Mohon tunggu...
Peran Sabeth Hendianto
Peran Sabeth Hendianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yang sempat hilang,,,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerpen Requiem Kunang-Kunang-nya Agus Noor: Menjaga Ingatan Melawan Lupa

13 Februari 2012   12:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca cerpen Requim Kunang-Kunang karangan Agus Noor seakan menjaga ingatan dalam benak pembaca tentang peristiwa yang dahsyat. Melawan lupa agar masyarakat tak buta dan dibutakan oleh waktu yang kian lama kian menyeret kedalam kepikunan, juga dibutakan oleh kesemuan dunia. Cerpen yang terbit di koran Kompas Mingguan, 22 Januari 2012 itu mengajak pembaca untuk menjaga ingatan dan melawan lupa agar waspada. Ada beberapa orang yang menyimpulkan kalau cerpen Requim Kunang-Kunang-nya Agus Noor hanyalah karangan orang linglung. Kurang 'greng', dan bertele-tele tanpa makna yang ada dalam ceritanya. Dan seakan ada sesuatu yang ditahan, dan takut untuk dibicarakan secara terbuka. Padahal di dalam karya sastra--apa pun boleh di tulis dengan catatan tanpa menyimpang dari kepatutan unsur sosial dan budaya masyarakat dimana karya sastra itu lahir. Ini TIDAK tentang reportase penulisan berita tentang kisah nyata. Akan tetapi kisah nyata yang di-fiksikan oleh Agus Noor! Ada saatnya bila Agus Noor tergelincir pada tradisi kelisanan reportase wartawan surat kabar ke dalam teks sastra. Tentu ini akan mengurangi kadar estetika cerpen-cerpennya. Dan Agus Noor mengendalikan diri untuk TIDAK mengeskpresikan narasi fakta reportase penulisan berita. Sebenarnya cerpen Requim Kunang-Kunang adalah rekaman peristiwa kerusuhan bernuansa SARA di Ambon tempo lalu. Itu tertera dalam catatan kaki yang ditinggalkan ole Agus Noor di akhir ceritanya, Ambon, 2011. Sebenarnya memang akan tidak bermakna cerita cerpen itu bila Agus Noor tidak meninggalkan catatan kaki disana. Dan akan menjadi benar apa kata sebagian orang bahwa cerita Requim Kunang-Kunang hanyalah karangan orang yang sedang linglung---hilang kesadaran. Sangat sepele memang. Namun  justru dari catatan kaki "Ambon, 2011" cerpenRequim Kunang-Kunang mempunyai arti dan makna. Bayangkan bila cerpen itu tanpa catatan kaki, bahkan kita tidak akan tahu dan  mengerti apa yang sebenarnya diceritakan dalam cerpen tersebut. Sebuah kisah yang ironis namun dapat dibungkus dalam cerita dengan bahasa yang liris itu saja sudah luar biasa. Bagian yang sublimnya keruntuhan sosial Ambon kerena badai demokrasi berbau liberalis negeri ini yang digambarkan secara satire, sangat satire, sungguh menyentuh batin para pembacanya. Dalam cerita itu penulis memakai IDIOM-IDIOM estetika yang dikembangkan Agus Noor, dan diharapkan mampu mengisahkan kembali kejadian/peristiwa kerusuhan lintas agama yang bernuasa SARA---di Ambon, tanpa harus melukai atau mencoba memprovokasi orang yang telah menjadi korban kerusuhan itu. Maka ia memerlukan pengganti objek cerita tanpa harus menghilangkan keorisinilannya, yang kadang memerlukan catatan kaki. Ia memang memerlukan penjelasan-penjelasan itu dalam catatan kaki, dan tak bisa dimaknai dalam pemahaman estetika pembaca yang berasal dari masyarakat umum dan bukan dari lingkup kalangan sastra (sastrawan). Setting dan tokoh dalam cerpen Requim Kunang-Kunang-nya Agus Noor menukik ke dalam dunia batin kaum nasrani masyarakat Ambon, hingga melahirkan IDIOM-IDIOM estetika yang khas. Setting dan alur dunia batin serupa ini, di tangan Agus Noor, hadir dalam narasi realis-surealis yang berbahasa cukup liris. Fenomena narasi realis-surealis Agus Noor menjadi menarik karena ia muncul dari celah obsesi kreatif yang otentik, berakar pada tradisi kehidupannya. Walau terkadang ada juga orang yang "ngeyel" bahwa Agus Noor adalah penulis epigon yang terpengaruhi gaya menulis SGA. Namun sebenarnya ia melakukan eksplorasi narasi dan imaji dari lubuk batinnya sendiri, dan mencari IDIOM estetik yang berkembang dalam atmosfer kereligiusitasan kaum Nasrani di Ambon. Ia tak mengada-ada. Ia hadir dengan dirinya sendiri. Dengan kunang-kunangnya. Tokoh cerpen ini menjemput takdirnya menjadi kunang-kunang terakhir di kota itu. Ambiguitas mitos pada akhir cerpen ini membawa tafsir ganda akan takdir hidup: bila penulis adalah seorang fatalis akan memilih tokoh mati terbakar dalam gereja itu; tetapi bila penulis adalah seseorang yang dikaruniai etos penuh rahmat kehidupan akan mengimajikan tokoh tetap hidup karena ia memiliki intensitas keyakinan akan harapan dan masa depan yang lebih baik. Ada kecenderungan cerpen belakangan yang melambungkan imaji tanpa akar mitos. Ada cerpen dengan pendahsyatan bahasa, tanpa tafsir simbol bahasa. Ada pula cerpen yang seakan-akan berakar pada mitos, ternyata secara intertekstual pernah dikerjakan sastrawan lain. Cerpen ini mengeksplorasi akar mitos di tengah masyarakat kita yang dilarutkan dalam alam bawah sadar tokoh. (image)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun