Mohon tunggu...
Joseph Tertia
Joseph Tertia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

John De Britto College Yk student '014. Ingin merambah dunia jurnalistik, mohon bantuannya :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Resensi Sebuah Buku Testimoni Gentto '86

19 Agustus 2015   12:43 Diperbarui: 19 Agustus 2015   12:43 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman-pengalaman Gentto ’86 baik di dalam maupun di luar kelas yang tertulis di buku ini sangat mencerminkan bentuk pendidikan bebas yang bertanggung jawab. Nah, pendidikan bebas yang bertanggung jawab itu seperti apa sih? Buku ini menyimpulkan bahwa pendidikan bebas yang bertanggung jawab adalah pendidikan yang membebaskan siswanya untuk bertindak asalkan mereka menerima konsekuensi atas tindakan mereka. Contoh dari salah satu kisah di buku ini, di mana ada satu kelas yang diskors tidak mendapatkan pelajaran sama sekali selama tiga bulan. Dikarenakan tindakan seluruh anggota kelas yang memilih untuk tidak mengikuti pelajaran salah satu guru mereka. Dalam hal ini, para siswa pun menerima konsekuensi atas tindakan mereka dan bertanggung jawab dengan meminta maaf dan mengakui kesalahan kepada pihak sekolah dan guru yang bersangkutan. Pelajaran pun kembali normal setelah dua minggu diskors. Itulah bentuk pendidikan bebas yang bertanggung jawab di SMA de Britto angkatan ’86, dan masih banyak contoh lain yang mencerminkan bebas bertanggung jawab di buku testimoni ini.

[caption caption="Sebuah contoh nyata pendidikan bebas, karya seni siswa yang mengkritisi sistem pendidikan."]

[/caption]

Pada tahun 1980an, Indonesia masih berdiskriminasi terhadap ras ataupun agama. Tetapi di SMA de Britto pada waktu itu, perbedaan ras atau agama bukanlah menjadi suatu hal yang kontradiktif. Ejekan berdasarkan ras seperti, cino kere, jowo ireng, batak edan, dan lain sebagainya adalah sesuatu yang wajar dan malah mengakrabkan siswa de Britto. Melalui buku ini, pembaca dapat melihat sifat tolerir ras dan beragama di SMA de Britto angkatan ’86. Serta alasan mengapa mereka tetap solid dan tidak berkonflik, walaupun mereka mengejek satu sama lain berdasarkan ras atau agama.

Pembaca juga dapat menemukan sosok guru-guru yang “nyeleneh”, berdasarkan interaksi Gentto ‘86 dengan guru-guru semasa SMA. Relasi antara siswa dan guru yang bisa dikatakan selayaknya relasi antar teman, saling bercanda dan bertekuh sapa seperti orang seumuran. Guru yang tetap memposisikan mereka sebagai pendidik dan orangtua kedua di lingkungan sekolah. Peran guru yang mementingkan proses mendapatkan nilai daripada tinggi rendahnya nilai siswa. Guru yang mengajak siswanya untuk berpikiran terbuka dan kritis terhadap hal-hal yang terjadi. Seorang yang menjadi pendidik, teman, dan sekaligus orangtua, itulah citra guru yang dituliskan di buku ini.

Sayangnya, ada beberapa kisah di buku ini yang kurang masuk atau kurang berhubungan dengan pengalaman di SMA Kolese de Britto. Tulisan dari beberapa alumni angkatan ’86 SMA de Britto malah menceritakan pengalaman hidup mereka di lingkungan lain dan hanya secuil menyebutkan peran SMA de Britto. Bahkan ada beberapa yang menuliskan pengalamannya hanya sepanjang satu halaman. Hal ini membuat pembaca merasa tidak mendapatkan rasa de Britto-nya padahal yang menjadi poin utamanya adalah pengalaman di SMA Kolese de Britto.

Buku yang ditulis oleh 46 alumni angkatan ’86 dan empat mantan guru sesepuh serta dilengkapi dengan epilog dari tiga alumni ternama SMA Kolese de Britto sangatlah inspiratif. Penuh dengan pengalaman lucu, pengalaman masa SMA yang “nyeleneh”, dan betapa proses pendidikan di SMA Kolese de Britto mampu membentuk karakter yang berani, kritis, disiplin, dan menjunjung Bhineka Tunggal Ika. Para penulis dan Gentto ’86 khususnya, ingin pembaca untuk mengetahui kenyataan sebenarnya pendidikan yang minim aturan tapi sarat tanggung jawab melalui pengalaman mereka di SMA de Britto. Pendidikan yang membentuk karakter bangsa Indonesia menjadi man for others (manusia bagi sesama) dan menjunjung tinggi nilai persatuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun