Soeharto lewat mesin-mesin politiknya, memecah belah NU seperti "devide et impera"-nya kolonial Belanda. Ia berusaha mendongkel Gus Dur dengan memanggungkan Muktamar NU tandingan. "Boneka" yang dipanggungkan Soeharto saat itu adalah Abu Hasan, saingan yang dikalahkan Gus Dur dalam Muktamar Cipasung.
Tapi Gus Dur memang jagoan, ia tetap terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU. Ketiga kalinya, Saudara-saudara!
Selain "melihat" jauh ke depan bahwa Gus Dur berpotensi menggantikan dirinya selaku Presiden, Soeharto sebenarnya menaruh kejengkelan tersendiri saat Adam Schwarz dalam buku yang ditulisnya "A Nation In Waiting: Indonesia in The 1900", menyebut Soeharto "bodoh" mengutip wawancaranya dengan Gus Dur.
Kalimat persisnya begini; "That is the stupidity of Soeharto that he did not follow my advice" (Itulah kebodohan Soeharto yang tidak mengikuti nasehat saya). Kejengkelan memuncak terlebih-lebih karena Gus Dur mendukung para aktivis melawan pemerintah Soeharto. Di mata Soeharto, Gus Dur harus dilumpuhkan.
Kedua, pun demikian dengan Megawati Soekarnoputri yang jelas-jelas anak biologis Soekarno.
Soeharto punya pandangan yang sama bahwa puteri Bung Karno itu suatu saat bakal jadi perempuan pertama Presiden RI. Mega pun dilumpuhkan lewat Munas Luar Biasa PDI tandingan yang dipanggungkan Soeharto setelah Megawati terpilih. Boneka yang disodorkan adalah Soerjadi.
Inilah awal kejatuhan Soeharto yang sesungguhnya; jatuh setelah menjatuhkan Megawati!
Jika meminjam analogi media sosial, Megawati menjadi trending topic dalam setiap pembicaraan. Ia menjadi menjadi sosok wong cilik yang ditindas penguasa. Soeharto tidak mampu membendung narasi sederhana yang viral dari mulut ke mulut ini. Megawati tak terbendung. Ia menjadi besar.
Sejarah mencatat, Mega pun menjadi Presiden RI menggantikan Gus Dur yang sudah menjadi rahasia umum dipaksa dilengserkan oleh Amien Rais dan kawan-kawan. Gus Dur dan Megawati ibarat berbagi separuh masa Presiden RI.
Di mata "daripada" Soeharto, Gus Dur dan Megawati berpotensi bakal menggantikannya sebagai Presiden. Karenanya keduanya harus dilumpuhkan, sebab terbukti Gus Dur dan Megawati bisa menggantikan kedudukannya di kemudian hari.
Sebuah pandangan politik sekaligus kekuasaan yang tajam "daripada" Soeharto.