Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Be a Storyteller (Part 5)

19 Agustus 2020   13:22 Diperbarui: 20 Agustus 2020   09:16 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tokoh utama dalam cerita. (sumber: Pixabay,com/LisaChe)

Cerita yang mengalir biasanya juga menghanyutkan pembaca. Tidak jarang mengaduk-aduk emosi pembaca -atau dalam film- mengaduk-aduk perasaan penonton.

Dulu waktu masih duduk di sekolah dasar di pertengahan tahun 1970-an, saya kerap menonton film India di Bioskop "Karya", satu-satunya bioskop di Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya. Kecamatan tetangga seperti Pagerageung, Panumbangan dan Rajapolah belum memiliki bioskop.

Belum ada penelitian memang, tetapi warga yang terpapar film-film bioskop cenderung apresiatif terhadap adegan dan penokohan dalam sebuah film, khususnya film-film India dan film nasional. Pun mereka cenderung jago bercerita, setidak-tidaknya menceritakan kembali film yang mereka tonton.

Jadi tidak heran saat ada adegan menegangkan, penonton berteriak-teriak histeris, seolah-olah memberi tahu sang jagoan bahwa di belakang ada yang sedang menodongnya, sedang terancam. "Awas eta musuh di tukangan maneh, euy!" (awas itu musuh di belakangmu, bro!).

Lalu pada saat jagoan mengejar-ngejar penjahat, maka tepuk-tangan pun terdengar, gedung bioskop mendadak bergemuruh, penonton menyemangati jagoan mereka.

Jika ada adegan sedih yang mengharu-biru, misalnya pertemuan antara seorang anak dengan ibunya setelah sekian tahun terpisah karena kasus penculikan anak, maka penonton pun menangis sesenggukan, sampai-sampai seperti menangisi kematian seseorang.

Itulah gambaran betapa hidup dan mengalirnya adegan demi adegan yang tersaji dalam sebuah film, membuat emosi dan perasaan penonton teraduk-aduk.

Ingin saya kemukakan di sini, bahwa setiap biografi yang kamu tulis haruslah hidup dan punya greget seperti adegan film India itu!

- Persoalannya aku ga suka film India, Kang?

+ Sukamu apa, Dek?

- Lebih suka mendengar cerita Dalem Boncel itu, Kang, lanjutin dong sampai tuntas...

+ Baiklah, simak baik-baik, ya...!

Betapa terlukanya hati Mak dan Pak Boncel. Rasa rindu yang terpendam selama sekian waktu, berbalas dengan pengusiran yang menyakitkan dari anaknya sendiri, Ocen alias Si Boncel. Hujan yang demikian deras seolah-olah menelan dua tubuh ringkih itu sampai tidak terlihat lagi dari gerbang kabupatian.

Nun di salah satu ruangan di kabupatian, Dalem Boncel masih menahan malu. Amarahnya membuncah. Clara tentu jadi mengetahui kalau suaminya itu menyimpan rahasia yang selama ini tidak terungkapkan; ternyata Dalem Boncel masih punya orangtua, padahal sejak lama ia mengaku orang tuanya sudah meninggal dunia.

Istrinya kemudian mendekati, menenangkan Dalem Boncel yang masih tampak menahan amarah. "Tidak selayaknya kau memperlakukan orangtua sekejam itu, Dalem?"

Dhuaarrr.... tiba-tiba Boncel merasa mendengar geledek yang lebih dahsyat berdentam keras di gendang telinganya. Ia kaget bukan kepalang Clara bicara seperti itu.

"Tetapi dia bukan orangtuaku, Clara!" kilah Boncel, "tidak usah kamu pikirkan!"

"Bahkan kalau itu bukan orangtuamu, tidak selayaknya kau mengusir mereka, orangtua yang sudah ringkih," kata istrinya. "Apalagi kalau ternyata mereka adalah benar orangtuamu!"

"Kamu tidak malu bermertuakan seperti kedua orangtua tadi, Clara?"

"Kalau itu orangtuamu yang secara otomatis adalah mertuaku, aku menerima mereka apa adanya, memangnya kenapa?"

Dhuaaarrr.... guntur yang lebih dahsyat seolah-olah meledak kembali untuk yang kedua kalinya, kali ini terdengar lebih keras lagi, memekakkan telinga Boncel.

Mengetahui reaksi Clara yang "nrimo", Dalem Boncel segera berteriak memanggil upas seperti orang kesurupan. Beberapa upas datang menghampiri. "Wahai, Upas, cepat kalian cari orangtua yang tadi bertamu ke sini! Cari sampai ketemu, bawa mereka kemari baik-baik!"

Seluruh upas terbaik dikerahkan untuk mencari Mak dan Pak Boncel. Tetapi, usaha mereka sia-sia. Kendati seluruh pelosok kota sudah diaduk-aduk, sepasang orangtua yang ringkih dari Kandangwesi itu tidak ditemukan.

Pasukan berkuda bahkan menyusul ke Kandangwesi, tetapi di kampung halaman Boncel itupun Mak dan Pak Boncel belum kembali. Gubuk mereka yang sudah reyot kosong melompong.

Pencarian berlangsung selama dua minggu berturut-turut karena perintah Dalem Boncel harus berhasil menemukan mereka. Tetap saja, sepasang orangtua itu raib tak berbekas, entah kemana.

Di dalam kabupatian, sepekan setelah peristiwa pengusiran itu, Dalem Boncel jatuh sakit. Mula-mula demam, tubuhnya panas-dingin. Seluruh mantri kesehatan terbaik dikerahkan untuk mengobatinya, tetapi tak satu pun mantri yang bisa menyembuhkan penyakit misterius Dalem Boncel.

Pada wajah dan hampir sebagian besar tubuhnya mulai muncul bercak-bercak merah, yang makin lama makin membiru karena ternyata berisi cairan serupa nanah.

Boncel berteriak-teriak menahan rasa gatal. Sekali dia menggaruk bagian yang gatal seperti bisul kecil itu, seketika itu pula nanah ke luar dari bagian tubuh yang digaruk. Boncel menderita penyakit aneh yang tidak ada obatnya.

Karena penyakit itu takut menulari seisi kabupatian, termasuk Clara, atas prakarsa Tuan Bupati, Boncel ditempatkan di salah satu kandang kuda yang sudah lama tak terpakai. Sendirian. Kedua tangannya diikat jangan sampai digunakan untuk menggaruk, demikian pula kakinya ditambatkan pada tiang-tiang istal. Boncel dibiarkan merana tanpa teman yang menemaninya di sana, termasuk Clara.

Pada malam hari yang hening, selain terdengar rintihan menangis, Boncel sering memanggil-manggil kedua orangtuanya yang sudah terusir itu.

"Emak... ini Ocen.... kemarilah, Mak, Ocen kangen...!"

"Bapak.... ini Ocen... maafkan Ocen, Pak...!"

Kalimat yang diteriakkan Dalem Boncel dari istal kuda itu terus terdengar hampir setiap malam, memanggil-manggil Mak dan Pak Boncel. Sampai suatu hari teriakan dan jerit pilu menyayat hati itu tidak terdengar lagi.

Pada keesokan harinya warga kabupatian mendapatkan tubuh Dalem Boncel sudah tidak bergerak, terikat di tiang istal. Seluruh bagian tubuhnya membusuk dan sudah dipenuhi belatung pula. Clara, Asep Onon dan Tuan Bupati pun tidak sudi melihatnya.

Boncel meninggal dalam nestapa.

- Kang, aku nangis, tau... huuuuu....!!"

+ Ga usah nangis, Dek, ini 'kan cuma cerita.

- Iya tetapi cerita itu begitu hidup, sedih dan marah bercampur aduk dalam hatiku, Kang... Aku benci sama Si Boncel meski akhirnya jatuh kasihan juga, tetapi lebih sedih lagi memikirkan nasib Mak dan Pak Boncel.... kemana mereka, ya?

+ Sudahlah, Dek, itu 'kan cuma cerita rekaan belaka, cerita hasil penafsiran saya sendiri bahkan.

- Diputusin pacar berkali-kali aku ga pernah nangis kayak gini, Kang.

+ Baiklah, Dek, untuk sementara pelajaran "jadilah pendongeng yang baik" saya cukupkan sekian dulu, ya.... besok coba saya bedah dan bagaimana menerapkannya saat menulis biografi.

- Auk ah... aku masih menangis pilu nih... huuuuuu...

PEPIH NUGRAHA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

The Series cerita kolaborasi Kompasiana.com dengan Netizen Story Menulis Biografi: Be a Storyteller Bersama Kang Pepih
HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun