Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pewarta Warga vs Jurnalis Profesional? Kredibilitas adalah Kuncinya!

12 November 2012   04:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:35 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mendapat pertanyaan menarik dari presenter KompasTV Feby Indirani saat siaran langsung membahas buku yang saya tulis, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Pertanyaan itu lebih dari sekadar menarik kalau tidak mau dikatakan tajam, "Apa yang tersisa bagi jurnalis profesional ketika tulisan/laporan pewarta warga kini sudah semakin menarik dan bermanfaat?" Saya langsung menjawabnya, "Kredibilitas!"

Kredibilitas adalah "sacre" atau suci bagi jurnalis profesional saat ini di saat khalayak pembaca dihadapkan pada berbagai pilihan, termasuk pilihan mereka membaca di blog dan sosial blog seperti Kompasiana. Saya berpendapat, jurnalis profesional perlu memanfaatkan "kelemahan" para pewarta warga yang kadang kadang tergelitik membuat berita "hoax" (palsu), membuat judul bombastis, dan tentu saja menulis berita "seksi" seperti pornografi dan mempertentangkan SARA. Saya katakan, kredibilitas bagi jurnalis profesional adalah "harga mati" selain "sacre" tadi.

Pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya kemudian dan harus saya jawab sendiri adalah, "Apalagi yang tersisa buat jurnalis profesional ketika para pewarta warga juga sudah semakin kredibel di mana tulisannya dapat dipercaya?" Saya menarik napas dan berusaha berpikir keras. Iya juga, ya? Saya jawab sendiri -- dan ini saya katakan di layar kaca -- bahwa warga yang menulis di blog atau di internet tidak serta-merta disebut jurnalis yang ketat dengan etika dan cara-cara peliputan. Untuk itulah, mengapa dalam buku Citizen Journalism itu saya kurang sreg dengan istilah "citizen journalism" khususnya pada kata-kata "journalism" itu. Bagi saya, istilah "citizen reportage" dan pelakunya disebut "citizen reporter" (warga yang melaporkan) adalah lebih tepat dan dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pertanyaannya, mengapa saya tetap menggunakan judul Citizen Journalism di saat saya kurang sreg dengan istilah itu? Jawabannya sederhana, saya tidak ingin mencari-cari istilah baru dari kegiatan warga menulis di online. Pada hampir semua teks print maupun online, istilah "citizen journalism" tetap dipakai. Lagi pula setelah saya cek, belum ada judul; buku dalam bahasa Indonesia yang menyebut eksplisit Citizen Journalism. Terkait kredibilitas (credibility) tadi, bagi saya baik jurnalis profesional maupun pewarta warga harus sama-sama punya kredibilitas, harus sama-sama bisa dipercaya. Yang saya tekankan, pewarta warga harus menyampaikan kebenaran sementara jurnalis profesional harus selalu menggali fakta dan sekaligus menyampaikan kebenaran. Apakah kemudian akan terjadi persaingan antara pewarta warga dan jurnalis profesional? Bisa saja dan rasa-rasanya itu sudah terjadi. Bagi saya, persaingan akan menjadi baik dan bermanfaat jika diolah dengan kesadaran memberikan informasi yang benar. Dalam wawancara langsung itu saya berterus-terang, semula Kompasiana diperuntukkan bagi jurnalis Kompas sebagai jurnalis profesional agar menulis blog, sebagaimana yang dilakukan jurnalis The New York Time, yang masing-masing memiliki blog dan blog itu menjadi bagian dari kanal TNYT. Akan tetapi, kultur bagi wartawan profesional di Indonesia tidaklah sama dengan kultur wartawan di Amerika yang tingkat kesadaran akan "personal branding"-nya sudah sedemikian tinggi. Jurnalis TNYT sangat menikmati kedekatan dengan pembacanya yang khusus berupa interaktivitas yang tanpa batas. Dialog konstruktif terjadi antara si jurnalis dengan pembacanya. Pengetahuan dan informasi tambahan, bahkan informasi baru, secara otomatis didapatkannya lewat interaktivitas itu. Mungkin bisa saja berkilah, 'kan kalau sekadar mendapatan umpan balik (feed back), tidak mutlak harus menjadi blogger qua jurnalis. Lantas bagaimana dengan interaktivitas antara pewartawa warga dengan para pembacanya? Rasanya mereka sudah jauh lebih dahulu bergerak, jauh lebih matang, dan jauh lebih dewasa karena kultur beronline sudah terbentuk dan mereka jalankan tanpa pernah disadarinya. Mestinya, ini adalah modal dasar sekaligus kelebihan yang dimiliki pewarta warga dibanding jurnalis profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun