Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kami Bukan Perusahaan Peternakan Sapi (#Journeylism 1)

23 Juni 2016   15:13 Diperbarui: 23 Juni 2016   18:34 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa berdarah itu terjadi pada Selasa, 15 April 1996, tatkala suasana masih meremang. Langit pun belum terbuka sepenuhnya dan udara dingin masih mendaulat suasana. Embun pagi belum beranjak pergi ketika di pagi buta itu Letnan Dua Sanurip tiba-tiba memuntahkan peluru dari senapan mesinnya ke arah orang-orang yang berada di hangar Bandara Mozes Kilangin. 

Tak ayal, 16 orang langsung meregang nyawa seketika terkena hantaman peluru panas berkaliber besar yang muntah dari moncong senapan otomatis anggota TNI itu. Di antara 16 tewas 10 di antaranya prajurit TNI, rekan-rekan Sanurip sendiri, yang sedang melakukan Operasi Mapenduma. Tewas juga lima warga sipil dan seorang pilot berkebangsaan Selandia Baru. Peristiwa berdarah di pagi yang masih berkabut itu menjadi catatan sejarah tersendiri negeri ini. 

Sekadar mengembalikan kenangan masa silam, Operasi Mapenduma adalah upaya pembebasan 11 anggota peneliti Tim Lorentz yang disandera oleh Organisasi Papua Merdeka. Dalam operasi itu, sembilan anggota tim dapat diselamatkan, dua lainnya tewas. Sedangkan Sanurip divonis hukuman mati setahun kemudian. Mengapa prajurit TNI itu seperti melakukan “friendly fire” padahal tidak dalam suasana perang? Ini dia; Sanurip disebut-sebut menderita penyakit malaria saat memuntahkan peluru yang mematikan itu! 

Bandara Mozes Kilangin yang berada di Kota Timika, Papua, yang sempat menorehkan peristiwa berdarah dan Sanurip yang menderita penyakit malaria saat menembaki belasan orang, adalah dua peristiwa yang menautkan ingatan atas perjalanan yang saya lakukan ini.....

Tiga belas tahun lamanya tidak menginjakkan kaki di kota yang sama, yang paling terasa adalah perubahan. Wajah Kota Timika, kota yang sedang saya ceritakan ini, berbeda jauh dari saat pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Papua ini. Tiga belas tahun bukan rentang waktu yang pendek. Wajah yang berbeda itu salah satunya adalah Bandara Mozes Kilangin, bandara yang pernah menyimpan peristiwa berdarah sebagaimana saya ceritakan di awal catatan. 

Lebih dari satu dekade lalu, tatkala pesawat Merpati yang terbang dari Makassar mendarat di bandara ini, saya nyaris tidak percaya ada bedeng-bedeng kayu di sekitar bandara itu. Saya membayangkan, saat peristiwa berdarah Sanurip tujuh tahun sebelumnya, boleh jadi yang disebut hangar itu masih beratap seng dan dinding tripleks. Di manakah bangunan bandara utamanya tempat di mana ruang tunggu berada? Saya cari-cari tidak ada. Oh, rupanya bedeng-bedeng kayu itulah 'bangunan utama' bandara ini!

Itu dulu. Sekarang Bandara Mozes Kilangin sudah berubah total. Predikatnya pun sudah menjadi Bandara Internasional sejak tahun 2008. Seakan-akan ingin memamerkan properti bandara miliknya, sebuah bus bandara besar berpintu lebar dengan cat kombinasi putih-kuning siap menjemput para penumpang, padahal jarak antara titik di mana pesawat terparkir dengan ruang kedatangan tidak lebih dari selemparan batu saja. 

Di bagian depan bangunan tembok dengan tiang-tiang kayu kokoh itu pengunjung dapat membaca huruf-huruf besar berwarna merah “Mozes Kilangin International Airport”, sama dengan yang tertulis di badan bus besar bandara yang saya tumpangi. Di bawah nama itu tertulis “PT Freeport Indonesia”.

Mengapa ada nama nama perusahaan tambang di bawah bangunan bandara dan bus bandara itu? Sebab bandara ini dibangun dan dimiliki PT Freeport Indonesia (selanjutnya PT FI), seiring dengan arus barang dan khususnya orang-orang yang terlibat dalam usaha penambangan sejak 50 tahun lalu. Mulai beroperasi tahun 1967, perusahaan ini menambang, memproses, dan mengeksplorasi bijih-bijih yang mengandung tembaga, perak, dan emas. Konsentrat yang dihasilkannya kemudian diekspor ke berbagai penjuru dunia, termasuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. 

Dengan demikian, perjalanan atas undangan PT FI ini adalah sebuah “napak tilas, sekaligus perjalanan perbandingan dengan meraba perbedaan-perbedaan. Karena pihak pengundang juga mengagendakan saya dan kawan-kawan untuk menghadiri Festival Danau Sentani ke-9 yang berlangsung di Sentani, Jayapura, saya pun mengagendakan perjalanan ini sebagai “Journeylism”, sebuah catatan perjalanan dengan pendekatan jurnalisme yang saya kembangkan sendiri sebagai sebuah eksperimen jurnalistik. 

Perbedaan lainnya? Jika 13 tahun lalu saya diundang selaku wartawan Harian Kompas oleh sebuah perusahaan operator telepon terbesar di negeri ini, kali ini saya diundang PT FI sebagai “Kompasianer”, sebutan lain untuk blogger yang menulis di blog sosial Kompasiana yang saya dirikan tahun 2008 lalu. Untuk media arus utama seperti Harian Kompas, saya harus menulis berita atau laporan dengan format baku koran, itupun harus bersaing dengan berita lainnya. Sedangkan sebagai penulis Kompasiana, saya bisa menulis sesuai gaya saya, menulis dengan gaya bebas alias freewriting

Satu tubuh dua jiwa, demikian jika harus saya gambarkan keadaan dan posisi saya sekarang ini. Ya jurnalis, ya juga penulis. Mohon jangan iri, ya! 

Dari Jakarta, kami berangkat bersama lima wartawan media arus utama, yakni Rosa Panggabean (Antara), Widiarto Cahyo Adi (MetroTV), Elizabeth Elza Astari (Detik.com), Erandhi Hutomo (Media Indonesia), Bagus Ramadhan (GNFI), dan Nurulloh (Admin Kompasiana). Pendamping dari PT FI adalah Andre Sebastian. Riza Pratama, VP Corporate Communications, yang merupakan pejabat tertinggi dalam perjalanan kali ini, juga Sari Esayanti (PR) dan Dinar Hanggarani (konsultan), berada dalam penerbangan berbeda. 

“One man two trees” 

In action menanam pohon | Dok. Pepih Nugraha
In action menanam pohon | Dok. Pepih Nugraha
Saya dan kawan-kawan jurnalis lainnya menginjakkan kaki di Kota Timika pagi hari, Jumat 17 Juni 2016 lalu setelah sahur di tubuh pesawat Sriwijaya di atas ketinggian 30.000 kaki. Karena hotel belum masanya untuk check-in, waktu kedatangan yang terlalu dini kami manfaatkan untuk berkunjung ke tailing, yakni tempat pengendapan limbah tambang. 

Tiga belas tahun lalu saat saya bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, saya mendapat kesempatan menjejakkan kaki di Kota Timika ini atas undangan perusahaan operator seluler besar yang membangun BTS di “pedalaman” Papua yang sebenarnya telah disulap menjadi sebuah kota baru itu. Dulu saya menginap di Hotel Sheraton yang merupakan hotel termewah satu-satunya di kota itu. Namun sekarang, nama hotel itu sudah berubah menjadi Rimba Papua yang berjarak sekitar dua kilometer dari Bandara Mozes Kilangin. 

Kembali ke tempat pengendapan limbah yang telah disulap menjadi area subur dan menghijau karena berbagai jenis pepohonan yang tumbuh di sana, nama resmi lokasi ini ialah Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati atau dalam bahasa Inggris disebut Lowland Reclamation and Biodiversity Enviromental. Kami dipandu oleh Roberth Sarwon, semacam wakil manajer PT FI yang bertanggung jawab terhadap proyek reklamasi yang berlokasi di MP 21 ini. MP singkatan dari Miles Post yang menunjukkan jarak 21 mil ke arena penambangan Tembagapura. 

Saya bersama dua warga asli Papua seusai menanam pohon | Dok. Pepih Nugraha
Saya bersama dua warga asli Papua seusai menanam pohon | Dok. Pepih Nugraha
Sarwon adalah warga Papua terpelajar. Buktinya ia lulusan S2 kelas jarak jauh dari sebuah institut ternama negeri ini. Maka bicaranya runut dan logika berpikirnya sistematis. “Nanti dulu, biar saya jelaskan,” demikian katanya ketika saya memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan. Tidak lebih karena keingintahuan saya berada di tempat hijau seperti hutan yang sebelumnya saya bayangkan sebagai padang atau hamparan limbah sisa penambangan yang tidak bisa ditanami tanaman apapun, apalagi untuk habitat mahluk hidup seperti hewan dan manusia. 

Sudah menjadi pengetahuan umum, dalam operasionalnya PT FI menghasilkan dua dampak penting, yaitu penempatan batuan tertutup yang dihasilkan saat pengambilan batuan bijih di Grasberg dan satunya lagi pasir sisa tambang (biasa disingkat SIRSAT) yang dihasilkan saat proses pengolahan batuan bijih menjadi konsentrat. Konsentrat inilah hasil utama Freeport yang dijual ke berbagai negara, termasuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Silakan bayangkan sebuah perbandingan yang sangat “jomplang”, yakni 97 banding 3. Saya ingin menggambarkan, bahwa dari 100 persen tanah di Grasberg yang diolah, hanya 3 persen saja dari proses produksi yang menghasilkan konsentrat bernilai tinggi itu karena menghasilkan emas, perak dan tembaga. Sementara, 97 persen “sisanya” dari batuan bijih yang diproses akan menjadi SIRSAT (jangan tertukar dengan buah sirsak yang segar itu!).

SIRSAT ini kemudian dialirkan ke dataran rendah melalui sungai Aghawagon pada ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut (dpl) untuk diendapkan dan dikelola di dataran rendah atau lowland itu tadi. Pada ketinggian 500 meter dpl, sungai Aghawagon kawin dengan sungai Otomona. Sungai Otomona inilah yang melanjutkan transportasi SIRSAT menuju dataran lebih rendah dan diendapkan pada kawasan seluas 23.000 hektar yang disebut Modified Ajkwa Deposition Area. 

Di kawasan ini SIRSAT kemudian dikelola PT FI dengan cara membangun Tanggul Timur sepanjang 58 kilometer dan Tanggul Barat sepanjang 60 kilometer. Dipandang dari ketinggian tertentu, tanggul Barat-Timur ini yang berhadap-hadapan ini tak ubahnya rel kereta api dengan konstur berkelok-kelok. SIRSAT tidak lain sisa gerusan batuan bijih setelah mineral tembaga, perak dan emas diambil dalam bentuk konsentrat pada proses pengapungan di pabrik pengolahan nun jauh di sana, masih berjarak 21 mil lagi atau sekitar 30 kilometer lagi dari lokasi Pusat Reklamasi yang didirikan sejak 1995 ini. 

Pusat Reklamasi ini sendiri hanya memiliki luas sekitar 100 hektar saja, sebuah luasan yang tidak “seujung kuku” jika dibandingkan luas keseluruhan tailing yang mencapai 23.000 hektar. “Kami memang baru mendapat izin reklamasi dari pemerintah di atas lahan tailing seluas seratus hektar dari total duapuluh tiga ribu hektar setelah kegiatan penambangan selesai,” jelas Sarwon. 

Di atas endapan setebal enam sampai tujuh meter SIRSAT ini kemudian dilapisi unsur hara berupa campuran tanah gembur yang sudah bercampur kompos eceng gondok (Hydrilla) dengan kotoran sapi untuk menanam berbagai jenis tumbuhan di atasnya. Di atas tanah reklamasi ini memungkinkan dilakukannya usaha pertanian, perkebunan, peternakan, sampai perikanan. 

Kami berkesempatan menanam masing-masing dua jenis pohon –one man two trees- yang menunjukkan bahwa jurnalis atau siapapun tamu yang berkunjung ke Pusat Reklamasi itu memiliki andil dalam penghijauan. Dipandu Neles dan Octavianus, warga asli Papua, saya kebagian menanam bibit pohon bintangur (Calophyllum lanigerum) dan kayu ulin (Eusidederoxylon zwageri) dengan tangan telanjang tanpa sarung tangan. Maknanya, setelah lebih dari tiga dekade saya harus berurusan lagi dengan kotoran sapi campur tanah subur dan cangkul untuk melapisi dua jenis tanaman yang saya tanam itu. 

Sambil berkeliling Sarwon menjelaskan bahwa pada masanya Pusat Reklamasi ini memiliki lebih dari 200 ekor sapi di mana kotorannya berfungsi sebagai pupuk alami yang dicampur unsur hara. Namun demikian, katanya, lama-kelamaan sapi berkurang drastis dan tinggal beberapa puluh ekor saja karena adanya permintaan pejabat dan masyarakat setempat untuk keperluan hewan qurban. 

Saat saya tanya mengapa PT Freeport tidak menernakkan sapi yang lebih banyak di Pusat Reklamasi lahan SIRSAT ini, dengan tangkas Sarwon menjawab, “Sebab kami (Freeport) bukan perusahaan peternakan sapi!”

Sebuah jawaban yang membuat saya tertawa lepas. 

Perjalanan hari pertama dan kedua di Papua, atau tepatnya di Kota Timika, masih akan berlanjut ke Balai Latihan Kerja khusus untuk tujuh suku di sekitar penambangan yang berada di Institut Pertambangan Nemangkawi, sholat Jumat di kawasan Kuala Kencana sekaligus belanja keperluan berbuka puasa di supermarket satu-satunya, dan melihat penyelesaian akhir (finishing touch) Mimika Sport Center yaitu stadion mewah di hutan Papua untuk persiapan PON 2020. 

Juga yang tak kalah menarik melihat pemrosesan kopi Amungme yang dikelola koperasi warga setempat, serta meliput mas-mas ganteng yang masih belia yang meneliti nyamuk malaria di Papua di kompleks Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika. Nah, penasaran, kan? (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun