Satu tubuh dua jiwa, demikian jika harus saya gambarkan keadaan dan posisi saya sekarang ini. Ya jurnalis, ya juga penulis. Mohon jangan iri, ya!
Dari Jakarta, kami berangkat bersama lima wartawan media arus utama, yakni Rosa Panggabean (Antara), Widiarto Cahyo Adi (MetroTV), Elizabeth Elza Astari (Detik.com), Erandhi Hutomo (Media Indonesia), Bagus Ramadhan (GNFI), dan Nurulloh (Admin Kompasiana). Pendamping dari PT FI adalah Andre Sebastian. Riza Pratama, VP Corporate Communications, yang merupakan pejabat tertinggi dalam perjalanan kali ini, juga Sari Esayanti (PR) dan Dinar Hanggarani (konsultan), berada dalam penerbangan berbeda.
“One man two trees”
Tiga belas tahun lalu saat saya bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan, saya mendapat kesempatan menjejakkan kaki di Kota Timika ini atas undangan perusahaan operator seluler besar yang membangun BTS di “pedalaman” Papua yang sebenarnya telah disulap menjadi sebuah kota baru itu. Dulu saya menginap di Hotel Sheraton yang merupakan hotel termewah satu-satunya di kota itu. Namun sekarang, nama hotel itu sudah berubah menjadi Rimba Papua yang berjarak sekitar dua kilometer dari Bandara Mozes Kilangin.
Kembali ke tempat pengendapan limbah yang telah disulap menjadi area subur dan menghijau karena berbagai jenis pepohonan yang tumbuh di sana, nama resmi lokasi ini ialah Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati atau dalam bahasa Inggris disebut Lowland Reclamation and Biodiversity Enviromental. Kami dipandu oleh Roberth Sarwon, semacam wakil manajer PT FI yang bertanggung jawab terhadap proyek reklamasi yang berlokasi di MP 21 ini. MP singkatan dari Miles Post yang menunjukkan jarak 21 mil ke arena penambangan Tembagapura.
Sudah menjadi pengetahuan umum, dalam operasionalnya PT FI menghasilkan dua dampak penting, yaitu penempatan batuan tertutup yang dihasilkan saat pengambilan batuan bijih di Grasberg dan satunya lagi pasir sisa tambang (biasa disingkat SIRSAT) yang dihasilkan saat proses pengolahan batuan bijih menjadi konsentrat. Konsentrat inilah hasil utama Freeport yang dijual ke berbagai negara, termasuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Silakan bayangkan sebuah perbandingan yang sangat “jomplang”, yakni 97 banding 3. Saya ingin menggambarkan, bahwa dari 100 persen tanah di Grasberg yang diolah, hanya 3 persen saja dari proses produksi yang menghasilkan konsentrat bernilai tinggi itu karena menghasilkan emas, perak dan tembaga. Sementara, 97 persen “sisanya” dari batuan bijih yang diproses akan menjadi SIRSAT (jangan tertukar dengan buah sirsak yang segar itu!).
SIRSAT ini kemudian dialirkan ke dataran rendah melalui sungai Aghawagon pada ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut (dpl) untuk diendapkan dan dikelola di dataran rendah atau lowland itu tadi. Pada ketinggian 500 meter dpl, sungai Aghawagon kawin dengan sungai Otomona. Sungai Otomona inilah yang melanjutkan transportasi SIRSAT menuju dataran lebih rendah dan diendapkan pada kawasan seluas 23.000 hektar yang disebut Modified Ajkwa Deposition Area.
Di kawasan ini SIRSAT kemudian dikelola PT FI dengan cara membangun Tanggul Timur sepanjang 58 kilometer dan Tanggul Barat sepanjang 60 kilometer. Dipandang dari ketinggian tertentu, tanggul Barat-Timur ini yang berhadap-hadapan ini tak ubahnya rel kereta api dengan konstur berkelok-kelok. SIRSAT tidak lain sisa gerusan batuan bijih setelah mineral tembaga, perak dan emas diambil dalam bentuk konsentrat pada proses pengapungan di pabrik pengolahan nun jauh di sana, masih berjarak 21 mil lagi atau sekitar 30 kilometer lagi dari lokasi Pusat Reklamasi yang didirikan sejak 1995 ini.