"Petisi 50" sejatinya sebuah dokumen terbuka. Bisa dibaca siapa saja. Isinya yang memprotes penggunaan filsafat negara, yaitu Pancasila, oleh Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya, jelas bikin penguasa meradang. Petisi ini dirilis 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai "Ungkapan Keprihatinan".
Ali Sadikin "hanyalah" salah satu tokoh ternama penandatangan selain mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, SK Trimurti, Letjen purn Jassin, mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap serta Mohammad Natsir.
Di tangan Soeharto, Pancasila yang sejatinya merupakan ideologi negara, telah berubah menjadi gada, alat pemukul lawan politiknya yang paling mematikan. Melawan Soeharto berarti melawan ideologi negara. Ganjarannya tahu sendiri, bisa dibilang makar dan dijebloskan ke dalam tahanan sebagaimana dialami AM Fatwa, salah satu penandatangan "Petisi 50".
Nah, para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Soeharto sebagai penguasa telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, yang menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya".
Yang paling bikin Soeharto murka, petisi itu menyebut Soeharto menyetujui tindakan-tindakan tidak terhormat militer, sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi dan bahwa prajurit dianjurkan untuk memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto.
Untuk sekadar mengingatkan kembali apa isi "Petisi 50" bisa dibaca di sini.
Demikianlah "Petisi 50" yang akan dikenang sebagai "sebuah perlawanan" dari anasir warga negara paling berani di era Orde Baru di saat Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H