Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Para Pembajak Potensial Citayam Fashion Street

25 Juli 2022   10:17 Diperbarui: 25 Juli 2022   15:13 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Citayam ingin menunjukkan, hanya dengan outfit murahan seadanya mereka bisa mencuri perhatian. (Sumber foto: KOMPAS.COM/DINNO BASKORO 

Kata "pembajak" ini bermakna banyak dalam bahasa Indonesia. Bisa bernada positif maupun negatif. Membajak yang kata dasarnya "bajak" dalam pengertian merompak, merampok, menjiplak, tentu saja negatif. Tetapi "pembajak sawah" tidak lain petani yang menyingkap tanah garapannya agar bisa ditanami padi kembali.

Dalam tulisan ringan ini, kata "pembajak" yang tersemat dalam judul saya maknakan sebagai "pendompleng" atau "penunggang". Ya, pendompleng "qua" penunggang. Sebab, mereka bukan menjiplak, apalagi membajak sawah. Tetapi kalau "merampok", nantilah saya jelaskan belakangan.

Sebelum membahas lebih dalam (lubang kali), perkenankan saya mengutip pendapat rekan Arie Batubara yang mengomentari tulisan saya sebelumnya: "Memahami Citayam Fashion Street (CFS) sebagai Subkultur". Arie adalah penulis cerpen jempolan dan (mantan) jurnalis yang saya kagumi.

Begini komentarnya:

"Rasanya masih harus diuji lebih untuk bisa menyatakan bahwa fenomena SCBD itu adalah sebuah subkultur. Rasanya, fenomena itu lebih sebagai trend sesaat yang akan lenyap dengan sendirinya dalam waktu yang tak terlalu lama, sebagaimana banyak halnya trend sesaat yang pernah muncul begitu banyak di negeri ini, mulai dari gila adenium hingga gila batu. Kenapa? Karena tak ada ideologi di sana, tapi sekadar gimmick yang sesungguhnya remeh-temeh, sehingga tak akan melahirkan kreativitas apa-apa sebenarnya... Karena itu, bagi saya, ketika kita memperlihatkan keperdulian dan ketertarikan yang luar biasa terhadap fenomena itu, secara tidak langsung sesungguhnya menunjukkan betapa bangsa memang cenderung lebih menyukai yang fisikal daripada substansial, lebih gemar sensasi ketimbang esensi..."

Saya bisa memahami pendapat yang mengandung kritik di dalamnya, khususnya tentang masyarakat yang "gila adenium" atau "gila batu" (akik) yang disebutnya sebagai tren sesaat belaka. Saya tetap melihat perbedaannya, bahwa CFS dengan SCBD-nya itu sebagai Subkultur, sebagaimana kelompok Hippies, Punk, Reagge, Genk Motor, Vesva Gila dan seterusnya dengan ritual khas di dalamnya.

Subkultur lahir karena semacam perlawanan terhadap budaya dominan atau arus utama. CFS misalnya, seperti "meledek" kaum mapan ibukota (kaum posmo yang masih terpedaya materialisme) dengan gaya hidup hedonisnya.

Anak-anak Citayam seperti ingin menunjukkan (selain motivasi utama membuat konten), dengan Rp10.000 sampai Rp20.000 dan dengan outfit murahan seadanya, nyatanya mereka bisa mencuri pandangan mata publik. Mereka bisa menunjukkan eksistensi mereka sebagai anak-anak pinggiran Jakarta.

Berbeda dengan "gila adenium" dan "gila akik" yang tidak sedang melawan budaya arus utama, juga tidak ada ritual khusus untuk masuk menjadi anggotanya. Ada aroma ekonomi di sana seperti "monkey economy", berharap harga tanaman dan mineral itu menjadi "boom" ketika banyak orang mencarinya (bukan membutuhkannya).

CFS juga bermotif ekonomi, tetapi lebih condong ke ekonomi kreatif karena dorongan media sosial (TikTok dan YouTube), sedang "monkey economy" mengandung unsur untung-untungan kalau tidak mau dikatakan judi.

CFS lebih mengemuka sebagai fenomena dari sekadar fakta peristiwa. Sebagai fenomena, ia muncul ke permukaan dan siap menerima tafsir apapun. Tetapi faktanya, banyak selebritis yang mendompleng "hypeness" (ini istilah saya saja) atau viralitas CFS, mulai politisi, artis, sampai pesohor papan atas.

CFS akhirnya lahir sebagai "media baru" di mana para selebritis dan pesohor yang masih merasa kurang populer perlu "menunggangi" atau "mendompleng" CFS. Motivasinya jelas; memelihara popularitas atau menaikkannya. Bagi orang biasa yang bukan seleb (bukan slebew), CFS bisa dijadikan media panjat sosial alias pansos.

Barangkali sampai di sini Anda menjadi lebih paham makna dari kata "membajak" yang dilekatkan pada fenomena Citayam Fashion Sreet yang menyedot para pesohor. Terserah Anda mau memaknakan aktornya sebagai "pendompleng", "penunggang", atau bahkan "perampok" itu sendiri.

Bebas makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun