Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Penempatan Berita "Reuni 212" di Harian Kompas Sepenuhnya Kebijakan Redaksi

6 Desember 2018   16:32 Diperbarui: 6 Desember 2018   17:43 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Harian Kompas

Ramai juga diskusi di lapak rekan saya Tomi Satryatomo yang mempertanyakan kebijakan harian Kompas. 

Pada edisi Senin, 3  Desember 2018, harian Kompas menempatkan peristiwa Reuni 212 di  Monas yang dihadiri massa yang masif, panitia konon mengklaim ada 8-10 juta massa yang hadir di sana, di halaman 15. Bukan di halaman utama atau headline.

Sebelum mengomentari persoalan media ini--dan saya  hanya ingin menyoroti dari sisi ilmu jurnalistik--saya ingin mengutip unek-unek Mas Tomi selengkapnya sebagai berikut: 

"Kebijakan redaksional memang diskresi redaksi. Tapi menyengaja menutup mata atas fakta berkumpulnya jutaan orang dengan damai sebagai ekspresi demokrasi yang dijamin konstitusi, sama saja dengan merenggut hak publik untuk tahu.

Pesannya jelas, buat redaksi Harian Kompas, kebebasan umat Islam untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda dengan penguasa, kalah penting daripada sampah plastik.

Bye Kompas..."

Benar seperti dikatakan rekan saya itu, bahwa redaksi, termasuk harian Kompas, punya kebijakan sendiri dalam hal redaksional. 

Punya kebijakan tertentu dalam hal menurunkan atau tidak menurunkan sebuah berita peristiwa, apalagi berita yang sifatnya agenda. Misal, soal pemuatan sampah plastik di hari yang sama dengan pemuatan peristiwa Reuni 212, yang pemuatannya bisa kapan-kapan (timeless).

Mestinya diskusi selesai dengan memahami adanya pakem atau "aturan" ini. Bahkan, secara ekstrem harian Kompas boleh-boleh saja tidak menurunkan berita peristiwa itu (istilah Mas Tomi "menutup mata") meski terjadi di depan mata sekalipun dengan melibatkan jumlah massa yang demikian besar.

Toh, hal itu kembali kepada kebijakan redaksional. Itulah sebabnya siapapun bisa menjelaskan mengapa Republika justru menempatkan berita peristiwa itu sebagai headline. Khalayak pembaca adalah salah satunya. "Known your  audiences", selalu berulang-ulang saya katakan dalam setiap sesi pelatihan menulis.

Saya yang menggeluti jurnalistik dan biasa mengajar ilmu jurnalistik, termasuk menulis berita peristiwa, terpaksa harus mengunyah kembali pemahaman sekaligus penerapan apa yang disebut "News Value" atau Nilai Berita. 

"Penting" atau "Menarik" sabagai unsur-unsur nilai berita mungkin tidak  relevan lagi saat menilai peristiwa Reuni 212. 

"Menarik" mungkin ya, karena acara itu dihadari massa yang sedemikian masif. 

"Penting", ini  ada pertanyaan lain; penting buat siapa? Buat pembaca atau peserta Reuni 212? Bagi peserta Reuni 212, jelas itu sangat penting! Tetapi, bagi pembaca Kompas yang bersifat umum, belum tentu penting, malah ga penting sama sekali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun