Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengenang Frankenstein di Danau Bang Abak

11 Agustus 2020   08:22 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:05 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendayung perahu di Danau Bang Abak , Malinau, Kaltara (Foto: Dodi Mawardi)

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, maka semudah memanjat dan mengayuh sepeda, dalam beberapa detik saja perahu kecil itu sudah membawa tubuh saya ke tengah danau Bak Abak. Berbeda dengan rekan Dodi Mawardi dan Sapto Raharjo yang masing-masing harus ditandem Masri Sareb Putra dengan perahu berkapasitas dua orang agar bisa menikmati sensasi danau Bak Abak.

Sambil mengenang Frankenstein, saya mendayung mengelilingi danau, menyeruak pepohonan yang rimbun di sana-sini, tentu saja sambil membayangkan makhkuk ciptaannya mengawasi saya di suatu tempat yang tidak saya ketahui. Tahu-tahu makhluk menyeramkan itu sudah duduk mencangklong di dahan yang melintang, menunggu perahu saya lewat di bawahnya,

Satu jam waktu yang cepat berlalu sungguh sangat saya sesali, padahal saya ingin menyempurnakan kenangan bersama Frankenstein sampai malam tiba, ketika senja merah turun berganti sinar rembulan.

Kenangan akan danau tenang itu tidak lenyap begitu saja meski destinasi selanjutnya adalah melihat kolam ikan patin yang menurut Adi, putera sulung Yansen, kolam dan danau itu sudah ada sejak ayahnya masih menjabat Sekda Malinau, sebelum menjadi bupati Malinau di tahun 2011.

Usai mengenang Frankenstein di danau itu, kami kembali berkumpul di "tower", bergabung dengan Yansen dan istri, Ping Ding, sambil menikmati pisang goreng, kopi susu dan sekerat senja di langit barat yang akan segera tenggelam. Yansen bertanya tentang kesan kami -saya, Dodi, Masri, Sapto- tentang berdayung-sampan di danau itu. Saya menjawab, "Tidak bisa saya ceritakan sekarang, nanti saja saya lukiskan dalam sebuah tulisan."
Yansen tersenyum saja mendengarnya.

Ketika senja sudah menghilang dari pandangan, kami semua menuruni "tower" yang dilengkapi titian berupa tangga tembok yang di kiri-kanannya terdapat pohon lada. Tonggak kayu yang mencuat lurus agar tanaman lada merambat di sepanjang tubuh kayu itu seolah-olah tentara yang berbaris, menjaga "tower" itu.

Dengan berat hati saya harus meninggalkan danau tenang dan perahunya di Bak Abak. Mendayung perahu sendirian saat malam tiba dengan bulan yang tertutup awan sebagaimana Frankenstein mendayung perahu kecilnya ke tengah Danau Jenewa, belum bisa saya laksanakan.

Saya bertekad akan melaksanakannya jika masih ada kesempatan, tidak lain agar kenangan tentang tokoh fiktif rekaan Mary Shelley itu hadir lebih sempurna.

***

Bintaro, 10 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun