Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tokyo 3: Tulislah Sedikitnya Satu Buku Selama Hidupmu!

9 Oktober 2012   05:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:03 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_217113" align="aligncenter" width="576" caption="Junanto Herdiawan dan keluarga/Facebook"][/caption] Junanto Herdiawan, pejabat BI yang biasa tampil layaknya anak muda ini (apa karena saya sudah terlalu tua, ya?) kadang kocak dan apa adanya saat bercerita. Saya hampir tidak bisa membedakan saat dia bercerita serius di depan khalayak seperti di acara peluncuran buku "Shocking Japan" karyanya ini, atau saat dia duduk di belakang kemudi Alphard barunya. Sama saja. Tentang salah satu tulisan di buku itu yang bercerita bagaimana dinginnya pria di Jepang dan bagaimana perempuan Jepang jarang menerima rayuan, sebutlah kata-kata lebay atau gombal, tidak selamanya berbuah pujian dan persetujuan. Kritikan dari pembaca mampir. Bukan hanya kritikan, bahkan juga keluhan. "Saya dianggap salah ambil sample," katanya. Tentang hal ini, Junanto berkilah bahwa apa yang ditulisnya berdasarkan sudut pandangnya sebagai warga biasa. "Ini bukan buku sosiologi, apalagi anthropologi," katanya. Meski demikian, Junanto mengemukakan argumen dingin dan cuweknya orang Jepang saat berada di kereta api. Kalau ada gadis Jepang tepat duduk di depan pria Jepang, kata Junanto, si pria Jepang cenderung cuwek saja, seakan-akan tidak ada makhluk terindah di muka bumi ini. "Coba kalau itu di Indonesia, pastilah pria Indonesia iseng atau sedikitnya bertanya nggak penting, 'Mbak kok sendirian aja?' Nah, di Jepang tidak," katanya. Junanto bercerita terus-terang bahwa ada satu bab atau satu postingan yang dihapus oleh editor buku, yakni bab mengenai Festival Kanamara Matsuri yang secara harafiah berarti festival Dewa Penis Besi Besar. Jangan ngeres dulu, ya, jangan anggap saya mengumbar jorok. Ini serius, bahwa dalam agama Shinto di Jepang, dewa kesuburan dilambangkan sebagai penis alias alat kelamin Anda, wahai para Kompasianer pria. Saya tidak harus menjelaskannya lebih jauh, cukup bayangkan dan perbandingkan saja, silakan! Nah, dalam festival menghormati Dewa Keseburan yang diadakan setiap tahun di suatu tempat di Jepang itu, segala ornamen untuk keperluan pesta seperti gantungan kunci, pipa cangklong untuk merokok, lilin, permen dan cokelat, patung pemujaan, semuanya berbentuk penis. Junanto mengaku melihat sendiri bagaimana asyiknya gadis-gadis Jepang menjilati permen atau cokelat di festival itu, ada yang sungkan, ada yang malu-malu, tetapi banyak juga yang tampak biasa-biasa saja meski sesekali tersemat senyum penuh makna.  "Totally amazing!" seru Junanto. Di Indonesia juga menurutnya ada lingga yoni, patung berbentuk alat kelamin manusia, yang juga bisa diartikan sebagai bentuk pemujaan kalau tidak bisa dikatakan seni. Meskipun demikian, dia berterima kasih karena bagian itu tidak diloloskan oleh penerbit alias di-drop. "Kalau tidak, barangkali saya bisa diprotes banyak orang," duganya. Ikhdah Henny, editor yang mendampingi Junanto saat ditanya buku apa yang layak diterbitkan, menjelaskan bahwa tema apapun bisa dijadikan buku, asalkan tidak mempertentangkan SARA, tidak memfitnah orang atau menghina lembaga tertentu. "Pokoknya sebisa mungkin menarik dan yang aman-aman saja, soal bahasa dan gaya bahasa, itu bisa disesuaikan," jelasnya. Salman Faridi selaku CEO Bentang menambahkan, selain menarik, buku haruslah unik dan tidak biasa. Dia mencontohkan buku "The Naked Traveller" karya Trinity yang menurutnya tersaji dengan gaya yang tidak dibuat-buat, unik, dan apa adanya. "Di Bentang buku harus punya cita rasa personal," katanya. Dia mengatakan bahwa kebiasaan anak-anak nge-tweet di Twitter atau menulis status di Facebook merupakan jembatan kreativitas di media baru yang akan mengantarkan anak-anak itu kelak membuat buku. "Coba bayangkan, Fiksimini di Twitter itu hanya 140 karakter, tetapi kita sudah tahu isi keseluruhan cerita, ini dahsyat," Salman memberi perbandingan. Omong-omong mengenai menulis buku, ada satu kalimat yang saya catat dari Junanto saat akan mengakhiri paparannya. Dia mengutip kakeknya, Ran Ramelan, yang pada masa hidupnya merupakan jurnalis di Harian Berita Buana. "Kakek saya bilang, 'tulislah sedikitnya satu buku selama hidupmu!'" kata Junanto menirukan pesan kakeknya. Halah, kalimat ini benar-benar menampar saya yang meskipun sudah menjadi jurnalis selama 22 tahun dan menjadi penulis sejak 40 tahun, tetapi tetap belum berhasil menerbitkan satu judul buku pun. Sementara Junanto sudah berhasil menerbitkan dua buku, yakni buku pertama "Japan After Shock" dan buku keduanya "Shocking Japan". Harus bilang, 'Wow' gitu!? (Bersambung)

Percakapan bisa dibaca di http://pepih.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun