Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertemuan Tak Terduga di Tanah Papua (#Journeylism 4)

29 Juni 2016   16:47 Diperbarui: 29 Juni 2016   21:47 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama paman dan bibi di Papua| Dok. Pepih Nugraha

Pada suatu masa di tahun 1970-an, markas dagang mereka berada di Kampung Krendang, Kawasan Tambora, Jakarta Barat. Sebuah kawasan padat pemukiman yang sekarang saya belum mengecek lagi apakah kampung itu masih ada atau sudah lenyap tinggal nama tergerus apartemen dan perkantoran.

Saat liburan caturwulan, sebelum saya berlibur di rumah kakek-nenek dari pihak Ibu, yakni pasangan Maknun Iskandar-Nyimas Enung, saya sering tertambat di Kampung Krendang dan dengan sendirinya melihat sekaligus mempelajari bagaimana para paman menjalankan usahanya sebagai “tukang kiridit”. Ada yang berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari menggunakan sepeda, ada yang jualan minyak goreng pikul, dan seterusnya. Ya, mereka adalah paman-paman saya. Saya pernah menuangkan pengalaman saya “milu ngiridit” di blog bahasa Sunda saya.

Kembali ke Mang Ucup, paman yang sedang berada di samping saya ini, yang sedang mengemudikan Nissan-nya.

Pendidikannya terhenti di sekolah menengah pertama saat kakek-nenek masih kuat menyekolahkannya ke jenjang lebih tinggi. Balap sepeda motor atau di kampung kami disebut “motor trail” itu lebih menarik perhatian daripada pelajaran di bangku sekolah. Ingatan saya merekam dengan baik bagaimana nenek Enah tersedu-sedu atas permintaan Mang Ucup yang ingin sebuah sepeda motor trail untuk balapan di tanah bergelombang yang menjadi tren saat itu. Sekaya-kayanya petani di kampung, sepeda motor trail bukanlah harga murah dan hal itu terwujud kemudian. Saya tidak tahu bagaimana kakek-nenek bisa membeli sepeda motor trail yang mahal itu.

Tahun 1978, dalam catatan saya, nenek Enah meninggal saat saya berlibur ke kawasan kumuh Tambora. Inilah tahun kelabu di mana Mang Ucup kehilangan pegangan, di mana kakak-kakaknya satu persatu membangun keluarga sendiri-sendiri. Belasan tahun kemudian ketika Sobari menutup mata, hartanya dibagi-bagikan kepada 12 anak-anaknya. Rumah bertingkat dua yang berlokasi di Kebon Suuk, Ciawi Tasikmalaya, yang menjadi tempat tinggal keluarga besar itu pada akhirnya terpaksa harus dijual meski sempat dipertahankan. Pembelinya tidak lain salah satu cucunya, saya sendiri.

Mang Ucup menikah dengan Lilis, masih tetangganya, membentuk sebuah keluarga dengan tiga anak; dua perempuan, dan satu laki-laki. Saya sudah kuliah di Bandung kemudian bekerja di Jakarta sejak 1990 sehingga tidak lagi mengetahui apa pekerjaan Mang Ucup di kampung. Yang jelas pada suatu petang tahun 2008, saya mendapat telepon dari Bi Lilis yang intinya meminta pertimbangan bagaimana caranya paman-bibi dan tiga anaknya bisa “membuang” diri ke Papua, sebuah tempat paling jauh yang ada di pikiran orang-orang kampung. Permintaan pinjaman uang yang demikian besar tidak bisa saya luluskan karena sebulan sebelumnya saya membeli properti di perumahan BSM, Indihiang, Tasikmalaya.

Terpaksa saya ceritakan di sini, bahwa sejak 1997 secara tidak sengaja saya “bermain” properti dengan cara “menyekolahkan” sertifikat rumah yang saya tempati, rumah atas jasa baik kantor tempat di mana saya bekerja, untuk meminjam uang di bank DKI Jakarta. Dengan modal sertifikat itulah saya membeli properti satu demi satu. Ketika jangka waktu pelunasan selesai tiga dua atau tiga tahun, pihak bank memanasi saya untuk meminjam lagi dan meminjam lagi. Saya pinjam dan pinjam lagi untuk membeli properti baru lainnya. Demikian seterusnya. Hingga catatan perjalanan ini saya buat, saya masih berurusan dengan bank sampai tiga tahun mendatang!

Tahukah darimana naluri bisnis ini tumbuh diam-diam dalam jiwa saya? Ya dari “gaul” dengan “tukang kiridit” di tahun 1970-an itulah yang pelakunya adalah paman-paman saya sendiri. Saya bahkan ikut jadi tukang kiridit juga, meski ikut-ikutan Kang Apid, salah seorang anak Ua Yoyoh.

Mengapa saya sampai menahan agar air mata tidak mengembang saat memeluk paman-bibi di pelataran hotel Swiss Belhotel? Tidak lain karena, pertama, rasa sesal karena sebagai keponakan tidak bisa membantu paman yang sedang kesusahan. Kedua, ternyata paman-bibi tidak dendam dan melupakan peristiwa lama atas ketidakmampuan saya memberi mereka pinjaman. Itulah yang membuat batin saya galau dan campur-aduk. Dan.... kendaraan yang paman kemudikan sudah sampai ke Sentani, tempat kediaman paman dan bibi.

Paman dan bibi berbisnis ikan hias yang didatangkan dari Jawa. Selain ikan hias, juga perlatan memancing, umpan, aksesoris memancing, aquarium, sampai berjualan burung dan sarangnya. Tokonya bernama “Noer Aquarium”, berlokasi di Jalan Raya Kemiri, Sentani. Sebuah toko berdinding tembok beratap seng berbentuk kotak. Di bagian belakang toko ada dua kamar yang disekat, kamar tempat tidur paman-bibi dan anak bungsunya, Ipung, yang baru menikahi Enung, April lalu. Oh, rupanya perempuan muda yang duduk di jok belakang bersama Bi Lilis tadi bernama Enung.

Toko ikan hias milik paman dan bibi / by Pepih Nugraha
Toko ikan hias milik paman dan bibi / by Pepih Nugraha
Pertemuan dua jam di toko merangkap tempat tinggal itu adalah membangun cerita dengan mengenang perjalanan masa lalu masing-masing. Pasangan paman-bibi boleh dibilang menggelandang pada awalnya saat tiba di tanah Papua. “Mulai belajar hidup dari nol,” kata Bi Lilis mengenang dengan air mata yang menggenang. Hal paling menyakitkan menurutnya ketika diusir oleh pemilik tanah yang menyewakan tanahnya. Saat lahan itu dibangun atas izin si empunya tanah dan sudah menjadi tembok permanen, petaka itu datang. “Si pemilik tanah mengusir kami seperti mengusir hewan saja,” lagi-lagi Bi Lilis mengenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun