Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Perkawinan Berlian Pak Tjip dan Bu Rose

26 Oktober 2024   16:52 Diperbarui: 27 Oktober 2024   08:04 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (unsplash.com/@michaelrfenton)

Saya sendiri tidak menyangka komunitas penulis akan menjadi sebanyak itu dan barangkali menjadi komunitas penulis terbesar di dunia. Dalam konteks ini Pak Tjipt adalah Kompasiana itu sendiri.

Di Kompasiana, Pak Tjip seolah-olah mendapatkan titik balik kehidupannya dengan terus-menerus menulis tanpa putus. Tidak menutup mata, berkat Kompasiana saya berhasil menulis sejumlah buku, menjadi editor profesional dan sering diminta untuk memberikan pelatihan menulis di berbagai tempat

 Itu hikmah yang luar biasa dari irisan saya dengan Kompasiana. Dalam satu titik, saya lebih dikenal sebagai pendiri Kompasiana dari sekadar wartawan harian Kompas.

Namun demikian, tanpa bermaksud mentrikotomikan ketiganya, bagi saya Kompasiana, kompas.com dan harian Kompas memiliki arti tersendiri hingga mengantarkan saya ke gerbang pensiun. Bahkan berkat konsistensi menulis yang terus saya lakukan, kini didapuk sebagai konsultan media di majalah khusus di beberapa Kementerian.

Hari-hari pensiun dari pekerjaan formal sebagai wartawan sejak awal 2017 saya isi dengan kegiatan menulis.

Kembali kepada Pak Tjip, saya melihat Pak Tjip sebagai gambaran dari diri saya dalam hal berliterasi dan menulis, yaitu konsistensi. Konsistensi menghasilkan presisi dan ketap prestasi.

Dengan lebih dari 7.000 tulisan yang dihasilkan dari tangannya dan beribu-ribu teman yang diperoleh atas hasil interaksinya di Kompasiana, Pak Tjip menjadikan "beyond" Kompasianer dalam arti yang sesungguhnya. Ia adalah "Outlier" yang berada di luar statistik Kompasianer pada umumnya. Pak Tjip istimewa.

Berbagai tulisan dengan berbagai topik dapat kita baca dengan mudah dan renyah serta tentu saja bermanfaat. Tulisan yang tidak muluk-muluk tetapi biasanya mengenai pengalaman pribadi. Juga pengalaman kehidupannya di Australia tempat di mana selama ini mereka berdua tinggal.

Oh ya, tentang Australia ini meskipun keduanya sudah lama menetap di Negara Kanguru ini, tetapi salah satu wujud kecintaannya kepada Tanah Air ia masih tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya.

Pak Tjip dan Bu Rose adalah teladan dalam kehidupan yang senyatanya. Mereka adalah oase di tengah gurun pasir perilaku media sosial yang cenderung destruktif dan sarkastik dalam berkata-kata.

Jika kita menganggap Kompasiana sebagai sebuah media sosial yang dulu sekedar blog keroyokan dan kini sudah bermetamorfosa menjadi sebuah media sosial yang lebih dari sekedar Facebook atau X (Twitter), maka orang seperti Pak Tjip dan Bu Rose adalah netizen yang sangat langka dan berharga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun