Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Mengajar Menulis 2] Berbagi Ilmu Menulis di Atap Papua

29 November 2018   05:35 Diperbarui: 29 November 2018   05:48 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali ke Papua. Ketika berada di Bandara Mozes Kilangin untuk menunggu kedatangan helikopter Mi-171 yang akan membawa saya terbang dari Timika ke Tembagapura, saya sudah siapkan materi yang akan saya sampaikan, bahkan saya sampaikan sebelumnya kepada panitia agar materi itu bisa dibagikan kepada peserta sebagai pedoman nantinya. Ini semacam tanggung jawab sosial saya di mana mereka bisa menggunakan materi itu sebagai panduan menulis sekaligus menggugah terus-menerus bagaimana mereka memulai menulis.

Melanjutkan catatan perjalanan saya ke Timika lanjut ke Tembagapura, saya beruntung berkesempatan menikmati perjalanan udara menggunakan helikopter Mi-171. Penerbangan menggunakan heli buatan Rusia berkapasitas 24 penumpang plus pilot dan co-pilot itu hanya memakan waktu 30 menit, tetapi ketakutannya sebelum, saat mengudara dan setelah mendarat, masih belum hilang.

Tidak bisa dipungkiri, semakin merayapnya usia mendekati senja ketakutan dalam diri tumbuh semakin besar. Dulu asyik-asyik saja naik heli, sekarang ada kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu, misalnya bagaimana kalau capung besi raksasa ini tiba-tiba mati mesin, patah baling-baling, atau disergap cuaca buruk yang datang tiba-tiba.

Sebenarnya bukan yang pertama kali saya naik helikoter, ini yang keempat atau kelima di mana pengalaman pertama saat mengunjungi Sanggau Ledo yang dilanda konflik horisontal tahun 1997. Saat itu saya menaiki heli kecil yang hanya berpenumpang empat orang. Juga saat saya mengunjungi Devil's Island di Kourou tahun 2005, pulau jajahan Perancis yang menempel dengan Brasil dan terakhir terbang dengan Super Puma buatan Perancis saat tsunami Aceh 2006 lalu. Duabelas tahun kemudian saya menaiki heli lagi.

Terbang dengan heli itu sungguh sangat tergantung cuaca. Karyawan Freeport Indonesia yang akan mengunjungi tempat kerja di Tembagapura dari Timika akan lekas sampai tujuan jika udara bagus. Helikopter yang dikemudikan pilot asing itu harus bolak-balik bahkan sampai 7 rit. Tetapi kalau cuaca tidak bersahabat, maka perjalanan menggunakan bus tahan peluru bercat oranye khusus pegunungan terjal tidak dapat dihindarkan. Bedanya waktu tempuh kurang lebih 3 jam sampai tujuan.

"Berdoa saja biar cuaca bagus," kata Meliana Mitapo, staf corporate communication Freeport. Maksudnya biar saya dan rombongan dapat menggunakan heli. Ternyata cuaca sangat cerah dan saya bisa menggunakan "chopper" di rit yang kedua pada pagi yang sangat cerah, ketika matahari muncul dari balik pegunungan. Dalam hati, ada bangganya juga mengajar menulis sampai menggunakan fasilitas helikopter segala, asyiiikkk....!!!

Dari ketinggian, saya ingin segera menyentuh landasan helipad bertuliskan "H" yang sudah terlihat dari angkasa, tetapi pilot masih saja bermanuver. "H" bukan berarti "Hayo turun" loh ya, tetapi itu memang landasan untuk heli. Setelah heli mendarat dengan sempurna, barulah saya tahu "Heliport" di ketinggian 2.000 dpl Tembagapura itu bernama Aing Bugin.

Saya merasa berada di sebuah kawasan yang "bukan Indonesia", terkait dengan banyaknya tenaga kerja asing, khususnya Amerika yang mondar-mandir di Tembagapura, juga kendaraan yang tidak saya lihat keberadaannya di Jakarta atau Pulau Jawa. Saya harus menunggu mobil 4WD yang akan membawa saya tempat di mana saya akan mengajar menulis bagi 30-an karyawan Freeport yang berbasis di Tembagapura ini.

Akhirnya saya sampai ke Guest House di mana hari pertama saya mengajar menulis dilakukan. Kepada mereka, saya sudah siap berbagi pengalaman mengenai "basic instinct" yang harus dimiliki siapa saja yang berkhidmat dan berniat untuk menulis, sebuah kemampuan dasar jurnalis untuk membedakan sebuah peristiwa bernilai berita atau tidak (news value), trik mengatasi hambatan menulis, melahirkan ide kreatif, sampai cara menuliskannya dengan berbagai teknik, salah satunya "storytelling".

Sedangkan untuk teknik "storytelling" dasar, saya sudah siapkan modul bagaimana mereka menggunakan "orang pertama" dan menggunakan "orang ketiga" sebagai tokoh yang keduanya biasa digunakan dalam "creative writing" seperti menulis cerita pendek atau novel, sedangkan "orang ketiga" khusus digunakan untuk membuat berita "straight" saja. Sedikit saya sampaikan bahwa "storytelling" yang di Amerika sana bernama "Literary Journalism" diadopsi di Indonesia dengan nama "Jurnalisme Sastrawi".

Saya merasa bekal untuk mereka, dalam hal ini karyawan Freeport, yang saya siapkan sampai 60-an slide itu cukuplah, yang penting adalah penjelasan yang disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari mereka sebagai pekerja tambang dapat mereka cerna. Sebagai contoh, salah satu peserta adalah seorang dokter bernama Ummu. Tentu saja dia bekerja di semacam Puskesmas untuk melayani baik karyawan Freeport maupun penduduk lokal.

Dengan menggali pengalaman dr. Ummu selama menjalankan pekerjaannya saja saya mendapatkan banyak hal untuk bisa ditulis. Misalnya bagaimana penduduk lokal yang berobat tidak bisa membedakan huruf "t" dengan "s". Jadi kata "sakit" mereka ucapkan "takis". Juga konsep seminggu dalam benak mereka adalah "tiga hari" dan seterusnya. "Saya bingung apa yang harus saya tulis?" tanyanya dan dengen enteng saya jawab, "Ya tulislah pengalaman Ibu Dokter selama berinteraksi dengan pasien khususnya penduduk lokal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun