Perlahan-lahan orang harus mengakui ketajaman penciuman politik Soeharto, mantan penguasa Orde Baru yang berkuasa 32 tahun di Republik ini. Atas naluri yang tajam itu, Soeharto bisa memandang jauh ke depan sosok mana yang berpotensi menggantikannya. Untuk itulah mereka harus dilumpuhkan, siapun mereka.
Dua nama ini, yaitu Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, masuk dalam radar atau naluri kekuasaan Soeharto di mana suatu saat bakal menggantikan kedudukannya selaku Presiden RI. Itu tadi kuncinya, keduanya harus dilumpuhkan segera. Dengan cara apa? Dengan cara yang Soeharto punya. Cara yang sangat khas.
Jika konteksnya konstitusi yang jelas mengatur masa kepemimpinan Presiden, sebenarnya ketakutan Soeharto itu tidak perlu ada, juga tidak beralasan. Sebab, secara konstitusional pemimpin berganti dalam periode tertentu lewat mekanisme Pemilu. Pemimpin nasional pasti berganti.
Tetapi Soeharto menafsirkan sendiri Konstitusi, UUD 1945, bahwa "Presiden boleh dipilih kembali". Artinya, Presiden bisa setiap akhir jabatan lima tahun dipilih (oleh MPR) kembali. Begitu seterusnya... dan itu dilakukan oleh Soeharto. Lewat konstitusi, ia ingin menjadi Presiden seumur hidup.
Itu sebabnya Soeharto mensakralkan Pancasila dan UUD 1945 dengan narasi menakut-nakuti yang akan dikenang dalam sejarah kelam perpolitikan Indonesia. Bahwa, barang siapa yang mengungkit-ungkit konstitusi dan Pancasila, ia akan berhadapan dengan kekuasaan absolut negara. ABRI pun tunduk untuk sama-sama bisa menebarkan narasi menakut-nakuti ini.
Soeharto menempatkan konstitusi sebagai "kitab suci", yang tidak boleh diubah sedikit pun lewat amandemen di MPR. Mengubah konstitusi bisa jadi akan mengutak-atik kalimat sakti "setelah itu (Presiden) bisa dipilih kembali".
Soeharto tidak mau itu terjadi. Apalagi tatkala ada elemen masyarakat yang mulai menghendakinya "lengser", ia mengancam dengan kata-kata paling dikenang sampai sekarang, "Akan saya gebuk".
Soal penciuman politik yang sangat tajam tadi, ini sisi lain kehebatan "daripada" Soeharto. Harus diakui itu!
Coba saja, dua sosok yang diprediksi bakal menggantikan dirinya itu benar-benar terjadi; Megawati menjadi Presiden RI, bahkan Gus Dur lebih dahulu, persis sama urutan-urutannya saat keduanya harus ditumbangkan.
Pertama Gus Dur. Soeharto melihat bahwa tokoh kharismatis yang sangat cerdas ini bakal menjadi Presiden RI suatu saat nanti, calon presiden yang berpotensi menggantikan dirinya.
Soeharto mengganjal laju Gus Dur ke jenjang yang lebih tinggi dimulai lewat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 1994 di Cipasung, Tasikmalaya.