Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana Tumbuh sebagai Personal Blog Killer?

12 April 2012   06:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:43 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya mengerikan kata-kata "kill" atau "killer" dalam setiap wacana, bahkan sebatas kata-kata. Saya meminjam istilah "killer" (pembunuh) semata-mata untuk menggambarkan kemungkinan Kompasiana, sebagai sebuah blog keroyokan (social blog) bisa membunuh blog-blog pribadi (personal blog) yang digarap dan dikembangkan masing-masing blogger. Seperti biasa, saya tidak jauh-jauh kalau mengambil contoh. Apa yang terjadi pada diri saya, ya itulah yang saya kemukakan sebagai contoh. Pada mulanya, saya menggarap beberapa personal blog baik dari Blogger.com maupun dari Wordpress.com. Blog yang paling awal saya kelola saya beri nama Beranda T4 Berbagi. Di blog ini, saya berbagi pengalaman menulis fiksi atau menulis berita faktual serta trik menggali peristiwa di lapangan, di samping tentu saja menampilkan tulisan yang tidak terlalu penting tetapi cukup menarik buat saya. Karena saya juga pecinta musik dan sedikit gemar bersenandung, meski suara saya tidak bagus-bagus amat -- berbahagialah Vidi Aldiano atau Ariel Peterpan karena saya tidak ikut terjun ke blantika musik -- saya pernah memiliki personal blog khusus sebagai penyalur hobi sampingan saya itu. Yang ini menggunakan bahasa Inggris sekenanya. Selain itu, karena saya menganggap lebih piawai dan mahir menulis dalam bahasa Sunda (yang rumit) ketimbang bahasa Indonesia (yang mudah), saya pun kerap menuangkan isi hati saya dalam personal blog berbahasa Sunda yang saya beri nama Balebat Ngolebat. Menulis blog dalam bahasa Sunda punya keasyikan sendiri, meski tidak banyak orang yang paham bahasa tersebut. Saya juga punya blog khusus catur yang saya beri nama aneh dan sedikit nyleneh,  SpiderChess. Mengapa nama "Catur Laba-laba" yang saya pilih? Sederhana saja, sebab waktu itu saya menemukan theme gratisan di Blogger.com yang menurut saya lumayan cantik dan cocok dengan karakter catur yang sering menjaring atau memerangkap lawan-lawannya dengan jaring laba-laba, sebagaimana Anatoly Karpov dikenang banyak orang. Maksud dari personal blog khusus catur ini juga untuk menampung artikel dan berita-berita catur saya yang dimuat di Harian Kompas, yang jumlahnya lumayan banyak! Lalu, karena saya tergila-gila dengan Bahasa Perancis -- bahasa ya, bukan gadis Perancis -- meski nggak pernah bisa-bisa, saya punya personal blog berbahasa Perancis yang saya beri nama MyFrench. Dan pada masa-masa Harian Kompas diserang habis-habisan oleh sebuah LSM secara tidak proporsional, saya mencoba menampilkan sisi lain dari Harian Kompas tempat dimana saya bekerja dengan nama blog pribadi InsideKompas. Oh ya, saya juga masih punya satu personal blog di Multiply yang saya beri nama Pepih's Site. Yang terakhir itu benar-benar cermin narsis, ya!? Bagaimana nasib semua blog pribadi saya itu? Mengenaskan... Mengenaskan, karena saya tidak pernah mengurus lagi blog-blog pribadi itu. Saya telantarkan sedemikian rupa. Saya kewalahan dibuatnya. Capek sendiri deh! Bukan tanpa alasan. Semua itu terjadi ketika saya mulai membangun, memelihara dan membesarkan blog keroyokan bernama Kompasiana yang pada awal kelahirannya saya peruntukkan sebagai blog jurnalis. Bukan saya tipe orang yang habis manis sepah dibuang setelah itu meninggalkan begitu saja. Bukan seperti itu. Lebih karena saya punya keasyikan sendiri berkompasiana. Kok bisa? Sederhana saja. Di blog-blog pribadi saya yang lumayan beragam itu, saya harus mengais-ngais teman yang sudi membaca blog-blog itu dengan istilah kuno "blog walking". Saya jalan-jalan ke blog orang lain, menyimpan jejak, dengan harapan yang blognya merasa terjejaki pergi berkunjung ke blog saya. Belum ada Facebook dan Twitter dimana saya bisa share kepada teman-teman atas apa yang saya tulis di blog itu. Kadang saya harus tukeran link (tautan)dengan teman; link teman saya muat di blog saya dan link blog saya termuat di blog teman. Begitu seterusnya. Di Kompasiana? Saya tidak usah bersusah payah kalah hanya mau menangguk pembaca 100 orang atau lebih atau memetik puluhan komentar. Dengan mudah saya lakukan. Apa rahasianya? Jawabannya: Crowd alias kerumunan! Ya, Kompasiana sudah menjadi kerumunan orang banyak dari berbagai minat dan kepentingan. Melempar sesuatu (tulisan) ke pusat kerumunan, sejelek-jeleknya tulisan yang kita buat, minimal dilirik orang. Bayangkan tulisan yang sama kita cemplungkan di personal blog kita yang tanpa kerumunan! Kita harus memanggil-manggil calon pembaca dengan berbagai cara, karena memang tidak ada kerumunan di sana. Kita teriak-teriak di Facebook atau Twitter, "Hai teman-teman yang baik, gue udah bikin tulisan baru neh, baca ya!" Ya, cara itu terpaksa dilakukan selagi kita bukan siapa-siapa, buka pesohor dan bukan pula orang terkemuka. Begitulah... Ada upaya yang cukup merepotkan jika harus menulis di blog pribadi, teriak-teriak di jejaring sosial "menawarkan" tulisan di blog personal kita agar orang sudi membacanya. Ya, mau tidak mau cara itu dilakukan agar teman-teman di jejaring sosial sudi melirik tulisan kita, cukup melirik saja. Bukan begitu? Atau kita nggak peduli tulisan kita mau dibaca orang lain atau tidak yang penting asal tulis dan mencemplungkannya di blog pribadi? Saya rasa, nggak mungkinlah ya! Beda kalau menulis di Kompasiana. Di sana ada crowd atau kerumunan massa, setidak-tidaknnya kerumunan para penulis itu sendiri, di samping juga ada pembaca Kompasiana yang loyal. Sebagai gambaran, berdasarkan situs pemeringkat Alexa.com, dalam sebulan Kompasiana dibaca oleh 7,7 juta orang! Wow, angka yang bukan main-main. Pembaca sejumlah itu sudah tersedia di Kompasiana tanpa harus dipanggil-panggil. Anda bisa "menawarkan" sesuatu (tulisan) tanpa susah-payah teriak-teriak di jejaring sosial. Hal lain, kala kita menjalin pertemanan di Kompasiana, maka otomatis teman-teman kita itu juga akan mendapat pemberitahuan bahwa kita sudah mempostingkan tulisan atau bahkan sudah mengomentari tulisan orang. Fantastis, bukan? Maka pertanyaan gede rasa yang saya lontarkan; mungkinkah Kompasiana tumbuh sebagai pembunuh blog-blog pribadi mengingat telah bertumbangannya sejumlah blog provider (penyedia blog) Tanahair? Tentu saja jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Akan tetapi, saya sudah mengalami sendiri dan menelan pil pahit atas nasib blog-blog pribadi saya sendiri! Hiks...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun