Ujian Nasional Patutkah Menjadi Momok?
Hari ini, Senin (05/05) para pelajar dari tingkat SLTP khususnya kelas IX (baca : kelas tiga SMP) senusantara sedang melakukan Ujian Nasional (baca : UN) untuk menentukkan apakah mereka bisa melaluinya dengan hasil gemilang atau tidak? Doakan saja tahun 2014 ini dari tingkat SLTP bisa 99% lulus semua!
Walaupun nanti ada sebagian di daerah di negeri ini ada yang melakukan UN tidak serentak. Alias, telat. Karena masalah tekhnis maupun pengiriman naskah ke seluruh daerah yang terhambat. Itu dapat dimaklumi. Kecuali terjadi kecurangan di dalam melakukan ujian itu sendiri. Itu perlu dilakukan tindakan yang tegas.
Bicara UN saya jadi teringat dengan perbicangan pada seorang ibu muda yang memiliki anak laki-lakinya berusia 11 tahun. Anaknya itu masih duduk di bangku kelas VI. Dalam perbincangan itu saya dan ibu muda membicarakan UN untuk anaknya yang sebentar lagi akan ikut ujian kelulusan nanti.
"Untungnya sekarang untuk SD tidak ada Ujian Nasional. Hanya ada ujian mandiri dari pihak sekolah. Jadi soal kelulusan itu tergantung dari nilai-nilai anak didik itu sendiri bukan dari adu nasib ketika UN yang disetarakan ke seluruh lapisan sekolah yang sederajat. Semua ditentukan oleh UN."
Saya yang mendengarkannya cukup takjub dengan pemikiran ibu muda tersebut yang merupakan adalah tetangga saya—dan juga adik kelas saya yang sekarang sudah memiliki anaknya di kelas VI itu.
"Saya bersyukur tahun ini anak saya tidak berhadapan dengan UN. Masa selama belajar 6 tahun ditentukan sama UN kan namanya tidak adil."
Saya kali ini manggut-manggut.
Entah apakah menurut ibu muda itu benar atau tidak jika UN baik dari tingkat SLTP dan SMU/SMK disamaratakan dengan tingkat SD. Tidak melakukan UN melainkan ujian mandiri sekolah saja.
Hal ini pun juga membuat pertanyaan di benak saya? Apakah dengan UN mereka seusai melakukan itu akan menjadi anak-anak impian bangsa ini? Tidak juga, kan! Kalau pun ada hanya segelintir yang bisa mengharumkan nama bangsa dengan prestasi-prestasinya yang gemilang itu. Sehingga mendapatkan beasiswa baik dari domestik maupun di luar.
Padahal kalau ditelisik lebih jauh tanpa UN tetap anak-anak didik (para siswa) kita bisa menjadi yang terbaik dan mendapatkan predikat dan nilai yang tinggi. Untuk patut dibanggakan. Bukankankah UN itu sendiri malah menjadi anak didik semakin was-was dan mengakibatkan gejala psikologi sehingga akan menggangu daya pikir mereka? Entalah.
Itu pun kalau bisa berkaca pada Negara-negara maju. Lihat saja seperti Negara Finlandia, Amerika Serikat, Jerman, Kanda dan Australia. Mereka toh tidak mewajibkan anak-anak didiknya melakukan dan mengikuti UN. Negara tersebut punya standarisasi untuk mereka apakah akan lulus untuk melanjutkan jenjang selanjutnya. Semua itu tergantung dari pihak sekolah bila tidak diadakannya UN melainkan ujian mandiri sekolah
Lantas kenapa Negara ini (Indonesia) tidak bisa mencontohnya atau berkiblat ke sana? Entah. Bagia saya sebagai seorang pengajar terpenting UN bukanlah seorang algojo yang perlu dan patut ditakutkan tetapi perlu dihadapi. Bukan begitu?[]05052014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H