[caption id="attachment_179954" align="alignleft" width="500" caption="Ilustrasi (Shutterstocks)"][/caption] Menulis adalah membaca. Begitu yang selalu saya tekankan tanpa bosan dalam setiap kali pelatihan menulis di berbagai tempat. Apa artinya kalimat itu; "menulis adalah membaca"? Artinya, kita tidak bisa menulis tanpa membaca! Ah, omong kosong, saya bisa kok menulis tanpa membaca! Saya bisa kok menulis cerpen dan bahkan novel tanpa membaca apapun! Saya bisa kok menulis tanpa membaca! Benar, kita bisa menulis tanpa membaca. Tetapi yakinklah, karya tulisa apapun yang dihasilkan tanpa bekal membaca sebelumnya, tulisan yang kita hasilkan bakal terasa hampa. Ibarat beras, ia tidak akan pernah bernas. Ibarat makanan, ia akan terasa hambar tanpa garam yang sama sekali tidak menerbitkan selera untuk dibaca. Menulis adalah membaca. Sebab dengan membaca, kita punya bekal referensi yang memadai. Membaca jangan terbatas dan tersandera pada buku semata. Semua informasi bisa kita baca, apapun medianya. Sering ide dilahirkan selepas kita membaca buku. Paling gampang, lahirlah timbangan atau resensi buku. Kita bisa membuat satu artikel bahkan dari sebuah buku yang kita baca. Ambil contoh setelah membaca buku "The Outliers" karya Malcolm Gladwell, boleh jadi kita mencari padanan peristiwa di Tanahair orang-orang yang lahir dan besar "di luar angka statistik" di Indonesia, yang dianggap berhasil serta fenomenal karena kesempatan yang mereka dapatkan. Kita bisa rumuskan, mengapa pada suatu massa grup musik Tanahair demikian marak dan hebat-hebat pada masanya seperti Koes Ploes, Panbers, The Mercy's, The L'lyod, The Freedom, The Rollies, Trio Bimbo, dan seterusnya. Lalu setelah itu, mengapa sekian tahun justru Indonesia kekeringan dari grup-grup band yang sekarang sudah jadi legenda itu? Apa yang membuat grup-grup band itu tumbuh pada suatu periode tertentu? Apa yang menyebabkannya? Mengapa kemudian ada para penyanyi solo yang mengisi kekosongan itu? Itu sebuah contoh kecil saja, padahal ide tidak hanya melulu datang dari buku! Membaca adalah keterampilan. Karena membaca sebuah keterampilan, maka ia harus dilatih sebagaimana kita bermain piano, gitar, atau mengayuh sepeda. Tidak ada cara lain untuk mahir membaca selain latihan dan latihan, membaca dan membaca. Membaca apa saja, yakni sesuatu yang kita anggap penting dan menarik. Seorang profesor dari Malaysia, Zaid namanya, sampai-sampai mengatakan bahwa miskinnya keterampilan membaca merupakan hambatan berpikir kritis yang cukup fundamental. Bisa dibayangkan, bagaimana kita akan terus berdiskusi dan menyambung pembicaraan kalau tanpa pengetahuan umum atau khusus yang kita dapatkan dari hasil membaca? Boro-boro berpikir kritis, bahkan sekedar "nyambung" obrolan dengan orang banyak yang sedang membicarakan topik tertentu saja kita tidak bisa masuk, tidak bisa nyambung, dan tidak bisa nimbrung. Celakalah kita! Berbeda kalau kita gemar membaca, membaca apa saja, maka percaya diri akan tumbuh saat kita berhadapan dengan siapapun, saat orang mulai membuka sebuah topik pembicaraan. Tidak perlu lagi kita mengatakan "Maaf saya kurang tahu", "Oh, begitu ya?", "Aduh, saya belum membacanya!", "Okay, nanti deh saya baca!" atau "Ya, saya mendengarkan saja deh!" Jangan seperti itu, ya, kalau bisa! Semua hambatan seperti kurang atau tidak percaya diri saat bergaul dan berdiskusi mengenai satu topik, akan segera teratasi kalau kita berbekal pengetahuan yang memadai dari hasil membaca. Sekali lagi, dari membaca. Kita akan selalu berpikir kritis karena cenderung tidak mengiyakan lawan bicara, tetapi memberi referensi lain atau tambahan pengetahuan dari apa yang kita baca. Boleh dicoba. *** (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H