Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertemuan Tak Terduga di Tanah Papua (#Journeylism 4)

29 Juni 2016   16:47 Diperbarui: 29 Juni 2016   21:47 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin mengakhiri catatan perjalanan ini dengan cara mengingatnya, bukan seperti Nana Mouskouri dalam senandung “Je finirai par l’oublier”, saya akan mengakhirinya dengan cara melupakannya. Tidak. Saya justru akan mengakhiri cerita ini dengan cara mengenangnya, “je me finirai par le souvenir”.

Maka, perjalanan saya akhiri dengan sebuah catatan yang lebih pribadi, lebih bersifat pergolakan batin, meski tidak lepas dari rangkaian perjalanan atas prakarsa PT Freeport Indonesia, mulai mengobok-obok Timika sampai menyaksikan Festival Danau Sentani. Boleh dibilang, ini bonus dari sekadar perjalanan lahir, yakni perjalanan batin atau tetirah spiritual.

Suara di atap ponsel yang saya lekatkan ke telinga kiri itu seperti tidak yakin kalau sayalah si empunya suara. Berulang-ulang suara di ujung sana ingin meyakinkan bahwa sayalah si pemilik suara. “Ya, ini saya, Bi, saya sudah ada di Jayapura,” kata saya seraya menyebut Swiss Belhotel tempat saya menginap.

Kemudian saya bercerita kalau saya sedang dalam tugas dari Timika ke Jayapura dengan tujuan melihat kegiatan Festival Danau Sentani dan ingin bertemu pasangan paman-bibi yang sudah selama tujuh tahun mengembara di tanah Papua. Keesokan harinya, paman-bibi dan seorang gadis belia yang belum saya kenal datang menjemput di pelataran hotel. Saya memeluk mereka erat dan berusaha menahan agar air mata tidak mengembang. Saya menyembunyikannya.

Berbicara singkat di lobi hotel untuk kemudian saya putuskan turun bersama paman-bibi. Saya ingin mengunjungi kediaman sekaligus tempat mereka berjualan. Di hari yang beranjak siang itu, sebuah mobil Nissan Terano hitam masih mulus yang dikemudikan paman meluncur dari ketinggian Jayapura di atas perbukitan menuju dataran lebih rendah, Sentani. Melalui mobil ini saya bisa sekilas menilai, paman-bibi telah menemukan kehidupannya di Papua. Syukurlah. Saya duduk di samping paman yang memegang kemudi dan selagi kendaraan meluncur turun, seribu kenangan masa silam datang menjelma.....

Paman yang sedang saya ceritakan ini bernama Yusuf. Karena dia adik almarhum ayah, saya memanggilnya Mang Ucup. “Mang” yang bermakna “paman” adalah panggilan untuk paman. Saya coba merunut kembali anak-anak pasangan Haji Sobari-Enah secara berurut; Ua Nana, Lili Sumarli (ayah), Ua Yoyoh, Bi Popoh, Bi Jeje, Mang Iyon, Bi Iyet, Mang Engkos, Bi Cucu, Mang Yusuf (Ucup), Bi Cacih, dan Bi Entut. Semuanya 12 kakak-beradik dan kepada semuanya saya kenal baik. Dengan si bungsu Entut, usia saya sebaya.

Pasangan kakek saya dari pihak ayah, Sobari-Enah, adalah petani tulen yang hidup dari bertani dan membesarkan anak-anaknya dari hasil bumi, mengikuti pola buyut saya, Eyang Haji Nur. Sebagai salah seorang cucu Sobari, saya pernah mencatat saat-saat di mana pada masa kecil harus pergi mengantarkan makanan dan minuman ke sawah untuk makan siang “Aki”, demikian saya memanggil Sobari kakek saya itu. Sayur kentang berkuah santen campur lombok merah yang sudah digerus, bakar ikan peda merah yang masih panas, petai bubuy yang merekah, nasi putih yang pulen, plus teh hijau panas di dalam teko, itulah hidangannya.

Prosesi membawa makanan ke sawah itu disebut “nganteuran” dan kalau musim “ngawuluku” tiba, besar kemungkinan saya mendapat serenceng belut segar yang tergali ke luar dari sawah yang sedang diolah. Bahkan kadang saya naik di atas wuluku di belakang pantat kerbau. “Kiyaaaa.... miderrr....,” demikian tukang wuluku menyemangati kerbaunya agar terus berjalan mengelilingi sawah sampai tanah benar-benar terolah dengan baik dan siap ditanam.

Dari 12 anak-anak Sobari, hanya satu anak yang boleh dibilang “anomali”, yaitu ayah sendiri yang menjadi guru, yang juga berjodoh dengan guru, Enok Suhayah, ibu saya sendiri. Selebihnya kalau tidak bertani, ya berdagang mengkreditkan barang, mengembara di rimba Jakarta. Profesi “tukang kiridit” pun melekat.

“Kiridit” tidak lain “kredit”, sebuah model usaha di mana pedagang menjual barangnya kepada konsumen dengan cara menyicil. Dulu “tukang kiridit” sering dijadikan olok-olok. Sekarang malah dijadikan model perniagaan modern. Tidak ada penjual yang tidak mengkreditkan barang-barangnya, dari barang elektronik, kenderaan bermotor, sampai apartemen. Semua dikredit, bukan? Jadi, berterimakasihlah kepada orang Tasikmalaya yang memelopori cara berbisnis ini!

Adapun saya, pernah mengalami tiga “gelombang peradaban”, yakni belajar bertani dan belajar berdagang, khususnya bagaimana orang-orang Tasikmalaya seperti paman-paman saya ini menjadi “tukang kiridit” di Jakarta. Sementara “peradaban” lainnya, yakni belajar di bangku sekolah, saya lakukan sebagai sebuah kewajiban atas arahan dan tanggung jawab orangtua sebagai guru. Tani-dagang-kantoran, itulah tiga “gelombang peradaban” yang membentuk karakter saya sampai sekarang.

Pada suatu masa di tahun 1970-an, markas dagang mereka berada di Kampung Krendang, Kawasan Tambora, Jakarta Barat. Sebuah kawasan padat pemukiman yang sekarang saya belum mengecek lagi apakah kampung itu masih ada atau sudah lenyap tinggal nama tergerus apartemen dan perkantoran.

Saat liburan caturwulan, sebelum saya berlibur di rumah kakek-nenek dari pihak Ibu, yakni pasangan Maknun Iskandar-Nyimas Enung, saya sering tertambat di Kampung Krendang dan dengan sendirinya melihat sekaligus mempelajari bagaimana para paman menjalankan usahanya sebagai “tukang kiridit”. Ada yang berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari menggunakan sepeda, ada yang jualan minyak goreng pikul, dan seterusnya. Ya, mereka adalah paman-paman saya. Saya pernah menuangkan pengalaman saya “milu ngiridit” di blog bahasa Sunda saya.

Kembali ke Mang Ucup, paman yang sedang berada di samping saya ini, yang sedang mengemudikan Nissan-nya.

Pendidikannya terhenti di sekolah menengah pertama saat kakek-nenek masih kuat menyekolahkannya ke jenjang lebih tinggi. Balap sepeda motor atau di kampung kami disebut “motor trail” itu lebih menarik perhatian daripada pelajaran di bangku sekolah. Ingatan saya merekam dengan baik bagaimana nenek Enah tersedu-sedu atas permintaan Mang Ucup yang ingin sebuah sepeda motor trail untuk balapan di tanah bergelombang yang menjadi tren saat itu. Sekaya-kayanya petani di kampung, sepeda motor trail bukanlah harga murah dan hal itu terwujud kemudian. Saya tidak tahu bagaimana kakek-nenek bisa membeli sepeda motor trail yang mahal itu.

Tahun 1978, dalam catatan saya, nenek Enah meninggal saat saya berlibur ke kawasan kumuh Tambora. Inilah tahun kelabu di mana Mang Ucup kehilangan pegangan, di mana kakak-kakaknya satu persatu membangun keluarga sendiri-sendiri. Belasan tahun kemudian ketika Sobari menutup mata, hartanya dibagi-bagikan kepada 12 anak-anaknya. Rumah bertingkat dua yang berlokasi di Kebon Suuk, Ciawi Tasikmalaya, yang menjadi tempat tinggal keluarga besar itu pada akhirnya terpaksa harus dijual meski sempat dipertahankan. Pembelinya tidak lain salah satu cucunya, saya sendiri.

Mang Ucup menikah dengan Lilis, masih tetangganya, membentuk sebuah keluarga dengan tiga anak; dua perempuan, dan satu laki-laki. Saya sudah kuliah di Bandung kemudian bekerja di Jakarta sejak 1990 sehingga tidak lagi mengetahui apa pekerjaan Mang Ucup di kampung. Yang jelas pada suatu petang tahun 2008, saya mendapat telepon dari Bi Lilis yang intinya meminta pertimbangan bagaimana caranya paman-bibi dan tiga anaknya bisa “membuang” diri ke Papua, sebuah tempat paling jauh yang ada di pikiran orang-orang kampung. Permintaan pinjaman uang yang demikian besar tidak bisa saya luluskan karena sebulan sebelumnya saya membeli properti di perumahan BSM, Indihiang, Tasikmalaya.

Terpaksa saya ceritakan di sini, bahwa sejak 1997 secara tidak sengaja saya “bermain” properti dengan cara “menyekolahkan” sertifikat rumah yang saya tempati, rumah atas jasa baik kantor tempat di mana saya bekerja, untuk meminjam uang di bank DKI Jakarta. Dengan modal sertifikat itulah saya membeli properti satu demi satu. Ketika jangka waktu pelunasan selesai tiga dua atau tiga tahun, pihak bank memanasi saya untuk meminjam lagi dan meminjam lagi. Saya pinjam dan pinjam lagi untuk membeli properti baru lainnya. Demikian seterusnya. Hingga catatan perjalanan ini saya buat, saya masih berurusan dengan bank sampai tiga tahun mendatang!

Tahukah darimana naluri bisnis ini tumbuh diam-diam dalam jiwa saya? Ya dari “gaul” dengan “tukang kiridit” di tahun 1970-an itulah yang pelakunya adalah paman-paman saya sendiri. Saya bahkan ikut jadi tukang kiridit juga, meski ikut-ikutan Kang Apid, salah seorang anak Ua Yoyoh.

Mengapa saya sampai menahan agar air mata tidak mengembang saat memeluk paman-bibi di pelataran hotel Swiss Belhotel? Tidak lain karena, pertama, rasa sesal karena sebagai keponakan tidak bisa membantu paman yang sedang kesusahan. Kedua, ternyata paman-bibi tidak dendam dan melupakan peristiwa lama atas ketidakmampuan saya memberi mereka pinjaman. Itulah yang membuat batin saya galau dan campur-aduk. Dan.... kendaraan yang paman kemudikan sudah sampai ke Sentani, tempat kediaman paman dan bibi.

Paman dan bibi berbisnis ikan hias yang didatangkan dari Jawa. Selain ikan hias, juga perlatan memancing, umpan, aksesoris memancing, aquarium, sampai berjualan burung dan sarangnya. Tokonya bernama “Noer Aquarium”, berlokasi di Jalan Raya Kemiri, Sentani. Sebuah toko berdinding tembok beratap seng berbentuk kotak. Di bagian belakang toko ada dua kamar yang disekat, kamar tempat tidur paman-bibi dan anak bungsunya, Ipung, yang baru menikahi Enung, April lalu. Oh, rupanya perempuan muda yang duduk di jok belakang bersama Bi Lilis tadi bernama Enung.

Toko ikan hias milik paman dan bibi / by Pepih Nugraha
Toko ikan hias milik paman dan bibi / by Pepih Nugraha
Pertemuan dua jam di toko merangkap tempat tinggal itu adalah membangun cerita dengan mengenang perjalanan masa lalu masing-masing. Pasangan paman-bibi boleh dibilang menggelandang pada awalnya saat tiba di tanah Papua. “Mulai belajar hidup dari nol,” kata Bi Lilis mengenang dengan air mata yang menggenang. Hal paling menyakitkan menurutnya ketika diusir oleh pemilik tanah yang menyewakan tanahnya. Saat lahan itu dibangun atas izin si empunya tanah dan sudah menjadi tembok permanen, petaka itu datang. “Si pemilik tanah mengusir kami seperti mengusir hewan saja,” lagi-lagi Bi Lilis mengenang.

Mengapa jatuh pada pilihan bisnis ikan hias? Karena melihat peluang. Saat itu, kata Mang ucup, hanya ada satu dua yang berjualan ikan hias. “Itupun dengan jenis yang tidak beragam.” Karena untuk ikan hias butuh aquarium dan aquarium rentan didatangkan dari Jawa, maka mau tidak mau Mang Ucup belajar sendiri membuat aquarium. “Pernah membeli kaca yang seharusnya dipotong untuk dijadikan tiga aqurium, tidak satu pun yang jadi. Ini karena salah potong atau keliru ukuran,” Mang Ucup mengenang, kali ini sambil tertawa, seakan-akan menertawakan keluguan masa lalunya.

Hidup memang begitu. Jatuh dan bangun. Sekali terjatuh sakitnya bukan kepalang. Untuk bangun kembali, tak kalah susahnya. Tetapi dari terjatuh itu biasanya menjadi tahu bagaimana harus bangun dan berdiri kembali secepatnya. Demikianlah cerita perjalanan hidup paman dan bibi.

Berbeda dengan "nasib" ua dan paman-paman saya lainnya. Karena melakoni bisnis berdasarkan naluri dan tanpa perhitungan matang, satu persatu Ua Nana dan adik-adiknya yang menjadi tukang kiridit di Jakarta kembali ke desa tanpa hasil berarti. Kampung Krendang harus mereka tinggalkan, apalagi krisis moneter menggilas tanpa batas. Boleh dibilang mereka kembali ke kampung dengan tangan hampa. Mereka kembali menjadi petani atas lahan yang masih tersisa.

Mang Iyon, salah satu paman saya yang sudah almarhum, misalnya, malah pulang dengan perasaan tertekan dan sama sekali tidak mau ke Jakarta lagi. Ia trauma dan rugi besar saat mengkreditkan barang-barangnya kepada sejumlah penduduk yang daerahnya tergusur. Tahu kalau kawasannya akan digusur, sejumlah warga justru memesan barang banyak-banyak ke Mang Iyon. Sebagai pedagang, tentu saja Mang Iyon senang barang dagangannya laku dikredit. Tidak tahunya, saat ia akan menagih, kawasan itu sudah tergusur berikut penduduknya.

Dua jam tiba untuk berpisah karena Festival Danau Sentani menurut rencana sudah akan dibuka oleh Gubernur Papua dan Menteri Pariwisata, yang dua-duanya ternyata tidak hadir dan hanya bisa diwakilkan.

Dua hari kemudian saat saya sudah akan menuju bandara Sentani, Mang Ucup dan Bi Lilis tanpa sepengetahuan sudah menunggu di bandara Sentani dengan satu rencana, melepas saya pergi dengan oleh-oleh roti abon Manokwari. 

Kali ini saya gagal menahan titik air mata haru tidak terjatuh. (Selesai)

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun