Benih-benih toleransi di Republik Indonesia sebenarnya sudah tumbuh sejak periode klasik, yaitu pada awal abad ke-8 Masehi (Mataram Hindu) sebagaimana tercermin dalam Prasasti Kelurak (782 Masehi). Disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa di dalam triratna yang meliputi buddha, dharma, dan sangga terdapat trimurti.
Raja-raja Mataram Hindu telah mengeluarkan berbagai macam prasasti, dan ada tiga Prasasti Ratu Baka yang cukup menarik karena di dalam prasasti itu dicantumkan tentang pendirian tiga lingga yang diberi nama-nama Dewa Siwa, yaitu Krttiwasa, Tryambaka, dan Hara. Prasasti Ratu Baka A menyebutkan bahwa Krttiwasa menari-nari di tempat leluhur sambil memanggul mayat. Prasasti Ratu Baka B menyebutkan Tryambaka adalah nama Dewa Siwa yang memiliki dua pengertian. Pertama, stri-ambika yang berarti Rudra adalah saudara atau beristri Ambika; kedua, tri-ambaka yang berarti tiga ibu, dan di sini Siwa adalah ibu atau tumpuan tiga dunia yaitu air, tanah, dan angkasa. Prasasti Ratu Baka C menyebutkan Hara adalah Rudra atau Siwa sebagai penakluk tiga kota asura.
Ketiga wujud Dewa Siwa tersebut diberi pasangan berupa tiga wujud Laksmi, yaitu Sri, Suralaksmi, dan Mahalaksmi. Hal ini merupakan wujud dari adanya toleransi antara agama Siwa dan agama Buddha yaitu pernikahan antara Rakai Pikatan dengan salah satu putri dari dinasti Sailendra.
Tradisi toleransi ini berlanjut hingga masa Majapahit (abad ke-13M - 15M). Ketika Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara (1350 Masehi - 1389 Masehi) tradisi toleransi semakin diperkuat. Agama Siwa dan Buddha diberi wilayah sendiri-sendiri, para bhiksu mendapat wilayah penyebaran di sebelah barat, dan pendeta Siwa mendapat penyebaran di sebelah timur. Selain itu, pemerintah memberi kemudahan bagi perkembangan agama rakyat atau kepercayaan lokal.
Antar keluarga Majapahit juga terjadi sebuah proses toleransi, hal ini didasarkan pada penyebutan nama masing-masing individu. Raja Majapahit pertama, yaitu Krtarajasa, kemungkinan beragama Siwa karena diumpamakan sebagai Ardhanareswara (bentuk gabungan antara Siwa dan Parwati) ketika dipasangkan dengan istrinya yang jelita, Rajapatni Dyah Dewi Gayatri. Sebagai anak Krtanegara, Rajapatni rupanya tetap mengikuti agama ayahnya, yaitu Buddha. Keyakinan Krtarajasa berbeda dengan mertuanya mapun istrinya. Hal serupa terjadi pada ratu Tribhuwanotunggadewi. Putri Krtarajasa ini menganut agama Buddha sebagai pilihan keyakinannya, sehingga berbeda dengan keyakinan ayahnya. Sebaliknya, anak Tribhuwanotunggadewi, yaitu Hayam Wuruk, memilih beragama Siwa. Nagarakrtagama menyebutkan, Hayam Wuruk pernah mengadakan ritual agama Buddha dalam skala besar untuk menunjukkan toleransinya kepada sang nenek, Rajapatni.
Masa lalu dengan segala kearifan, semangat persatuan, langkah tindaknya, keragaman budayanya, dan juga berbagai kelemahannya tetap menjadi sumber inspirasi yang tak akan habis digali. Mari bersama untuk terus menjaga dan membangun toleransi sebagaimana warisan luhur bangsa Indonesia…
Penulis: Bayu Ari Wibowo| Banyuwangi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H