Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

28 Hambatan Berpikir Kritis: Miskin Keterampilan Membaca

3 April 2012   12:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_179954" align="alignleft" width="500" caption="Ilustrasi (Shutterstocks)"][/caption] Menulis adalah membaca. Begitu yang selalu saya tekankan tanpa bosan dalam setiap kali pelatihan menulis di berbagai tempat. Apa artinya kalimat itu; "menulis adalah membaca"? Artinya, kita tidak bisa menulis tanpa membaca! Ah, omong kosong, saya bisa kok menulis tanpa membaca! Saya bisa kok menulis cerpen dan bahkan novel tanpa membaca apapun! Saya bisa kok menulis tanpa membaca! Benar, kita bisa menulis tanpa membaca. Tetapi yakinklah, karya tulisa apapun yang dihasilkan tanpa bekal membaca sebelumnya, tulisan yang kita hasilkan bakal terasa hampa. Ibarat beras, ia tidak akan pernah bernas. Ibarat makanan, ia akan terasa hambar tanpa garam yang sama sekali tidak menerbitkan selera untuk dibaca. Menulis adalah membaca. Sebab dengan membaca, kita punya bekal referensi yang memadai. Membaca jangan terbatas dan tersandera pada buku semata. Semua informasi bisa kita baca, apapun medianya. Sering ide dilahirkan selepas kita membaca buku. Paling gampang, lahirlah timbangan atau resensi buku. Kita bisa membuat satu artikel bahkan dari sebuah buku yang kita baca. Ambil contoh setelah membaca buku "The Outliers" karya Malcolm Gladwell, boleh jadi kita mencari padanan peristiwa di Tanahair orang-orang yang lahir dan besar "di luar angka statistik" di Indonesia, yang dianggap berhasil serta fenomenal karena kesempatan yang mereka dapatkan. Kita bisa rumuskan, mengapa pada suatu massa grup musik Tanahair demikian marak dan hebat-hebat pada masanya seperti Koes Ploes, Panbers, The Mercy's, The L'lyod, The Freedom, The Rollies, Trio Bimbo, dan seterusnya. Lalu setelah itu, mengapa sekian tahun justru Indonesia kekeringan dari grup-grup band yang sekarang sudah jadi legenda itu? Apa yang membuat grup-grup band itu tumbuh pada suatu periode tertentu? Apa yang menyebabkannya? Mengapa kemudian ada para penyanyi solo yang mengisi kekosongan itu? Itu sebuah contoh kecil saja, padahal ide tidak hanya melulu datang dari buku! Membaca adalah keterampilan. Karena membaca sebuah keterampilan, maka ia harus dilatih sebagaimana kita bermain piano, gitar, atau mengayuh sepeda. Tidak ada cara lain untuk mahir membaca selain latihan dan latihan, membaca dan membaca. Membaca apa saja, yakni sesuatu yang kita anggap penting dan menarik. Seorang profesor dari Malaysia, Zaid namanya, sampai-sampai mengatakan bahwa miskinnya keterampilan membaca merupakan hambatan berpikir kritis yang cukup fundamental. Bisa dibayangkan, bagaimana kita akan terus berdiskusi dan menyambung pembicaraan kalau tanpa pengetahuan umum atau khusus yang kita dapatkan dari hasil membaca? Boro-boro berpikir kritis, bahkan sekedar "nyambung" obrolan dengan orang banyak yang sedang membicarakan topik tertentu saja kita tidak bisa masuk, tidak bisa nyambung, dan tidak bisa nimbrung. Celakalah kita! Berbeda kalau kita gemar membaca, membaca apa saja, maka percaya diri akan tumbuh saat kita berhadapan dengan siapapun, saat orang mulai membuka sebuah topik pembicaraan. Tidak perlu lagi kita mengatakan "Maaf saya kurang tahu", "Oh, begitu ya?", "Aduh, saya belum membacanya!", "Okay, nanti deh saya baca!" atau "Ya, saya mendengarkan saja deh!" Jangan seperti itu, ya, kalau bisa! Semua hambatan seperti kurang atau tidak percaya diri saat bergaul dan berdiskusi mengenai satu topik, akan segera teratasi kalau kita berbekal pengetahuan yang memadai dari hasil membaca. Sekali lagi, dari membaca. Kita akan selalu berpikir kritis karena cenderung tidak mengiyakan lawan bicara, tetapi memberi referensi lain atau tambahan pengetahuan dari apa yang kita baca. Boleh dicoba. *** (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun