Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Biar Betah Kerja, Perankan "Homo Ludens" daripada "Homo Faber"

5 Februari 2016   13:41 Diperbarui: 8 Februari 2016   22:20 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boleh dibilang tabungan saya 0 rupiah. Harga rumah Rp 32 juta. Uang muka yang harus saya sertakan kurang lebih Rp 20 juta. Gaji saya kalau dikalikan 20 "hanya" sebesar Rp 13 juta. Terlebih lagi, bagaimana saya bisa mendapatkan pinjaman kantor yang sebesar 20 gaji pokok saya itu  saya belum genap 4 tahun bekerja!?

"Kamu maju saja ke Mas Dod, siapa tahu dia ngasih pinjaman!" usul Mas Meming ketika saya menyatakan sudah melihat lokasi perumahannya, menggunakan sepeda motor dari Palmerah-Sudimara. Memang strategis lokasinya. Yang disebut "Mas Dod" oleh atasan saya itu tidak lain Boss PIK, Joseph Widodo, pria berkacamata tebal yang merupakan jurnalis senior Kompas. Tetapi itu imposible! pikir saya.

Tekad besar mengalahkan rasa malu. Ini saya rasakan betul. Tanpa skenario, saya menghadap Mas Dod melalui sekretarisnya, Mbak Bono. Mbak Bono atau Mbak Widya, adalah sekretaris yang bekerja profesional. Dia menanyakan maksud saya dan saya jelaskan apa adanya tatkala menghadap untuk menyerahkan surat permohonan. "Kebetulan Mas Dod ada di dalam, kamu tunggu saja di sini, saya ke Mas Dod sekarang!" Baiklah, batin saya. Saya menunggu di sebuah kursi di depan ruangan Mas Dod. No More Lonely Night-nya Paul McCartney mengusik telinga saya dari sebuah radio kecil. Mbak Bono datang kembali dan mempersilakan saya masuk.

Ini pertemuan kali kesekian saya dengan Mas Dod selain wawancara saat mulai bekerja. Saya dipersilakan masuk dan dia mulai membuka surat permohonan. "Wah, masih lama ya, you masih harus menunggu delapan bulan lagi!" katanya. Perkataan ini sangat menghujam ulu hati. Yah.... gagal deh, pikir saya. Tetapi saya berusaha menenangkan diri. "Namanya juga permohonan, Mas Dod, siapa tahu boleh," balas saya sekenanya. O ya, saya bukan kurang ajar memanggil boss besar dengan sebutan "Mas" plus inisial pula. Ini kebiasaan saja.

"Gini aja deh!" katanya, "You tunggu besok, saya akan bicara dengan bagian Keuangan terlebih dahulu, nanti Bono yang akan kabari!" Saya menjawab, "Baik, Mas Dod, terima kasih!"

Dapatkah teman-teman bayangkan bagaimana perasaan saya menunggu esok tiba? Wah, saya ingin segera esok terjadi dan putaran waktu pun ingin saya stel lebih cepat. Alhasil, saya tidak bisa tidur di rumah kontrakan di Kemandoran. Insomnia mendadak. Saya bayangkan, kalau pinjaman turun, sebuah rumah mungil akan segera saya miliki, saya tidak perlu mengontrak rumah lagi. Dan... esok pagi pun tiba!

Saya bekerja seperti biasa, melayani informasi yang diperlukan pengguna, sementara panggilan dari Mas Dod lewat Mbak Bono belum juga saya terima. Saya masih ingat, tatkala saya hendak istrirahat makan siang sekitar pukul 12.00 WIB, telepon meja berdering. Ah, paling dari wartawan yang mamu meminta informasi. Bukan! Itu suara Mbak Bono. "Pep, kamu bisa datang ke ruangan Mas Dod!?" Inikah cara manusiawi boss Kompas dalam menolak permintaan karyawan, pikir saya. Saya mengiyakan.

Saya disambut Mbak Bono di depan ruangan Mas Dod. Ia membukakan pintu masuk ke ruangan boss PIK itu. Saya pun langsung masuk dan duduk di depan Mas Dod. Tanpa basa-basi, Mas Dod bilang, "Wah, you kok beruntung banget ya, ini belum pernah terjadi... permintaan you dikabulkan!" O, ya...!? pekik batin saya. Pada saat saya kebingungangan begitu, Mas Dod bilang, "Segera urus ke Mas Mardji dibagian renumerasi, ya!" Saya salami Mas Dod. Kalau saja dia tahu, saat itu mata saya berkaca-kaca saking senang dan terharunya. Mbak Bono memandang saya sambil senyam-senyum, "Gimana, Pep?" tanyanya. Saya menyalaminya dan berterima kasih.

Singkat cerita, saya bisa memiliki rumah yang sekarang saya tempati dengan cara menyicil. Pinjaman cair sebesar Rp 13 juta dan gaji saya harus dipotong seperempatnya setiap bulan sampai lunas. Sisa kekurangannya saya pinjam ke Bank Niaga, sehingga genap Rp 22 juta sebagai uang muka. Ke BTN sudah pasti harus menyicil juga. Utang kedua bank, sementara gaji dipotong. Tidak apalah, gaji istri saya untuk cicilan BTN, untuk sehari-hari ya sisa dipotong utang ke perusahaan. Yang penting, rumah mungil tipe 45 sudah kami miliki. Sungguh bangganya saya waktu itu, sebab orang lain harus menunggu 4 tahun bekerja, saya baru bekerja tiga tahun empat bulan sudah bisa memiliki rumah sendiri!

Apakah ini cara Allah membimbing saya? Saya yakini iya.... Sehabis semua cicilan lunas, terpikir kemudian untuk memperpanjang pinjaman ke bank. Saya beralih ke Bank DKI yang kala itu bekerja sama dengan perusahaan untuk memberi pinjaman. Modalnya sertifikat rumah yang sudah lunas. Gaji dipotong langsung pihak bank dari rekening. Ah, saya memang sudah terbiasa dipotong, jadi tidak ada salahnya memperpanjang pinjaman. Singkat cerita, saya punya sejumlah properti lagi dari cara "ngutang ke bank" dan itu saya lakukan sampai sekarang!

Tentang 25 tahun bekerja, sudah saya ceritakan sebelumnya bahwa saya hanya bertahan selama 4 tahun saja bekerja sebagai pustakawan di PIK. Selebihnya, saya sudah tidak kerasan dan ingin menjadi wartawan. Toh ketika kesempatan itu datang, saya tidak menyia-nyiakannya. Maka sejak 1995, saya tercatat sebagai salah satu wartawan Kompas, sampai sekarang. Sebenarnya, saya baru 20 tahun menjadi wartawan, tetapi kalau diukur dari menulis, saya sudah mulai menulis sejak tahun 1977, sejak saya duduk di kelas enam sekolah dasar! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun