Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

[Serial Orba] Di Mata "daripada" Soeharto, Gus Dur dan Mega Harus Dilumpuhkan

7 Desember 2018   21:15 Diperbarui: 8 Desember 2018   09:48 1930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Dur dan Megawati (Foto: Reuters)

Perlahan-lahan orang harus mengakui ketajaman penciuman politik Soeharto, mantan penguasa Orde Baru yang berkuasa 32 tahun di Republik ini. Atas naluri yang tajam itu, Soeharto bisa memandang jauh ke depan sosok mana yang berpotensi menggantikannya. Untuk itulah mereka harus dilumpuhkan, siapun mereka.

Dua nama ini, yaitu Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, masuk dalam radar atau naluri kekuasaan Soeharto di mana suatu saat bakal menggantikan kedudukannya selaku Presiden RI. Itu tadi kuncinya, keduanya harus dilumpuhkan segera. Dengan cara apa? Dengan cara yang Soeharto punya. Cara yang sangat khas.

Jika konteksnya konstitusi yang jelas mengatur masa kepemimpinan Presiden, sebenarnya ketakutan Soeharto itu tidak perlu ada, juga tidak beralasan. Sebab, secara konstitusional pemimpin berganti dalam periode tertentu lewat mekanisme Pemilu. Pemimpin nasional pasti berganti.

Tetapi Soeharto menafsirkan sendiri Konstitusi, UUD 1945, bahwa "Presiden boleh dipilih kembali". Artinya, Presiden bisa setiap akhir jabatan lima tahun dipilih (oleh MPR) kembali. Begitu seterusnya... dan itu dilakukan oleh Soeharto. Lewat konstitusi, ia ingin menjadi Presiden seumur hidup.

Itu sebabnya Soeharto mensakralkan Pancasila dan UUD 1945 dengan narasi menakut-nakuti yang akan dikenang dalam sejarah kelam perpolitikan Indonesia. Bahwa, barang siapa yang mengungkit-ungkit konstitusi dan Pancasila, ia akan berhadapan dengan kekuasaan absolut negara. ABRI pun tunduk untuk sama-sama bisa menebarkan narasi menakut-nakuti ini.

Soeharto menempatkan konstitusi sebagai "kitab suci", yang tidak boleh diubah sedikit pun lewat amandemen di MPR. Mengubah konstitusi bisa jadi akan mengutak-atik kalimat sakti "setelah itu (Presiden) bisa dipilih kembali".

Soeharto tidak mau itu terjadi. Apalagi tatkala ada elemen masyarakat yang mulai menghendakinya "lengser", ia mengancam dengan kata-kata paling dikenang sampai sekarang, "Akan saya gebuk".

Soal penciuman politik yang sangat tajam tadi, ini sisi lain kehebatan "daripada" Soeharto. Harus diakui itu!

Coba saja, dua sosok yang diprediksi bakal menggantikan dirinya itu benar-benar terjadi; Megawati menjadi Presiden RI, bahkan Gus Dur lebih dahulu, persis sama urutan-urutannya saat keduanya harus ditumbangkan.

Pertama Gus Dur. Soeharto melihat bahwa tokoh kharismatis yang sangat cerdas ini bakal menjadi Presiden RI suatu saat nanti, calon presiden yang berpotensi menggantikan dirinya.

Soeharto mengganjal laju Gus Dur ke jenjang yang lebih tinggi dimulai lewat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 1994 di Cipasung, Tasikmalaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun