Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[Serial Orba] Siti Hartati dan Taman Mini Indonesia Indah

24 Desember 2018   10:05 Diperbarui: 24 Desember 2018   10:08 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 20 April 1975, saat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) diresmikan, selaku penggagas utama pembangunan taman prestisius Orde Baru yang situsnya masih bisa ditemukan sampai kini, Ibu Tien Soeharto berpidato selama kurang lebih 8 menit.

Saya transkripkan menit-menit pertama pidato isteri tercinta "daripada" Presiden ke-2 RI Soeharto ini sebagai berikut:

"Sambutan yang terasa hangat saat ini membuat saya tidak dapat menyembunyikan perasaan haru yang dalam.

"Rasa haru karena saya teringat kepada lahirnya gagasan ini sekitar empat tahun lalu.

"Terkenang pada rapat lengkap pengurus Yayasan Harapan Kita pada bulan Maret 1971 yang menyetujui gagasan saya untuk membangun taman ini.

"Terbayang kembali puluhan orang mulai memikirkan dan merencanakan pembangunannya.

"Teringat kembali pekerjaan-pekerjaan pertama meratakan tanah sebagai langkah awal mewujudkan gagasan itu.

"Tergambar kembali ribuan orang tekun bekerja menggarap bangunan demi bangunan dari sudut ke sudut taman yang luas ini.

"Dan saya juga teringat betapa masyarakat menyatakan setuju dan tidak setuju terhadap pelaksaan gagasan itu.

"Sebagian dengan suara yang tenang, sebagian lagi dengan suara yang lantang.

"Kami berterima kasih kepada mereka yang setuju, karena persetujuan itu mendorong kami untuk segera bekerja.

"Kami juga berterima kasih kepada mereka yang tidak setuju, karena ketidaksetujuan mereka sebenarnya ingin mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah.

"Dan dengan begitu mendorong kami untuk bekerja berhatti-hati....."

Menyimak dan mentranskrip sendiri menit-menit pertama pidato Ibu Tien, terabalah ada "konflik" yang menyertai pembangunan salah satu monumen Orde Baru itu. Dan itu sejujurnya dikatakan Ibu Tien sendiri, tanpa harus ditutup-tutupinya.

Sedari awal, pembangunan taman miniatur Indonesia seluas 150 hektar di bilangan timur Jakarta ini menangguk kontroversi. Mahasiswa yang kritis menolak gagasan pembangunan taman mini tersebut, bahkan sampai demo berjilid-jilid.

Ini murni gagasan Ibu Tien hasil "nglencer"-nya Raden Ajeng Siti Hartinah -nama lengkapnyanya- ke luar negeri, antara lain ke Disney Land dan Muangthai yang kini disebut Thailand.

Pada masa awal tahun 1970-an, di saat pemerintahan Indonesia sedang "belajar berjalan" pasca Orde Lama tumbang beberapa tahun sebelumnya, gagasan ini terasa bertolak-belakang dengan pengetatan yang harus dilakukan negara, yang sekaligus tekad "daripada" Soeharto sendiri untuk selalu "mengencangkan ikat pinggang", bahasa Orde Baru yang maknanya berhemat.

Pada zaman itu berkah booming minyak belum terjadi, sehingga negara harus berhemat semaksimal mungkin.

Ibu Tien mencetuskan gagasan ini pada 13 Maret 1970 di Jalan Cendana No 8 Jakarta Pusat. Tempat ini dikenal sebagai kediaman keluarga Soeharto.

Dua tahun setelah gagasan Ibu Tien dilontarkan, baru pada 1972 pembangunan pertama mulai dilaksanakan. Itupun setelah Soeharto mulai terusik dan pada 6 Januari 1972 memberikan sinyal perlawanan terhadap para pengeritiknya itu.

Tentu Soeharto menyampaikannya dengan gayanya yang khas, tersenyum penuh makna, bahkan menyebut perbedaan pendapat yang tercermin dari penentangan sekelompok mahasiswa itu sebagai "bumbu demokrasi".

Tetapi ancaman verbal berupa kalimat "harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan, khususnya dalam menghadapi proyek miniatur Indonesia" -sebagaimana ternukil dalam buku "Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter" yang ditulis Rum Aly dan Hatta Albanik- mencerminkan bahwa Soeharto sudah mulai marah.

