Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Angela dan Malika

4 Mei 2012   11:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:43 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13361321371787647847

Angela memandang lewat kaca jendela sebelum pesawat yang ditumpanginya mengangkasa menuju Paris. Malika menerawang lewat kaca jendela sebelum bus antarkota yang ditumpanginya melaju menuju kampung halaman. Di samping Angela, duduk pria perlente berusia  50 lepas yang mengajaknya berlibur di jantung Eropa. Rusman namanya. Di sisi Malika duduk seorang pria muda berusia sekitar 20 yang sejak naik tadi tidak lepas dari buku yang dibacanya. Angela tersenyum lebar, tak percaya pengalaman pertamanya terbang langsung merasakan nyamannya kelas eksekutif  pesawat berbadan lebar, di luar gerimis mulai mengintai. Malika menitikkan air mata saat bus ekonomi itu mulai bergerak di kerapatan lalu lintas mencari celah menuju jalan raya, di luar hujan mulai menerkam. Angela menggenggam tangan pria yang dijemarinya melilit emas putih bertaburkan berlian,  menciumnya dan berkata lirih, "Terima kasih, sayang!" Malika mengenang potongan-potongan peristiwa yang dialaminya begitu cepat, barangkali tidak sampai hitungan tahun. Tiba di Jakarta tiga tahun lalu, Malika meninggalkan Angela, anak tunggalnya yang masih duduk di bangku SMP, yang ia titipkan pada orangtuanya. "Saya ingin mencari kehidupan yang lebih baik di Jakarta," demikian Malika beralasan. Orangtua tidak dapat mencegah dan hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan do'a. Angela menangis meraung-raung saat bus ekonomi yang membawa ibunya ke Jakarta mulai bergerak dari terminal. Malika menitikkan airmata memandang ke luar kaca saat Angela meronta-ronta ingin ikut serta, ditahan oleh kakek-neneknya. "Mama, jangan tinggalkan aku, Ma!" Suara itu sayup terdengar di telinganya saat bayangan Angela mulai memudar dan menghilang. "Mama akan kembali secepatnya untukmu, sayang. Mama tidak akan membiarkanmu sengsara terlalu lama!" Saat meninggalkan kampung halaman, Malika berusia 32. Orang mengatakan sebuah ukuran kematangan usia bagi perempuan mungil bermata jeli ini. Malika adalah kembang desa. Banyak kumbang yang mengelilinginya, coba untuk hinggap. Tetapi pilihan jatuh pada seorang pria yang kemudian menikahinya. Tetapi, rumah tangganya kandas. Saat Angela lahir, bayi itu tidak pernah akan melihat lagi ayahnya. Suami Malika hilang tidak berbekas. Kata orang, ayah Angela terpikat lagi perempuan lain di Jakarta dan tidak pernah kembali. Malika memberanikan diri ke Jakarta karena tekanan ekonomi di kampungnya. Membiayai sekolah Angela terasa makin berat karena penghasilannya sebagai pegawai salon di kota kecamatan tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Di Jakarta, keterampilan sebagai penata rambut tidak bisa diharapkan juga. Konon hal yang paling mudah dilakukan di Jakarta adalah menjadi pemandu karaoke, sampai kemudian dia bertemu Rusman di sebuah kelab malam. "Kamu tidak usah lagi kerja di sini, aku akan memberimu sebuah apartemen. Kerjamu cukup menamaniku saja," kata Rusman setelah beberapa lama mereka saling jatuh cinta. Malika paham betul, Rusman bukanlah duda apalagi bujangan. Dia seorang pria beristri dan beranak tiga. Usahanya tidak jelas, tetapi Malika tidak mau tahu urusan itu. Beberapa kali Malika pernah melihat Rusman di layar kaca, menjadi pengacara bagi para pejabat koruptor. Barulah Malika paham, Rusman rupanya seorang pengacara. Bagi Malika, hidup bersama Rusman menyenangkan. Selain royal dengan uang, "pekerjaan" Malika pun sangat ringan, cuma menunggu di apartemen yang disewakannya jika hasrat kelelakian Rusman mencapai ubun-ubun. Saat itulah Malika harus sudah berada di kamar apartemen, siap menjadi oase dimana Rusman melepas dahaga kelelakiannya, melepas hasratnya. Itulah "pekerjaan" Malika, yang lama-lama menghilangkan makna cinta yang pernah mereka rajut bersama. Cinta sebatas transaksi belaka. Ah, apa pedulinya, bisik hati Malika. Bencana tiba ketika pada suatu hari Malika mengajak Angela ke apartemennya. Saat itu anaknya baru saja lulus SMA dan tumbuh menjadi gadis segar yang sedang mekar-mekarnya. Malika sadar, Angela bahkan lebih cantik dari dirinya di saat muda, sebab Angela memiliki darah Arab di tubuhnya. Angela lebih tinggi dengan kedua kakinya yang panjang serasi. Hidungnya mancung di atas rata-rata perempuan Indonesia. Ketika Malika mengenalkan Angela kepada Rusman, tenggorakan pria itu tercekat, glek! Angela yang muda dan ranum tinggal di apartemen itu bersama ibunya. Rusman yang sering bertemu Angela kemudian terpikat lalu menawarinya pekerjaan, yakni sebagai asisten pribadi. Suatu waktu, Malika dikejutkan dengan penampilan Rusman di televisi seperti biasa, namun dia sudah didampingi asistennya yang baru, Angela. Antara bangga dan bingung, antara senang dan cemburu, Malika berusaha menerima kenyataan ini. Pada hari-hari berikutnya, Angela lebih sering tampil di televisi. Mendampingi Rusman tentunya. Di saat bersamaan, Angela sudah jarang pulang ke apartemennya. Sementara itu, Malika cuma duduk termangu di apartemen, menunggu dan menunggu. "Mama, aku harus menemani Pak Rusman ke luar kota," kata Angela melalui ponsel. "Mama di apartemen saja, ya!" Malika tergetar dan nyaris tak percaya, "Baiklah, Nak." Suatu petang dimana Malika belum waktunya pulang, ia tertegun di depan apartemennya. Ia mendengar suara cekikikan perumpuan dan nafas berat pria yang sudah dikenalnya. Firasatnya mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres. Ada nuansa percakapan yang tidak biasa dari dalam kamar apartemen, menyelinap ke luar kamar, meruapkan insting hewani manusia. Saat ia membuka pintu apartemen perlahan-lahan di tengah nafas dan desah yang memburu hebat, kunci kamar itu sudah tidak berfungsi. Pintu kamar sudah terunci dari dalam. Di tengah usaha menahan amarah dan cemburu yang bercampur jadi satu, Malika mengangkat ponsel dan memijit sebuah nomor. Nomor Angela. Terdengar jelas nada panggil dari dalam, tetapi panggilan itu tidak diangkatnya. Penasaran. Malika memijit lagi sebuah nomor. Nomor Rusman. Lagi-lagi, terdengar nada panggil dari dalam kamar apartemen yang sama, tetapi panggilan itupun tidak diangkatnya. Mata Malika berkunang-kunang. Ia tertunduk lesu, bahkan lututnya tidak mampu bertumpu menahan tubuhnya sendiri. Ambruk. Hari berikutnya adalah siksa dan bahkan vonis baginya. Malika menjumpai kopor besar sudah teronggok di depan pintu apartemennya. Ia tahu persis pesan itu. Ia temukan secarik kertas menempel di kopor, pesan Angela. "Lebih baik Mama pulang kampung, urus kakek dan nenek di rumah!" Seribu kenangan indah bersama Rusman lantas terlintas, memenuhi ruang batinnya, menyesaki rongga kepalanya. Lalu terbayang Angela, dari mulai susah-payah melahirkannya, mengurusnya, sampai anak itu tiba-tiba menjadi gadis remaja jelita. Benteng ketahanan jiwanya tiba-tiba runtuh seketika. Air mata membasahi pipinya tak terkendali, bagai  sungai diterjang aliran banjir bandang saat ia membalikkan tubuhnya menjauhi kamar apartemen itu untuk selamanya. Malika bahkan tidak menyentuh barang-barang miliknya sedikitpun. Pesawat jumbojet yang membawa Angela berada di ketinggian 36.000 kaki di atas Afganistan, membelah kegelapan malam. Di tempat lain, sebuah bus antarkota baru saja tiba di terminal berjarak 600 kilometer arah timur Jakarta lewat dinihari. Setelah memasukkan buku yang tadi dibacanya, anak muda itu menggoyang-goyangkan tangan perempuan yang duduk di sampingnya, perempuan yang masih menyisakan kecantikan di tengah tatapannya yang hampa. "Sudah sampai di terminal, Bu," katanya. *** ion_fict_ion Catatan: Pada postingan Lirik Lagu sebagai Ide Menulis, saya mengajak Anda membuat cerita yang idenya dari lirik lagu. Saya coba menyusunnya dari "Dunia Hitam" milik Bimbo. Hasilnya adalah cerita di atas. Anda bisa mencobanya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun