Naluri menulis
Meski saya akan bertugas bukan sebagai jurnalis mewakili perusahaan media, melainkan sebagai KOL mewakili diri saya sendiri, tetap saya tidak main-main menerima undangan ini.
Di satu sisi, boleh saja undangan ini dianggap sebagai refreshing dari kepenatan rutinitas sehari-hari di Jakarta. Tetapi, di sisi lain, ini adalah semacam ujian apakah saya akan memanfaatkan undangan ini sekadar main-main atau saya lakukan secara serius karena ini justru kesempatan baru di mana keajegan saya untuk tetap menulis mendapat ujian paling berat.
Saya memilih yang kedua. Di balik kesempatan ini ada tantangan yang terbuka, saya harus tetap menulis!
Bedanya, jika dulu saya menulis di Harian Kompas atau Kompas.com, saya tidak harus "mati gaya" karena masih tetap bisa menulis di media sosial. Saya bisa menulis di blog sosial yang pernah saya dirikan, Kompasiana, saya bisa menulis di blog atau website pribadi PepNews! (yang keren, menurut saya hahaha...) atau saya bisa menulis di platform tanya-jawab Selasar di mana saya juga ikut mendirikannya. Saya bisa menulis di mana-mana!
KOL atau Key Opinion Leader hanyalah sebutan saja untuk "mendefinisikan" posisi yang bukan jurnalis lagi dan itu saya terima dengan senang hati. Namun, naluri menulis tetap tidak pernah hilang. Sebagai gambaran saat saya diundang beberapa tahun lalu ke luar negeri, saya bisa menulis kunjungan ke negara itu sebagai "catatan perjalanan" yang bersambung sampai belasan serial!
Apa kuncinya? Saya selalu memposisikan diri sebagai "cub reporter", wartawan kemarin sore (yesterday afternoon journalist), yang lincah ke sana-kemari seperti anak singa yang sedang "kumincir" (bahasa Sunda, lincah), haus akan pengetahuan dan selalu ingin tahu apa yang saya lihat. Saya akan mencatatnya dengan detail setiap peristiwa atau benda yang saya jumpai selama perjalanan itu saya. Kemudian saya merangkaikannya dalam sebuah tulisan serial, bila perlu saat itu juga. Saya tidak biasa menunda-nunda proses menulis. Itulah yang biasa saya lakukan.
Kini kesempatan berkunjung ke luar negeri itu datang lagi. Naluri saya menulis tumbuh sebagaimana biasanya, tidak pernah padam. Sebagaimana yang sering saya lakukan, saya harus membaca literatur mengenai negara dan perusahaan atau lembaga di mana saya berkunjung sebagai bekal pengetahuan, supaya tidak o-on dalam bertanya.
Membaca sudah menjadi standar operasional diri yang saya terapkan secara ketat. Maka karena perusahaan teknologi informasi bernama Huawei yang saya kunjungi, saya berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, termasuk membaca buku tebal mengenai sejarah perjalanan perusahaan ini hingga menapaki puncak.
Wen yang fasih berbahasa Inggris, selama 30 menit perkenalan lebih dominan bicara mengenai teknolog informasi yang berkembang di daratan Tiongkok maupun di tingkat global. Ia selintas bercerita mengenai apa yang sedang dilakukan dan dikembangkan Huawei sebagai perusahaan teknologi informasi global.