Tiba-tiba penciuman jurnalisme busana Jepang bekerja, mereka mengendus sesuatu yang menarik di Jakarta. Berita. Bukan berita tentang peristiwa besar, melainkan sekadar fenomena yang tidak biasa. Karenanya memiliki nilai berita juga: uniqueness.
Jurnalis negeri matahari terbit itu membaui adanya riak sosial yang tidak biasa, yang diperagakan anak-anak muda luar kota Jakarta lewat CFW, Citayam Fashion Week.
Belum sampai gerakan sih, tetapi riak itu melengkapi dirinya dengan ikon ciptaan yang sengaja dimunculkan lewat pasangan Roy-Jeje.
Roy disosokkan sebagai anak muda ganteng yang digilai-gilai lawan jenis. Tongkrongan Roy tidak sama dengan Roy Marten, pemuda tampan idaman kaum hawa di tahun 1970-an, juga bukan sosok "Si Boy" yang sudah cakep tajir pula, yang disosokkan lewat sebuah film pada masanya.
Roy van Citayam ini sesungguhnya anak tanggung yang tampil malu-malu dengan busana ala kadarnya. Tapi tubuh Roy mengandung lem, buktinya Jeje sampai lengket begitu.
Diorkestrasi atau tidak, sengaja diskenario atau tidak, fenomena Roy-Jeje dan CFW telah memunculkan ambiguitas baru dalam penamaan SCBD.
Jika sebelumnya orang mengenal singkatan itu sebagai Sudirman Center Business District, akhir-akhir ini barangkali netizen lebih mengenal SCBD sebagai Sudirman Citayam Bojonggede Depok. Lihat, betapa perkasanya kuasa pikiran manusia atas teks!
Menurut media busana Jepang yang kemudian menulis fenomena ini, "catwalk" terbuka CFW tak ubahnya Harajuku di jantung kota Tokyo yang juga sering menggelar acara serupa dan menjadi tontonan ribuan pasang mata.
Roy-Jeje mewakili anak-anak muda pinggiran yang bukan penduduk asli Jakarta, tetapi memanfaatkan ruang publik Jakarta sebagai arena unjuk eksistensi dirinya.
Roy-Jeje mungkin tidak paham filosofi Jurgen Habermas mengenai "public sphere" sebagai ruang pelarian demokrasi yang sering terkooptasi lembaga formal dalam hal ini negara. Mereka hanya berkreasi begitu saja. Boleh jadi cuma dituntun naluri, tanpa bekal pengetahuan yang memadai.