Saya sendiri tidak menyangka komunitas penulis akan menjadi sebanyak itu dan barangkali menjadi komunitas penulis terbesar di dunia. Dalam konteks ini Pak Tjipt adalah Kompasiana itu sendiri.
Di Kompasiana, Pak Tjip seolah-olah mendapatkan titik balik kehidupannya dengan terus-menerus menulis tanpa putus. Tidak menutup mata, berkat Kompasiana saya berhasil menulis sejumlah buku, menjadi editor profesional dan sering diminta untuk memberikan pelatihan menulis di berbagai tempat
 Itu hikmah yang luar biasa dari irisan saya dengan Kompasiana. Dalam satu titik, saya lebih dikenal sebagai pendiri Kompasiana dari sekadar wartawan harian Kompas.
Namun demikian, tanpa bermaksud mentrikotomikan ketiganya, bagi saya Kompasiana, kompas.com dan harian Kompas memiliki arti tersendiri hingga mengantarkan saya ke gerbang pensiun. Bahkan berkat konsistensi menulis yang terus saya lakukan, kini didapuk sebagai konsultan media di majalah khusus di beberapa Kementerian.
Hari-hari pensiun dari pekerjaan formal sebagai wartawan sejak awal 2017 saya isi dengan kegiatan menulis.
Kembali kepada Pak Tjip, saya melihat Pak Tjip sebagai gambaran dari diri saya dalam hal berliterasi dan menulis, yaitu konsistensi. Konsistensi menghasilkan presisi dan ketap prestasi.
Dengan lebih dari 7.000 tulisan yang dihasilkan dari tangannya dan beribu-ribu teman yang diperoleh atas hasil interaksinya di Kompasiana, Pak Tjip menjadikan "beyond" Kompasianer dalam arti yang sesungguhnya. Ia adalah "Outlier" yang berada di luar statistik Kompasianer pada umumnya. Pak Tjip istimewa.
Berbagai tulisan dengan berbagai topik dapat kita baca dengan mudah dan renyah serta tentu saja bermanfaat. Tulisan yang tidak muluk-muluk tetapi biasanya mengenai pengalaman pribadi. Juga pengalaman kehidupannya di Australia tempat di mana selama ini mereka berdua tinggal.
Oh ya, tentang Australia ini meskipun keduanya sudah lama menetap di Negara Kanguru ini, tetapi salah satu wujud kecintaannya kepada Tanah Air ia masih tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya.
Pak Tjip dan Bu Rose adalah teladan dalam kehidupan yang senyatanya. Mereka adalah oase di tengah gurun pasir perilaku media sosial yang cenderung destruktif dan sarkastik dalam berkata-kata.
Jika kita menganggap Kompasiana sebagai sebuah media sosial yang dulu sekedar blog keroyokan dan kini sudah bermetamorfosa menjadi sebuah media sosial yang lebih dari sekedar Facebook atau X (Twitter), maka orang seperti Pak Tjip dan Bu Rose adalah netizen yang sangat langka dan berharga