Pusat Reklamasi ini sendiri hanya memiliki luas sekitar 100 hektar saja, sebuah luasan yang tidak “seujung kuku” jika dibandingkan luas keseluruhan tailing yang mencapai 23.000 hektar. “Kami memang baru mendapat izin reklamasi dari pemerintah di atas lahan tailing seluas seratus hektar dari total duapuluh tiga ribu hektar setelah kegiatan penambangan selesai,” jelas Sarwon.
Di atas endapan setebal enam sampai tujuh meter SIRSAT ini kemudian dilapisi unsur hara berupa campuran tanah gembur yang sudah bercampur kompos eceng gondok (Hydrilla) dengan kotoran sapi untuk menanam berbagai jenis tumbuhan di atasnya. Di atas tanah reklamasi ini memungkinkan dilakukannya usaha pertanian, perkebunan, peternakan, sampai perikanan.
Kami berkesempatan menanam masing-masing dua jenis pohon –one man two trees- yang menunjukkan bahwa jurnalis atau siapapun tamu yang berkunjung ke Pusat Reklamasi itu memiliki andil dalam penghijauan. Dipandu Neles dan Octavianus, warga asli Papua, saya kebagian menanam bibit pohon bintangur (Calophyllum lanigerum) dan kayu ulin (Eusidederoxylon zwageri) dengan tangan telanjang tanpa sarung tangan. Maknanya, setelah lebih dari tiga dekade saya harus berurusan lagi dengan kotoran sapi campur tanah subur dan cangkul untuk melapisi dua jenis tanaman yang saya tanam itu.
Sambil berkeliling Sarwon menjelaskan bahwa pada masanya Pusat Reklamasi ini memiliki lebih dari 200 ekor sapi di mana kotorannya berfungsi sebagai pupuk alami yang dicampur unsur hara. Namun demikian, katanya, lama-kelamaan sapi berkurang drastis dan tinggal beberapa puluh ekor saja karena adanya permintaan pejabat dan masyarakat setempat untuk keperluan hewan qurban.
Saat saya tanya mengapa PT Freeport tidak menernakkan sapi yang lebih banyak di Pusat Reklamasi lahan SIRSAT ini, dengan tangkas Sarwon menjawab, “Sebab kami (Freeport) bukan perusahaan peternakan sapi!”
Sebuah jawaban yang membuat saya tertawa lepas.
Perjalanan hari pertama dan kedua di Papua, atau tepatnya di Kota Timika, masih akan berlanjut ke Balai Latihan Kerja khusus untuk tujuh suku di sekitar penambangan yang berada di Institut Pertambangan Nemangkawi, sholat Jumat di kawasan Kuala Kencana sekaligus belanja keperluan berbuka puasa di supermarket satu-satunya, dan melihat penyelesaian akhir (finishing touch) Mimika Sport Center yaitu stadion mewah di hutan Papua untuk persiapan PON 2020.
Juga yang tak kalah menarik melihat pemrosesan kopi Amungme yang dikelola koperasi warga setempat, serta meliput mas-mas ganteng yang masih belia yang meneliti nyamuk malaria di Papua di kompleks Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika. Nah, penasaran, kan? (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H