[caption id="attachment_142234" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi Admin/Shutterstock"][/caption] Seperti biasa, rapat manajemen KOMPAS.com yang setiap Senin pagi selalu saya ikuti berlangsung dinamis. Di ruang tertutup ini semua persoalan, ide, inovasi mengemuka. Siapapun peserta rapat dengan jumlah yang terbatas itu boleh unjuk inovasi atau memaparkan hal baru. Pada hari Senin, 17 Oktober 2011 lalu, tatkala diberi kesempatan oleh pimpinan, saya giliran memaparkan inovasi: hybrid journalism! Saya bilang, dalam berinovasi kadang saya terantuk-antuk pada mulanya. Saya juga yakinkan sidang rapat bahwa di bisnis online tidak ada "barang sekali jadi", semua in the making atau on progress.  Lalu saya ambil contoh Facebook  yang sampai sekarang pun masih terus berbenah, baik dalam penambahan fitur, tampilan, kemudahan penggunaan, maupun inovasi baru yang membedakannya dengan Google+ atau mungkin situs pertemanan lainnya. Juga Kompasiana yang dengan tampilan sekarang ini saya nyatakan belum puas dan masih perlu berbenah, masih harus mendekati kesempurnaan. Tidak lupa saya rujuk dan tunjukkan buku "Innovation" yang saya punya, sekaligus saya tawarkan kepada hadirin bab-bab penting mana yang harus digandakan, sebab kalau membeli atau mencari buku itu harus ke Prasetya Mulya. Tidak lain untuk memberi pemahaman mengenai inovasi di bidang online! Hybrid Journalism? Ya, saya bilang itu salah satu inovasi di KOMPAS.com, meski bukan genuine innovation karena setidak-tidaknya Steve Outing dalam 11 Layer of Citizen Journalism sudah menyebut-nyebut istilah ini. Lalu Ohmy News dari Korea Selatan juga pernah mengklaim diri mempraktikkan "Hybrid Journalism", meski saya sangkal bahwa apa yang dilakukan para editor di situs pewarta warga yang didirikan Oh Yeong-ho itu sebagai bentuk "Collbarorative Journalism" semata, yakni kerja sama antara citizen reporter dengan para editor di Newsroom. Para citizen reporter ini dilatih sebagaimana wartawan profesional di institut yang didirikan Ohmy News, mereka bisa dihubungi, ditugaskan dan digerakkan. Oleh karenanya para citizen reporter ini dibayar! Ketika ada pejabat Samsung yang berkunjung ke kantor KOMPAS.com, saya perkenalkan media sosial Kompasiana yang sedang bertumbuh di Indonesia, sementara Ohmy News di Korea Selatan sedang surut dan menuju kebangkrutan. Kenapa? Karena pemasukan iklan seret sementara mereka harus mengeluarkan gaji yang tidak kecil untuk membayar 24.000 reporternya. Saya bilang, sebagai sebuah ide jurnalistik saya salut kepada Oh Yeng-ho, tetapi tidak untuk ide bisnisnya. Dia gagal! Dan, saya tidak mau membawa Kompasiana kepada kegagalan serupa. Pimpinan rapat, Direktur, bertanya bukankah apa yang disebut "Hybrid Journalism" dengan menjadikan konten Kompasiana menjadi konten KOMPAS.com sudah dilakukan sejak lama? Saya jawab, presis! Ini ide lama, saya bilang, tetapi tentu saja sekarang dengan penyempurnaan. Jika cara lama seperti kehebohan Komisi 8 DPR di Australia hanya memberi sedikit kata pengantar di lead berita (cukup satu alinea), lalu selebihnya copy paste atau menempel begitu saja laporan Kompasianer di Kompas.com. Namun demikian harus saya beri catatan, berita hybrid yang ditulis mahasiswa Indonesia di Australia itu menangguk lebih dari 500.000 pembaca dengan 885 komentar; prestasi keterbacaan sebuah berita yang belum ada tandingan sekaligus bandingannya di KOMPAS.com! "Itu cara lama. Itu masa lalu. Itu tidak akan pernah terjadi lagi," saya bilang. Lalu saya presentasikan hasil "Hybrid Journalism" terbaru di KOMPAS.com, yang mulanya adalah laporan Sukron Abdilah berjudul Rektorat UIN SGD Bandung Minim Apresiasi Sastra. Di ruang rapat saya berani mengklaim, "Inilah 'Hybrid Journalism' yang saya kembangkan yang mendekati kesempurnaan." Lalu saya tampilkan hasil "Hybrid Journalism" yang dimaksud, yakni berita Rektorat UIN SGD Hanya Bisa Berangkatkan Satu Mahasiswa. Saya katakan, bahwa di berita hasil hybrid ini tidak ada lagi pengulangan kata, apalagi copy paste, kecuali jika mengutip sumber. "Ini sebuah berita baru, judul baru, lead baru, dengan badan berita yang benar-benar baru. Si pelapor (Sukron) saya jadikan sumber, sementara sumber lain sebagai bagian dari cek silang atau cover both side dilakukan dengan cara menelepon langsung rektor atau pembantu rektor yang berhubungan dengan mahasiswa. Darimana memperoleh akses telepon, ya dari si pelapor itu sendiri. hasilnya, sungguh berita yang baru sama sekali, dan itu berita mainstream, bukan lagi berita warga," papar saya. Hadirin mengangguk-angguk. Lalu saya bilang, untuk menampung reportase warga yang akan dijadikan "Hybrid Journalism", saya membuat akun khusus di Facebook dengan nama Pepih for Journalism Project. Dengan akun itu, hanya Kompasianer yang menitipkan reportasenya saja yang akan di-hybrid, lainnya tidak. Itupun yang memenuhi unsur dan nilai berita. Jadi, project itu akan berlaku selektif, tidak asal hybrid. Tidak bisa dipaksakan, kalau ada satu ya satu saja yang di-hybrid setiap harinya. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria, ya sudah nihil dan tak usah dipaksakan. Saya tawarkan kepada sidang dan pimpinan, silakan dibuatkan microsite "Hybrid Journalism" ini di Kompasiana atau bahkan di KOMPAS.com. Saya ungkapkan peluang bisnis dari kepemilikan microsite ini, yakni vendor yang tertarik bisa saja memasang iklan. Ke depan, saya katakan, lomba-lomba yang selama ini hanya bekutat di sekitar menulis berita, menulis opini atau menulis fiksi, ke depan benar-benar lomba baru yang  menantang, yakni lomba menjadi editor! Artinya, satu tahapan lagi dalam dunia kepenulisan dan jurnalistik mulai dirambah. Sementara di sisi Newsroom, terbuka peluang untuk menaikkan derajat moderator/admin Kompasiana menjadi jurnalis dan kemudian editor "hybrid".  Inovasi yang amat sederhana tetapi membawa banyak manfaat, bukan? Dalam kesempatan itu tak lupa saya katakan, silakan ambil alih (take over) project saya di Facebook itu, yang ketika microsite sudah dibangun, ia hanya diperlakukan sebagai etalase reportase warga Kompasiana yang sudah mengalami hibrida. Setelah itu, saya akan cari dan beranjak ke  inovasi lainnya. Begitu seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H