Sebagai "orang koran", saya berkepentingan menjaga eksistensi Harian Kompas yang bermediakan kertas. Benar bahwa saya mengembangkan online dan bahkan media sosial Kompasiana, tetapi bukan berarti saya turut melemahkan, atau kasarnya kalau itu terjadi, mempercepat kematian "media kami". Saya dan kawan-kawan pendiri Kompasiana lainnya, almarhum Taufik Mihardja dan Edi Taslim, membangun blog sosial itu dari nol yang boleh saja eksistensinya masih sulit diterima oleh beberapa kalangan bahkan di lingkungan "media kami" sendiri, tetapi media seperti Kompasiana adalah keniscayaan di tengah pertanyaan mengenai nasib media cetak.
Kompasiana yang menghimpun lebih dari 300.000 blogger di dalamnya belum seutuhnya diterima sebagai sebuah "produk baru" atau "produk turunan" yang seharusnya diperlukan di saat media cetak kehilangan popularitasnya, sebagaimana direkonstruksi oleh Leonard Downie dan Michael Schudson dan bahkan disinggung Hilman Fajrian. "Jangan melihat para blogger sebagai ancaman terhadap media mainstream, tetapi harusnya dilihat sebagai satu simbiosis," demikian Rekonstuksi (6) mengingatkan.
Semua peringatan untuk mempertahankan eksistensi koran sudah didengungkan, semua nasihat sudah dihamburkan para pakar dan praktisi demi mempertahankan kelangsungan media cetak. Yang diperlukan sekarang adalah pemahaman para petinggi media atau para pemiliknya dalam "membaca" sasmita alam media yang terus berkembang. Tidak kalah penting adalah kehendak melepas ego kejayaan cara kerja jurnalisme masa lalu sebagai "milik kami" dan menganggap kehadiran media baru dengan cara kerjanya yang "aneh" sebagai "bukan kami".
Tidak selayaknya "kami" dan "mereka" diperuncing dan dipertentangkan. Zaman yang berubah dan the willing to read konsumen adalah "ayat" yang perlu ditafsir ulang dengan baik. Saya tidak ingin membahas kengerian-kengerian yang menyesakkan dada sebagaimana diungkapkan Hilman Fajrian bahwa Facebook dan Twitter yang tidak punya konten turut mempercepat kematian media cetak yang ironisnya justru memproduksi konten. Semoga itu hanya sekadar "ilusi".
Selama tujuh tahun terakhir ini boleh dibilang saya telah membuat sekoci kecil bernama Kompasiana. Meski cuma sekoci kecil untuk sebuah kapal besar bernama Harian Kompas, toh saya tidak berharap sekoci kecil yang kurang berarti itu lekas digunakan, sebab bagaimanapun saya bagian dari penumpang kapal besar itu. Setidak-tidaknya, sekoci itu masih bolehlah menempel di kapal besar yang akan terus melaju membelah lautan. Ombak yang menerpa kapal besar belum terlalu membahayakan meski guncangannya sudah semakin terasa. Tetapi, haluan kapal besar ini tetap melaju ke depan memecah gelombang, menghindari senjakala yang mengancam di belakang. Kami masih ingin menyongsong matahari terbit yang bersinar terang nun jauh di depan.
***
Palmerah Barat, 5 Januari 2016