Saking sistematis dan dengan tekad kuatnya itu, gagasan membuat "Disneyland Rasa Indonesia" itu masuk dalam pembahasan Sidang DPR RI tahun 1971/1972. Dengan mesin politik Golkar yang menguasai 336 kursi dari 460 kursi, maka gagasan itu tinggal diwujudkan saja, apalagi dengan semangat "keindonesiaan" dan jargon "memajukan budaya". Siapa berani menolak?

Memang ditolak sebagian mahasiswa kritis dan para kritikus lainnya, bukan berarti Ibu Tien berdiam diri. Selain melaui jalur legislatif di mana menitipkan keinginannya kepada 336 anggota DPR Fraksi Golkar, Ibu Tien juga memanfaatkan jalur eksekutif, yakni rapat para gubernur (26 gubernur) yang diadakan oleh Soeharto, suaminya.

Tentu saat rapat itu, para gubernur didampingi istrinya masing-masing. Nah, pada Desember 1971 atau setahun sebelum peletakan batu pertama permbangunan TMII dimulai, Ibu Tien berbicara di depan para istri gubernur dari seluruh provinsi di Indonesia itu untuk meneguhkan gagasannya.

Soeharto tentu saja mengizinkannya, tidak harus menutup mata. Jadi dalam sehari itu, dalam waktu yang sama di tempat berbeda; Soeharto rapat dengan para gubernur, sedangkan istrinya rapat dengan isteri-isteri gubernur.

Dalam rapat itu Soeharto minta gubernur mengencangkan ikat pinggang, tetapi dalam rapat dengan isteri-isteri gubernur, Ibu Tien menyampaikan sinyal agar para gubernur di daerah masing-masing "membantu" alias "berpartisipasi" dalam pembangunan TMII yang digagasnya.

"Membantu" atau "partisipasi" harus dimaknakan sebagai meminta sumbangan dana segar maupun benda, yang dikumpulkan di Yayasan Harapan Kita, sebuah yayasan yang dimiliki Keluarga Cendana dan diketuai langsung Ibu Tien. Pak Harto meminta kencangkan ikat pinggang, Ibu Tien meminta mengendurkan ikat pinggang yang sama demi mewujudkan cita-citanya.

Sinyal Ibu Tien ditangkap dengan baik Sekretaris Negara Sudharmono dan langsung "mengimbau" para gubernur yang berkepentingan menyajikan seni budaya daerah masing-masing agar mengerahkan potensi di daerahnya untuk pembangunan TMII. "Mengimbau" di sini tentu saja bermakna meminta dengan tekanan.

Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud yang dikenal paling loyal kepada Pak Harto menjamin kelancaran proyek TMII yang disampaikan langsung kepada Ibu Tien Soeharto. "Percayalah, Bu Tien," katanya sebagaimana pernah ditulis Tirto.id, "semua aparat daerah yang saya pimpin akan saya kerahkan."

Sementara kepada para gubernur -karena secara hierarki Mendagri adalah bossnya para gubernur- Amir Machmud langsung "mengangkat" gubernur ini sebagai kepala proyek di daerahnya masing-masing. Sistematis sekali cara mengamankannya!

Dengan proyek TMII, praktis baik pemerintah pusat maupun daerah wajib menyisihkan atau malah mencari dana segar untuk mewujudkannya, termasuk melibatkan berbagai pihak lain, yang gilirannya mengutip pajak rakyat. Inilah yang ditentang mahasiswa. Menurut Ibu Tien sendiri, pembangunan proyek itu "hanya" menelan biaya Rp10 miliar (kurs terhadap dollar saat itu Rp200).

TMII sampai sekarang masih ada dan menjadi tempat destinasi wisata budaya yang murah-meriah. Anjungannya juga lengkap karena ada penambahan provovinsi yang baru lahir, sehingga jumlahnya menjadi 35 anjungan, bukan lagi 26 anjungan saat pertama kali Ibu Tien berpidato pada persmian TMII.

Jika kamu melayang menggunakan kereta gantung dan melintas di atas "samudera" Indonesia, maka akan terlihatlah gugusan pulau-pulau besar yang membentuk Kepulauan Indonesia di bawahnya. Benar-benar miniatur Indonesia.

Bagi yang paham sejarah Orde Baru dan tahu bahwa TMII ini ada karena prakarsa Ibu Tien, maka di sela-sela bayangan kekasihmu nun jauh di sana di saat kereta gantung melayang di atasnya, kamu mau tidak teringat satu sosok wajah; wajah Ibu Tien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun