Dan tahu apa keputusannya? Aliecia menginjak gas mobilnya dalam-dalam setelah beberapa gerombolan mengitarinya dengan senjata teracung, tidak peduli apakah ada salah seorang gerombolan terserempet atau lemparan senjata tajam menghujam ke arah mobilnya yang melaju kencang. Kejernihan berpikirnya mengajarkan, ia mengerahkan keberanian untuk menyelamatkan satu-satunya nyawa yang ia miliki dengan cara melarikan diri.
Dan... "Simon Cowell" pun mulai beraksi. Saya langsung menghamburkan kata-kata tajam, tanpa basa-basi. "Sebaiknya kamu membuka tulisan dengan hal yang paling dramatis yang boleh jadi membuatmu hampir mati, itu akan menyihir pembaca saat pertama kali membaca tulisanmu. Untuk tulisan sependek ini, jangan kamu gunakan kronologis seperti proses adanya manusia; lahir, hidup, lalu mati. Kelamaan. Tonjok saja kesadaran pembaca dengan cerita paling dramatis yang kamu punya, paham!?"
Pipi Aliecia tidak semerah kepiting goreng lagi. Ia serius sekali mendengar ceramah saya. Memangnya cuma Ustad Abdul Somad dan Aa Gym saja yang bica ceramah. Ia sadar tulisannya kurang berkenan buat saya. "Jujur, ini tulisan pertama tentang pengalaman pribadi yang aku buat," katanya serius, ada nada membela diri. Saya langsung menimpali, "It's not bad, teruskan saja kamu menulis. Apa saja bisa kamu tulis, termasuk pengalamanmu yang paling berkesan, bahkan mengerikan!"
Aliecia puas. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih dan membungkukkan badannya saat bersamalan. Kelihatannya dia tidak tersinggung karyanya saya kritik habis.
Belakangan, hasil investigasi kecil-kecialan yang saya lakukan, saya tahu perempuan itu bernama lengkap Novita Aliecia Mandibondibo. Lahir di Biak, Papua, dari seorang perempuan asing dan ayah lokal. Ia menghabiskan masa remajanya di Bandung. Pada tahun 2008 kembali ke Papua dan mulai bekerja di PT Freeport Indonesia sebagai admin di Divisi Produksi.
Pada kesempatan makan malam sehabis presentasi sharing teknik penulisan "Storytelling" itu, Aliecia hadir menemani tim. Suasana sudah mulai akrab dan cair. Bahkan secara tidak terduga ia mulai menyebut saya "Kang Pepih", yang berarti dia memposisikan diri sebagai orang yang pernah lama tinggal di Bandung atau tahu saya kalau saya juga sama-sama orang Barat seperti Aliecia, tapi Jawa Barat, sehingga sapaan akrab "Kang" sudah mulai terdengar.
"Kurang ajar"-nya, bahkan beberapa kali Aliecia memaksa --bukan meminta lagi-- saya bernyanyi dengan iringan organ tunggal di sebuah Restoran ternama di Timika itu. "Saya ga bisa nyanyi, Aliecia," tampik saya, "Penonton pada lari kalau saya nyanyi." Dia masih ngotot, "Ah, tapi suara Kang Pepih bagus kok!"
Wahhhh.... bahaya juga kalau saya berlama-lama di Papua ini!
Saya kemudian mengatakan kepadanya kalau saya mau menulis cerita tentang pengalaman mengajar menulis di Papua, termasuk membahas tentang karya karyawanya dalam menulis. Dan Aliecia mulai berwajah tegang dan serius. "Kalau sampai kisah saya ditulis dan dimuat, itu akan membunuhku," katanya dalam Inggris. Serius.
Saya paham, bagi Aliecia apa yang diceritakannya tidak untuk dipublikasikan, meskipun PT Freeport Indonesia mendorong karyawannya bisa bercerita mengenai lingkungan kerjanya di media sosial. Mengungkapkan pengalaman mengerikan disergap gerombolan akan berati mengabarkan kepada dunia bahwa Papua masih genting, lebih-lebih diceritakan langsung oleh pelaku yang tidak lain karyawan PT Freeport sendiri. Dalam konteks "code of condutc", ia berarti sudah membocorkan "rahasia perusahaan". Saya paham itu.
"Tapi Aliecia, saya diundang ke sini (Papua) jauh-jauh dari Jakarta bukan mengajari kamu untuk TIDAK MENULIS, justru saya hadir di sini untuk mengajari kamu dan karyawan PT Freeport lainnya MENULIS," kata saya.