Jika Soeharto tidak suka, dia memilih untuk tidak berkomentar. Ada bahasa-bahasa isyarat yang harus dipahami jika ia tidak berkenan. Bahkan menurut Muladi jika Soeharto memerintah stafnya, ia tidak pernah secara jelas mengutarakannya dan semua tergantung penafsiran sendiri orang-orang yang mendengarnya.
Bicara komunikasi nirverbal, tongkat yang ada dalam foto itu tidak lain diterjemahkan sebagai "estafet" kepemimpinan, sehingga terjemahan bebasnya adalah Soeharto suatu saat akan mengestafetkan kepemimpinannya pada Try Sutrisno, selaku Presiden RI tentunya.
Lantas ketika Try sudah selangkah lagi menggantikan Soeharto saat duduk sebagai Wakil Presiden, skenario berubah dan Try orang yang cukup tahu diri.
Sekadar mengingatkan saja, saat Try kala itu dimajukan sebagai cawapres oleh para anggota MPR Fraksi ABRI, yang kemudian disambar PPP dan PDI. Hanya Golkar yang belum menyatakan dukungannya. Soeharto tidak suka di "fait accompli" (didahului). Tentu dia marah. Tetapi karena Golkar dan ABRI sama-sama instrumen politik kekuasaannya, ia tidak ingin ada perpecahan yang meluas. Try akhirnya menjadi Wapres menggantikan Sudharmono.
Nah, ketika nama Try menghiasi pemberitaan media nasional pada tahun 1993 akibat manuver anggota MPR Fraksi ABRI yang diamini PPP dan PDI ini, orang mengingat lagi foto bersejarah ini: "estafet kepemimpinan nasional dari Soeharto ke Try Sutrisno".
Boleh jadi Soeharto paham betul makna yang terdapat dalam selembar foto berwarna saat Try menjadi ajudannya itu. Makanya saat itu ada rumor, Soeharto lebih suka memilih BJ Habibie yang berpenampilan cerdas tetapi sangat loyal itu atau mengangkat kembali Sudharmono, daripada harus memilih Try Sutrisno yang tentu saja "selangkah" lagi menjadi pemimpin nasional pengganti dirinya.
Akan tetapi di kalangan elite dan purnawirawan ABRI berpengaruh saat itu, sosok Sudharmono kurang disukai, bahkan sejak Soeharto mengangkatnya sebagai Wapres di tahun 1988.
Untuk menunjukkan ketidaksukaannya itulah manuver dilakukan oleh anggota MPR Fraksi ABRI, yang saat itu mekanisme model itu masih diperbolehkan.
Ini juga tidak lain komunikasi nirkata dari para politikus, bahwa mengajukan nama berarti ingin agar Soeharto memilih cawapres yang mereka sodorkan, yaitu Try Sutrisno, bukan yang lainnya.
Adapun Try Sutrisno sendiri orang yang tahu diri jelang suksesi Maret 1998 saat Soeharto memilih BJ Habibie sebagai Wapres barunya. Sementara Soeharto tetap masih berhasrat untuk berkuasa lagi di lima tahun berikutnya hingga 2003 (dan setelah itu bisa dipilih kembali). Hanya saja sejarah bicara lain; Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998.
Dan, estafet kepemimpinan segaimana yang tergambar dalam foto yang dibahas ini tidak pernah benar-benar terwujud. BJ Habibie-lah yang kemudian menggantikan Presiden Soeharto.