Masih ingat saat Dalem Boncel disisihkan di sebuah bekas kandang kuda dan menderita sakit sampai akhir hayatnya dengan tangan dan kaki terikat? Ini semata-mata interpretasi saya atas peristiwa dramatis yang dialami secara tragis oleh Boncel. Aslinya almarhum ayah saya tidak bercerita seperti itu, ia hanya menceritakan bahwa Boncel meninggal setelah menderita penyakit "kesrek" (penyakit kulit) yang tidak ada obatnya.
Pun kalau mau, saya bisa menciptakan konflik antara Asep Onon dengan Boncel yang memperebutkan si cantik Clara, misalnya, saya bisa saja menulis Asep Onon terusir dari kabupatian karena ayahnya, Tuan Bupati, justru membela dan menyetujui pernikahan Boncel dan Clara. Menarik, bukan?
Bukan bermaksud mengecilkan jasa almarhum ayah saya yang sudah berhasil menghanyutkan saya dalam cerita yang disampaikannya sehingga saya menangis sesenggukan saat mendengar cerita Boncel dulu, tetapi jika direkonstruksi dan diterjemahkan ke dalam subuah film, niscaya interpretasi saya atas Si Boncel jauh lebih kaya, lengkap dan hidup.
Ah, itu cuma perasaan saya saja barangkali.
- Kang, jadi interpretasi itu juga berlaku saat menulis biografi, ya?
+ Benar, sebagaimana wartawan menginterpretasikan sebuah laporan yang ditulisnya, dikenal dengan istilah "Interpretative Reporting".
- Apa saja yang bisa ditafsirkan untuk penulisan sebuah biografi?
+ Banyak, antara lain saat narasumber menceritakan suatu peristiwa, menggambarkan karakter seseorang atau dirinya, menceritakan adegan tertentu yang dramatis, atau ucapan yang spesifik. Semua bebas penafsiran, bebas tafsir, yang penting terhindar dari jebakan anakronisme.
- Duh, apalagi itu jebakan anakronisme?
+ Lain kali saya jelaskan, tetapi saya harus akhiri penjelasannya sampai di sini karena kopinya sudah habis.
- Apa perlu kuseduhkan secangkir lagi, Kang?
+ Tidak perlu, kopimu terlalu manis!
PEPIH NUGRAHA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H