Mata sipit Torik masih menatap layar laptop di ruang tamu kosan dengan penuh pandangan nanar. Sesekali ia memincingkan kacamata minusnya yang bertengger di hidung betetnya ke arah kalender dinding yang sejak tadi diam membisu.
Membisu? Ya, sebisu hati Torik kala itu. Tak tahu apa yang seharusnya ia gumamkan kala itu. Apalagi angka 25 berwarna merah berlingkar dengan spidol hitam di kalender yang seminggu lalu ia lingkari berkali-kali mengulik-ngulik hatinya itu. Agar ia cepat-cepat menyadarinya itu.
”Ngerjain tugas kuliah apa melamun nih?!” tiba-tiba suara Yusuf mengejutkan Torik yang sedang mengerjakan tugas kuliah seorang diri.
Torik tidak menyadari kedatangan teman sekosannya itu. Ia malah melamun di depan layar laptop yang sudah mematulkan cahaya ke kacamata minusnya. Sungguh menyilaukan mata. Apalagi cahaya lampu di ruangan itu tidak begitu terang benderang sehingga sangat menyilaukan mata.
Tapi itu tidak lama. Akhirnya Torik menyadari kedatangan Yusuf saat itu. Dan ia menjadi salah tingkah.
”Ma’af Rik aku mengagetkan kamu! Oya, kamu nggak pulang natalan ke Bandung. Ke rumah orangtua kamu. Masa sih kamu tidak datang untuk hanya sekedar bertemu saja. Kamu nggak usah khawatir aku yang jaga kosan ini,” lanjut Yusuf meminta ma’af atas perbuatannya mengagetkan Torik yang semata-mata hanya berkelakar.
Torik hanya diam sesaat. Tiba-tiba matanya keluar gerimis kecil hingga mengeluarkan anak sungai airmata di kelompak matanya yang sipit itu. Padahal ia sendiri tidak menyadari itu. Hingga tangannya refleks menyeka genangan airmata itu di mata sipitnya. Lagi-lagi itu ia tidak menyadari kalau Yusuf memperhatikannya.
”Kamu menangis Rik? Ada apa cerita dong sama aku! Siapa tahu aku bisa membantu kamu. Walau aku tahu kita berbeda keyakinan namun sebagai teman sekosan aku patut menomorsatukan kepedulian terhadap sesama serta persahabatan. Bukankah kita sudah empat semester satu kosan?”
Yusuf meyakinkan keraguan Torikyang sedang meraja di tempurung otaknya. Namun hal itu tetap saja tidak merubah keraguan Torik luntur saat itu. Tapi makin membaja di hatinya. Atau, apakah Torik harus berkata sejujurnya kepada Yusuf?
”Ah, tidak! Tidak! Aku tidak mau merepotkan Yusuf kembali apalagi ia sudah begitu baik kepadaku. Seminggu yang lalu saja ketika aku demam seorang diri di kosan Yusuf pula membantunya. Apakah sekarang aku harus merepotkan ia juga?” Pikiran Torik makin tidak menentu dengan kegundahan hatinya itu.
”Ya, sudah kalau kamu enggan untuk bercerita kepadaku. Aku tidak mengapa. Aku asik-asik aja kok, Rik! Tapi jika kamu perlu teman bicara bangunkan aku aja nanti. Tapi sekarang aku mau istirahat dulu barang sejenak. Mungkin nanti pukul 02.00 dini hari aku harus bangun sekalian mengerjakan tugas kuliah pula.”
Akhirnya Yusuf meninggalkan Torik di ruang depan kosan. Tdak menunggu lama punggung Yusuf sudah tidak terlihat dari pintu kamarnya oleh mata sipit Torik.
Torik kembali mematung di depan layar laptopnya.
Malam itu Torik merasakan begitu dingin. Tulang sum-sum yang terbungkus daging tak luput dari rasa itu. Ia mengigil di ruang depan kosan. Apalagi hujan di luar kosan itu makin deras turunnya. Hingga hal itu mengingatkannya pada natal semasa ia duduk di bangku SD.
Ya, jika hujan menjelang natal Torik selalu berdoa kepada Tuhan agar esok tiba natal hujan itu berhenti segera. Ia berharap banyak menerima hadiah, baik dari Ayah-Ibu dan Kak Alex serta Kak Tian maupun dari Tante Amel dan Om Johan tentunya. Ternyata...do’anya terkabul. Keesokannya ia mendapatkan kebahagiaan tiada tara.
Torik tersenyum sendiri malam itu ketika mengingat masa kecilnya ketika natal dahulu. Lagi-lagi ia masih depan layar laptopnya yang sedang berkedap-kedip. Ia juga tidak tahu kalau jam duduk di meja telpon sudah menunjukkan pukul 23:59. Malam sudah makin larut tapi hujan di luar sana masih terus deras turun.
Hoammm...Torik akhirnya terserang kantuk secara bertubi-tubi. Kelopak matanya seperti menahan beratus-ratus ton benda berat yang menindihnya. Ia pun kalah juga dengan rasa kantuknya itu. Walau layar laptopnya masih menyala.
Pukul 02:00 dini hari pun telah menujukkan di jam dinding. Yusuf pun bangkit dari tidur. Ia keluar dari kamarnya untuk menuju kamar mandi untuk berwudhu. Ia ingin melaksanakan shalat sunah malam dua rakaat setelah itu ia melanjutkan dengan mengerjakan tugas kuliahnya.
Namun saat kakinya gontai menuju ke kamar mandi ekor matanya melirik ke arah Torik yang terkapar di depan layar laptop. Dan itu membuat perasaan hatinya tidak mengenakan. Akhirnya ia batalkan menuju ke kamar mandi lalu menyapari Torik yang saat itu seperti orang tidak berdaya di depan laptop masih menyala.
Dan saat Yusuf sudah mendekat di hadapan Torik lalu tangannya menyetuh pundaknya. Ia terkejut bukan kepalang. Wajah Torik sudah memucat. Seluruh badannya dingin membeku seperti mayat yang telah meninggal tiga hari.
”Torik bangun! Bangun, Torik...! Masya Allah...Torik kamu...”
Pagi itu hujan masih belum reda. Pagi masih buta. Belum terlihat fajar dari balik awan timur. Yusuf pun panik seketika saat mengetahui Torik perlu pertolongan segera saat itu. Dengan penuh tanggungjawab sesama teman sekosan ia mencari bantuan sesama teman kosan lainnya. Bersyukur teman-teman kuliahnya masih berdekatan dengan kosannya itu. Akhirnya dengan menerjang hujan di pagi buta ia pun meminta pertolongan dan bantuan sesama teman kuliahnya dilain kosan.
”Mat, tolong bantuin aku! Torik perlu pertolongan kita segera. Aku tidak bisa sendiri membantunya. Karena aku bingung sakit yang diderita Torik lebih parah dari yang dulu saat ia demam. Ayolah Mat bantu aku untuk membawaTorik ke rumah sakit,” tidak butuh lama Yusuf pun menghampiri kosan Rahmat. Ia meminta bantuan terhadap teman satu jurusannya itu.
”Ba-baik! Tapi aku bangunkan si Aldi sam Faisal ya untuk meringankan kita juga!” tukas Rahmat memberikan usulan kepada Yusuf.
”Ya, terserah kamu sajalah asal tidak merepotkan kalian. Kalau begitu aku balik dulu ke kosanku untuk mempersiapkan ke rumah sakit.”
”Sip!”
Pagi itu Yusuf tidak bisa mengerjakan tugas kuliah dan apapun. Ia lupakan semua yang sudah direncanakannya. Itu semata-mata ia harus membantu teman sekosan Torik yang butuh pertolongan darinya. Apalagi ia tahu membantu teman sekosan sudah tanggungjawabnya sesama manusia tanpa melihat siapa dia, apa agamanya maupun dari asalnya. Baginya hidup saling membantu dan menolong itulah ia tanamkan dalam hidupnya sejak kanak-kanak. Karena ia tahu sejak kanak-kanak di kampung halamannya orangtuanya itu selalu mendapatkan bantuan dari sanak saudara maupun tetangganya. Maka dari itu ia menanamkan rasa kepedulian terhadap sesama berawal apa yang dialaminya.
Esokannya Yusuf pun menjenguk Torik ke ruang inap di rumah sakit. Ia hampiri Torik dengan suka cita. Walau di saat pagi buta itu ia diliputi kekhawatiran yang meraja. Ia khawatir jika teman sekosannya itu tiada di kosan. Dan betapa rumitnya ia jika hal itu terjadi. Tapi Sang Khalik membantu dirinya dengan do’a-do’a ia panjatkan selama ini agar menjadi orang berguna bagi orang-orang disekelilingnya.
Sampailah Yusuf di ruang inap Torik. Saat itu Torik sudah siuman. Ia sudah bangkit dari tidur. Jam jenguk pasien pun sudah tiba. Itu membuat ia bisa lebih lama untuk menanyakan apa yang terjadi dengan yang dialami Torik di hadapannya.
”Terima kasih ya Suf kamu sangat baik dengan aku. Aku selalu menyusahkan kamu terus disaat aku perlu bantuan seperti pagi buta itu. Memang kuakui aku yang salah telah menyakiti diriku tanpa sengaja. Sejak pagi aku lupa makan hingga akhirnya lambungku tidak kuat untuk menahan lapar. Apalagi sakit maagku sudah kronis hingga aku tidak sadar telah menyiksa diriku sendiri,” Torik pun menyesali apa yang ia tidak sengaja dilakukannya hingga mengakibatkan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
”Sudahlah, Rik jangan kamu berkata apa-apa dulu. Yang sudah terjadi biarlah menjadi pembelajaran buat kita. Aku pun juga senang membantu kamu,” jawab Yusuf menenangkan hati Torik.
”Ta-tapi...”
” Iya, tapi apa, Rik!”
”Kalau kamu ingin tahu kenapa natal kali ini aku tidak ke Bandung walau hanya sekedar bertemu dengan orang yang kucintai selama ini. Karena aku sudah tidak seiman dengan mereka. Aku pindah keyakinan saat aku kos dengan kamu. Aku diam-diam telah memutuskan keyakinanku dengan ikhlas dan ridho. Aku telah berpindah keyakinanku sejak dua tahun lalu tanpa kamu ketahui, Yuf.”
Tiba-tiba ruang inap menjadi senyap. Bisu. Seperti Yusuf saat itu tiba-tiba mulutnya terkunci rapat ketika mendengar ucapan Torik di hadapannya.
”Iya, aku sudah pindah keyakinan saat satu semester. Aku diam-diam melihat kamu shalat dan selalu bertilawah. Sungguh betapa sendu dan terhanyut aku dikala kau membaca ayat-ayat suciMu. Tidak butuh lama aku pun memutuskan untuk menjadi mukallaf di masjid dekat kampus kita. Aku sengaja tidak memberitahukan kamu. Setelah itu aku langsung ke rumah orangtuaku untuk memberitahukan kalau diri ini tidak seiman lagi dengan mereka. Tapi apa yang aku dapatkan? Aku terusir dari rumahku sendiri terlebih kakakku Alex dan tian. Mereka menentang keputusanku. Tapi tidak dengan Mamaku ia menerima keputusanku yang aku pilih walau pertamanya ia merasa kecewa. Namun Mamaku tidak bisa berbuat banyak karena aku sudah menempuh jalanku sendiri biar bagaimana pun. Bukan itu saja hidayahalh yang membuatku menjadi orang baru terlahir kembali. Dan aku sekarang sudah seiman dan sama dengan kamu, Suf. Apa kamu mau menerima aku menjadi sudara seimanmu dan juga maukah kamu mengajarkan aku asmaul husna untuku?” lanjut Torik menceritakan semua apa yang sudah dialaminya.
Lagi-lagi Yusuf masih membisu. Ia tidak mempercayai jika perjuangan Torik begitu berat ketimbang dirinya. Hanya memutuskan pindah keyakinan ia merelakan segalanya bahkan kehidupannya.
“Jadi karena hal ini kamu tidak ke Bandung. Walau hanya sekedar bertemu?”
’Iya, Suf! Aku sudah yakin dengan pilihanku ini! Dan kuyakin Mama sudah mengikhlaskanku jika natal-natal selanjutnya aku tidak akan datang bahkan selamanya...”
Akhirnya kedua insan yang sekarang ini sama-sama menjadi satu pilar keyakinan di ruang inap itu akhirnya diliputi keharuan. Saat itu bertepatan dengan terdengar sayup-sayup suara adzan ashar dari balik ufuk barat.
.
”Suf, kita shalat jama’ah ya. Aku tayamun saja. Dan kamu jadi imamku. Kan kita belum pernah shalat jamaah....”
20122012
Indahnya perbedaan dan damainya saling menolong dan membantu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H