Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Mengajar Menulis 3] Aliecia dan Karya Tulis Dramatisnya

30 November 2018   08:03 Diperbarui: 30 November 2018   08:38 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Dan tahu apa keputusannya? Aliecia menginjak gas mobilnya dalam-dalam setelah beberapa gerombolan mengitarinya dengan senjata teracung, tidak peduli apakah ada salah seorang gerombolan terserempet atau lemparan senjata tajam menghujam ke arah mobilnya yang melaju kencang. Kejernihan berpikirnya mengajarkan, ia mengerahkan keberanian untuk menyelamatkan satu-satunya nyawa yang ia miliki dengan cara melarikan diri.

Dan... "Simon Cowell" pun mulai beraksi. Saya langsung menghamburkan kata-kata tajam, tanpa basa-basi. "Sebaiknya kamu membuka tulisan dengan hal yang paling dramatis yang boleh jadi membuatmu hampir mati, itu akan menyihir pembaca saat pertama kali membaca tulisanmu. Untuk tulisan sependek ini, jangan kamu gunakan kronologis seperti proses adanya manusia; lahir, hidup, lalu mati. Kelamaan. Tonjok saja kesadaran pembaca dengan cerita paling dramatis yang kamu punya, paham!?"

Pipi Aliecia tidak semerah kepiting goreng lagi. Ia serius sekali mendengar ceramah saya. Memangnya cuma Ustad Abdul Somad dan Aa Gym saja yang bica ceramah. Ia sadar tulisannya kurang berkenan buat saya. "Jujur, ini tulisan pertama tentang pengalaman pribadi yang aku buat," katanya serius, ada nada membela diri. Saya langsung menimpali, "It's not bad, teruskan saja kamu menulis. Apa saja bisa kamu tulis, termasuk pengalamanmu yang paling berkesan, bahkan mengerikan!"

Aliecia puas. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih dan membungkukkan badannya saat bersamalan. Kelihatannya dia tidak tersinggung karyanya saya kritik habis.

Belakangan, hasil investigasi kecil-kecialan yang saya lakukan, saya tahu perempuan itu bernama lengkap Novita Aliecia Mandibondibo. Lahir di Biak, Papua, dari seorang perempuan asing dan ayah lokal. Ia menghabiskan masa remajanya di Bandung. Pada tahun 2008 kembali ke Papua dan mulai bekerja di PT Freeport Indonesia sebagai admin di Divisi Produksi.

Pada kesempatan makan malam sehabis presentasi sharing teknik penulisan "Storytelling" itu, Aliecia hadir menemani tim. Suasana sudah mulai akrab dan cair. Bahkan secara tidak terduga ia mulai menyebut saya "Kang Pepih", yang berarti dia memposisikan diri sebagai orang yang pernah lama tinggal di Bandung atau tahu saya kalau saya juga sama-sama orang Barat seperti Aliecia, tapi Jawa Barat, sehingga sapaan akrab "Kang" sudah mulai terdengar.

"Kurang ajar"-nya, bahkan beberapa kali Aliecia memaksa --bukan meminta lagi-- saya bernyanyi dengan iringan organ tunggal di sebuah Restoran ternama di Timika itu. "Saya ga bisa nyanyi, Aliecia," tampik saya, "Penonton pada lari kalau saya nyanyi." Dia masih ngotot, "Ah, tapi suara Kang Pepih bagus kok!"

Wahhhh.... bahaya juga kalau saya berlama-lama di Papua ini!

Saya kemudian mengatakan kepadanya kalau saya mau menulis cerita tentang pengalaman mengajar menulis di Papua, termasuk membahas tentang karya karyawanya dalam menulis. Dan Aliecia mulai berwajah tegang dan serius. "Kalau sampai kisah saya ditulis dan dimuat, itu akan membunuhku," katanya dalam Inggris. Serius.

Saya paham, bagi Aliecia apa yang diceritakannya tidak untuk dipublikasikan, meskipun PT Freeport Indonesia mendorong karyawannya bisa bercerita mengenai lingkungan kerjanya di media sosial. Mengungkapkan pengalaman mengerikan disergap gerombolan akan berati mengabarkan kepada dunia bahwa Papua masih genting, lebih-lebih diceritakan langsung oleh pelaku yang tidak lain karyawan PT Freeport sendiri. Dalam konteks "code of condutc", ia berarti sudah membocorkan "rahasia perusahaan". Saya paham itu.

"Tapi Aliecia, saya diundang ke sini (Papua) jauh-jauh dari Jakarta bukan mengajari kamu untuk TIDAK MENULIS, justru saya hadir di sini untuk mengajari kamu dan karyawan PT Freeport lainnya MENULIS," kata saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun