Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Komposisi "Bungong Jeumpa" Lahir karena Tsunami [Konser Balawan-Jubing 3]

5 Juli 2012   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jubing tampil dari arah lain panggung dengan menggamit gitar akustiknya. “Madu dan Racun” gubahan almarhum Ariwibowo yang dirilis ulang baru-baru ini oleh J-Rock, mengentak kesadaran penonton lengkap dengan nada-nada dangdutnya. Di tangan Jubing, dawai-dawai gitar sedemikian ramai dan sibuk bukan main, seperti sebuah orkestra. Ada kecepatan yang sulit diikuti, tetapi tetap ada harmonisasi yang terjaga. Mulai ketukan di badan gitar sampai teknik memainkan harmonic yang cukup sulit. Sebuah repertoar yang memaksa penonton bertepuk-tangan setelah lagu yang popular di tahun 80-an itu selesai dimainkannya. Jubing kemudian bercerita sedikit mengenai komposisi bernada dangdut itu, juga bercerita tentang lagu Minang, “Ayam Den Lapeh”, yang akan dimainkannya kemudian. Kali ini Andy Owen mendampingi. “Lagu ini sebenarnya menceritakan seorang kekasih yang lepas dari genggamannya, tetapi saya tidak tahu mengapa kekasih diasosiasikan dengan ayam,” kata Jubing. “Tadi saya lewat di Jalan Bintaro, saya lihat ada restoran ‘Ayam Lepas’, tapi itu pasti bukan ‘Ayam Den Lapeh’ yang dimaksud lagu ini,” katanya lagi. Andy Owen menyela, “Jangan mau makan di restoran ‘ayam lepas’, isinya sebenarnya bebek!” Belum lagi Jubing seperti tidak percaya atas pernyataan tadi, Andy melanjutkan, “Soalnya ayamnya lepas semua, jadi yang ada cuma bebek.” Penonton spontan tertawa. Sebelum memainkan komposisi lagu minang ini, Jubing sempat menduga-duga. Sebenarnya lagu ini bercerita tentang kesedihan, katanya, sebab bagaimana tidak kekasihnya lepas tidak bersedih. ”Tetapi, penciptanya seorang yang optimistis,” Jubing melanjutkan, “Sebab, nada yang diciptakannya sangat dinamis dan riang.” Gitaris klasik kelahiran Semarang 9 April 1966 yang mantan redaktur pelaksana tabloid Nova ini pun memainkan komposisi “Ayam Den Lapeh” dengan nada riang, sebagaimana yang dikehendaki penciptanya, meski sedang tersaput kepedihan. Pada komposisi ini, Jubing bereksperimen dengan menjadikan badan gitar sebagai gendang yang ditabuhnya secara ritmik berbarengan dengan sentuhan dawai gitar. Ada nada-nada harmonic minor di beberapa frets, tetapi tetap tidak menghilangkan keminangan sebuah komposisi “Ayam Den Lapeh”. Jubing kemudian menjelaskan, dirinya bermain musik karena dua hal; teknik, kemudian musiknya itu sendiri. “Saya belajar gitar klasik, itu dasar musik saya. Tetapi saya juga dengar lagu-lagu lain. Lalau saya coba-coba bikin melodinya sendiri. Bahkan musik dangdut pun saya masukkan. Saya mendengar lagu anak-anak, juga musik-musik daerah seperti yang ini….” kata Jubing sambil memainkan sepotong melodi “Es Lilin” dari Jawa Barat sebagai contoh. Memang dari empat album yang dihasilkannya, yang hampir semuanya diembel-embeli “Fantasy”, Jubing selalu memainkan komposisi lagu anak-anak, khususnya ciptaan Ibu Sud. Ada “Hujan Fantasy” yang popular di kalangan anak-anak dengan “tik tik tik bunyi hujan di atas genting”, juga ada “Delman Fantasy” dengan “Pada hari minggu kuturut ayah ke kota”. Di tangan Jubing, komposisi lagu anak-anak itu sedemikian meriah, riuh-rendah dengan rupa-rupa teknik permainan gitar. Sebut saja tremolo yang menggetarkan hati itu, teknik kocok, teknik tab, petikan apoyando, slur yang seperti terpeleset itu, dan seterusnya. Semua seperti ada dalam satu komposisi. Di atas panggung yang sedang dikuasainya itu, Jubing memainkan komposisi yang semua diciptakannya, seperti “Sukiyaki” yang disela Andy Owen secara kelakar, “Itu lagunya Dono-Kasino-Indro”, lanjut ke “Bengawan Solo” ciptaan komponis Gesang, “Mission Imposible”, “Hujan Fantasy”, dan terakhir lagu Aceh, “Bungong Jeumpa”. Khusus mengenai lagu terakhir, Jubing mengungkapkan bahwa komposisi itu hadir saat tsunami Aceh tahun 2004. Orang bebas menerjemahkan dan mengartikan sebuah lagu termasuk “Bungong Jeumpa” ini, katanya. “Saya pun memaknai lagu ini dengan segenap penghayatan yang saya miliki.” Maka di tangan Jubing, niscaya orang yang terkait langsung dengan peristiwa hilangnya 250.000 nyawa orang Aceh ini menjadi sebuah “perjalanan nada” yang memilukan, merintih, dan memeras air mata. Jubing memainkan komposisi dengan penuh kesedihan (con dolore) pada “Bengong Jeumpa” itu dengan sepenuh penghayatannya, membuat suasana tercekam dan penononton seperti menahan nafas. Nada minor sangat mendominasi yang memang seperti ditakdirkan untuk nada-nada duka. Harmonic yang dihasilkannya juga terbilang dahsyat membuat dentingan gitar menjadi samar-samar terdengar. (Bersambung) Tulisan sebelumnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun