Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

ODOS # 25 : Yang Buta Matanya Bukan Hatinya!

17 Mei 2014   06:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang Buta Matanya Bukan Hatinya!

Mendengarkan lagu "Buta Tuli" karya cipta H. Rhoma Irama a.k.a Bang Haji yang sedang mengalun di MP3. Membuat saya jadi teringat dengan kejadian di rumah teman saya kemarin, Kamis (15/05) bakda shalat ashar.

Memang hari itu saya usai pulang dari toko buku langsung silaturahim ke rumah teman. Apalagi hari itu libur nasional, libur hari raya Waisak. Jadi sempatkan untuk sowan ke rumahnya.

Beruntung teman saya itu ada di rumah bersama anak anaknya sedang berkumpul di ruang tamu. Jadi saya lega untuk datang. Akhirnya saya pun di rumah bermain dengan anak anaknya. Apalagi mereka sudah akrab dengan saya jadi tak ada rasa caggung lagi.

Sampai shalat ashar saya pun berjamaah di masjid bersama teman saya dan anaknya. Dan usai shalat asharlah peristiwa yang membuat termenung sekaligus tersentil dengan apa yang terjadi.

Sepulang dari masjid usai menunaikan shalat ashar saya teman saya dan anaknya berbarengan dengan salah satu jamaah. Ia adalah seorang bapak bapak yang sudah hampir senja usianya. Dengan kondisi pengelihatannya-ma'af- buta. Tuna netra.

Ternyata bapak bapak itu adalah tetangga dari teman saya. Walau tidak berdekatan rumahnya tetapi satu RT. Tapi ia sudah kenal dengan bapak itu. Akhirnya terjadi pertistiwa yang tak terduga sepulang dari bakda ashar di masjid.


"Temboknya habis dicat ya?" tanya bapak tuna netra itu kepada teman saya.



"Iya baru dicat, Pak!" tukas teman saya pelan.


Saya menyaksikan percakapan itu hanya diam. Melihat apa terjadi selanjutnya.

"Catnya warna ungu, ya!"

Dengan saya langsung terkejut bukan kepalang. Apa yang dikatakan bapak itu benar adanya. Cat tembok itu berwarna ungu. Saya kembali melihat tembok yang dicat itu. Dan ternyata benar!

"Iya, Pak! Catnya berwarna ungu." teman saya kembali memberitahukan dengan sabar sambil memegangi tubuhnya. Tetapi ditolak karena bapak itu bisa jalan sendiri dengan bantuan tongkat sebagai penunjuk jalan.


Dan teman saya itu pun membiarkannya. Karena rumah bapak itu sudah dekat.

Usai meninggalkan bapak tuna netra itu saya dan teman saya serta anaknya kembali ke rumah. Lalu ketika tiba di rumah, teman saya itu memberitahukan saya kembali.

"Bapak bapak yang tadi buta lho? Tapi kenapa ia bisa tahu, ya?" pancing teman saya untuk dijadikan bahan diskusi dan intropeksi.



"Mungkin hanya rabun saja kali," jawab saya singkat.



"Bapak itu buta dari sejak kecil. Dan kenapa ia tahu warna tembok yang baru dicat tadi. Karena hatinya tidak buta dan intuisi tetap tajam. Semua itu karena kekuasaanNya juga."


Saya pun mengiyakan ucapan teman saya saat itu. Saya jadikan renungan dan bahan pembelajaran kehidupan. Apalagi teman saya itu secara tidak langsung memberikan saya ilmu. Ilmu yang orang sering orang lupa pada ciptaanNya. Punya hati tapi buta untuk peka dan empati.

Sore itu sepulang dari bakda ashar rintik rintik rinai pun turun. Untung kami sudah sampai di rumah. Tinggallah menekuri pelajaran kehidupan yang tadi saya terima.[]15052014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun