadi. Saya sudah berjanji pada diri saya. ”Jika suatu saat nanti saya harus bisa memiliki perpustakaan buku.” Begitu gumamam saya saat ketika saya sedang memilih buku di toko buku. Memilih untuk saya beli dan saya jadikan koleksi perpustakaan pribadi saya nanti saat itu. Dan itu saya lakukan step by step. Setahap demi setahap. Buku demi buku saya beli lalu saya kumpulkan. Dan...alhamdulillah akhirnya impian saya untuk memiliki perpustakaan pribadi terkabul. Amin. Allahuma amin....

Satu lagi hal ini saya lakukan sekaligus semata-mata untuk diri pribadi khususnya. Pun belajar untuk mendisiplinkandiri untuk saya agar peduli dengan janji saya itu sejak ingin membuat perpustakaan pribadi. Walau pertama kali berat untuk melakukannya. Apalagi saya ini termasuk tipe orang yang boros untuk masalah memegang uang. Walau pun uang itu hasil jerih payah halal saya. Pasti apa saja yang saya inginkan pasti saya beli. Tanpa melihat manfaat dan gunanya. Alih-alih. apa yang saya beli tak bertahan lama. Tak abadi. Lain hal dengan buku. Jika buku sampai kapan pun tetap abadi jika saya bisa pandai merawatnya.

Akhirnya ketika saya melihat kebiasaan buruk itu akhirnya saya berjanji untuk berhenti. Hingga impian untuk memiliki perpustakaan pribadi pun terbersit—dan menggebu-gebu. Hingga akhirnya pun terlaksana juga sampai saat iniNamun sejak saya memiliki perpustakaan pribadi hidup saya pun teratur. Dan kini saya bisa teratur membeli buku di toko buku. Kira-kira jika saya membeli setiap bulannya 2 buah perbuku. Baik novel maupun kumpulan cerita (kumcer). Begitulah seterusnya hingga sekarang ini. Dan kini perpustakaan saya dipenuhi buku.

Dan juga ada satu hal yang Anda perlu ketahui tentang saya. Saya pun memiliki keunikan jika dalam membeli buku untuk saya koleksi di perpustakaan pribadi. Keunikan saya itu adalah ketika memilih buku. Saya tak peduli jika memilih buku. Saya tidak melihat cover buku itu jelek atau kurang bagus. Bagi saya jika itu bagus menurut saya pasti saya akan membeli dan mengoleksinya. Bukankah tak selamanya cover itu mewakilkan isi buku seluruhnya. Halnya ketika saya membaca buku-buku yang saya sebutkan di atas. Walau pun orang melihat buku-buku yang sayang baca itu terlalu ekstrem atau terlalu—maaf—pornografi tapi lagi-lagi saya tidak melihat itu semua.

Dan juga saya katakan di atas tadi. Saya melakukan itu karena untuk mengetahui hasil proses kreatif mereka dan bagaimana mereka bisa menghasilkan seperti itu. Dan itu tak lebih dari apa yang saya lakukan. Entahlah, jika Anda mempercayainya.

Saya semata-mata hanya ingin mengetahui kreativitas mereka dalam menghasilkan karya itu—dan bagaimana menyelesaikan proses kreatif buku itu saja. Tak ada yang lebih! Hanya itu saja. Kalau pun ada yang menilai “miring” tentang buku yang—saya baca saya menganggap itu sebagai bentuk perhatian dan saya hanya menghadiahkannya dengan senyuman.

Hingga hal ini membuat saya berpikir bahwa anggapan dont judge a book from its cover. Bagi saya itu tak berlaku bagi orang-orang yang tidak tahu bahwa dibalik itu tersimpan harta karun yang berharga. Karena bagi yang tidak mengetahuinya lagi-lagi hanya melihat dari kulit luarnya saja. Halnya sama ketika orang-orang menilai saya sebagai penulis. Karena kenapa? Karena saya masih nol! Dan belum bisa apa-apa. Dan saya hanya bisa membalasnya dengan senyuman pula.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun