Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Proses Kreatif Lahirnya "Alena" dan "Romeo & Juliet" dari Malausma

1 Juli 2021   16:10 Diperbarui: 1 Juli 2021   16:26 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berterima kasih kepada Mas Yon Bayu yang sudi meluangkan waktu untuk membedah novel "Alena" ini. Sungguh, "Alena" adalah penantian panjang pada kelahirannya, yang ditandai dengan penerbitan sekaligus peluncurannya pekan lalu.

Suatu kehormatan pula bahwa COO Kompasiana, Nurulloh hadir di acara sederhana di cafe milik pegiat literasi Masri Sareb Putra di Karawaci bersama Kompasianer lainnya, Zulfikar Akbar, Asita DK, Lia Wahab, Tamita Wibisono, Lisa Moningka, Daniel Sakapati, Dodi Mawardi dan lain-lainnya.

Disebut penantian panjang karena semula novel ini sekadar "eksperimen liar" saya yang menayangkan serpihan 140 karakter di Twitter beberapa tahun lalu. Barangkali masih sebatas pembukanya saja, setelah itu saya lupakan. 

Saya sadar, Twitter lebih pas buat perang opini, bukan membaca sastra apalagi mendiskusikannya. Setelah itu lupa, tetapi sketsa "Alena" sudah kadung nempel di kepala.

Maka ketika waktu berpihak karena sedang melaksanakan ritual "the art of doing nothing" ala kaum rebahan, saya meneruskan lagi menayangkannya di Facebook sebagai cerita bersambung setiap hari tanpa henti. Barangkali istirahat sehari di akhir pekan dan boleh dibilang dalam waktu dua bulan "Alena" rampung sebagai draft novel.

Ada adrenalin yang bergelegak manakala setiap bagian "Alena" mendapat sambutan (juga sambitan) berupa komentar yang beragam. Di sisi lain, saya harus bertanggung jawab menyelesaikan novel ini sampai tuntas agar tidak mengecewakan pembaca setia... dan memang tuntas pada akhirnya.

Tentu saya coba menawarkan naskah "Alena" ke penerbit "major" di lingkungan Kompas-Gramedia. Tidak harus menunggu lama saya sudah mendapat jawaban bahwa "Alena" tidak mungkin diterbitkan karena sensitivitasnya yang tinggi. Demikianlah bagaimana sebuah tulisan menemui takdirnya.

Bagaimana Pratama, tokoh dalam "Alena" yang tukang azan serta hafiz Qur'an bisa terlibat adegan mesum yang videonya disebarkan Alena atas nama dendam kepada "ayahandanya" yang Menteri Minyak?

Saya diberi kesempatan mengubah karakter Pratama, misalnya dia bukan aktivis masjid, bukan pemuda soleh taat shalat dan bukan guru ngaji bagi anak-anak sekitaran masjid tempatnya "berumah" selama ini. Tetapi kalau saya ubah, maka "ruh"Alena akan runtuh. 

Saya berpisah baik-baik tanpa rasa dendam atau kecewa, saya memaklumi sensitivitas ini untuk Kompas-Gramedia. Masak iya gara-gara konten sensitif penerbit besar digeruduk massa yang tersinggung berat. 

Akhirnya saya melupakan "Alena" dan terjerumus dalam kegiatan literasi lain yang juga erat kaitannya dengan dunia tulis menulis. Sampai kemudian atas dorongan Pak Masri yang punya penerbitan sendiri, saya merogoh saku agak dalam untuk membiayai penerbitan "Alena", sekalian novel hasil eksperimen di Facebook lainnya "Perempuan Penyapu Halaman" serta satu gerumbul cerpen"Dua Ustad". Saya bertekad menyebarkan buku-buku fiksi itu secara mandiri.

Konten

Mengenai jalan cerita "Alena" sendiri sebagaimana dibahas Yon Bayu, memang ini lebih hasil pengamatan dan serapan segala fenomena yang terjadi di balik peristiwa tinimbang sekadar perenungan hampa. Peristiwa nyata, opini hasil menangkap fenomena, estetika berbahasa dan kemampuan bernarasi berkelindan di dalam "Alena", mengisi halaman demi halaman novel.

Peristiwa tidak sekadar dilihat atau dibaca sekadar peristiwa biasa tanpa makna, tetapi coba diungkap dari latar belakangnya juga kaitan dengan peristiwa sebelumnya, dikupas menggunakan pisau nalar, dan seterusnya.

 Stensilan Filsafat DALAM (Modal Amarah) yang diterbitkan secara mandiri oleh Pratama yang putus kuliah, adalah sentilan yang demikian halus bahwa setiap media besar akan mengalami kejatuhan secara menyakitkan dan hanya akan menjadi sekadar stensilan filsafat yang oplahnya sangat terbatas jika tidak hati-hati, khususnya ketika sudah kehilangan kepercayaan dari pembacanya.

Apakah harus disesali? Tentu tidak. Sebab DALAM meski sekadar stensilan, tetap diminati orang tertentu (niche) asalkan mampu mempertahankan kedalaman tulisannya, menjaga keberpihakannya kepada kaum terpinggirkan, meneruskan empatinya yang besar kepada pengetahuan dan kemanusiaan.

DALAM mengabarkan optimisme, bukan sebaliknya. Media besar selayaknya belajar bagaimana stensilan filsafat DALAM menangkap isu lalu menggali secara dalam fenomena yang ada, bukan sekadar memberitakan peristiwa tanpa berupaya memaknakannya.

Siapapun bisa belajar dari keteguhan, kegigihan dan keuletan Pratama dalam menjalani kehidupannya. 

Baginya, sekolah  terbaik adalah semesta ini, kampus beratapkan langit luas, lantai rumput ilalang dengan dinding angin yang berhembus tanpa sekat. Ilmu filsafat tidak ia peroleh dari bangku kuliah, semesta yang bijak menyediakannya secara berlimpah. Pratama memungutnya satu demi satu segala ilmu yang tercecer secara cermat.

Sebagai mantan jurnalis yang kenyang berkeliling ke berbagai wilayah, dalam dan luar negeri, kepala saya masih terisi residu berbagai informasi, catatan dan kenangan mengenai wilayah-wilayah yang saya kunjungi itu. Blessing, itu semua  ternyata sangat menolong saat menentukan "setting" dengan deskripsi seakurat mungkin. Alhasil, ada banyak ilmu pengetahuan yang terserak dalam novel yang lumayan tebal ini.

Demikian proses kreatif "Alena". Terlalu berpanjang-panjang kata kalau harus mengungkap proses kreatif Hamdani dan Sofiah dalam "Perempuan Penyapu Halaman" serta "Dua Ustad" yang berisi 21 cerpen ini. 

Mungkin nanti disambung lagi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun