Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dilema Jurnalis: Pilih Humanisme atau Profesionalisme

8 Maret 2012   05:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_175417" align="alignright" width="600" caption="Foto karya Kevin Carter"][/caption] Seorang rekan FB, Yoris Maran, dalam satu komennya menulis: "Kang Pepih, wartawan apakah di lapangan bisa beralih dari momen demi mengabdi pada kemanusiaan, karena saya membaca ada seorang wartawan yang demi sebuah momen yang hanya mungkin ada sepajang hidupnya dan ia memilih momen ketimbang kemanusian sehingga momen ini menghantar ia pada penghargaan tertinggi jurnalis tetapi penyesalan menghantar ia pada bunuh diri." Tentu saja saya membalas komen itu dengan senang hati, selagi saya punya waktu. Saya bilang, "Iya, yang Anda maksud adalah momen yang diabadikan fotografer Kevin Carter tentang anak balita Sudan yang menderita kelaparan hebat, yang ajalnya akan segera tiba, sementara di belakangnya telah menunggu seekor burung nasar (vulture) atau burung pemakan bangkai." Saya membuka-buka kembali buku jurnalistik saya. Foto yang bicara banyak itu diabadikan di Sudan yang tengah bergolak akibat peperangan. Foto itu mengguncang dunia dan karenanya memenangi Pulitzer tahun 1993. Belakangan, ataub setahun kemudian, Carter memilih bunuh diri karena mengalami penyesalan yang mendalam beberapa saat setelah menerima hadiah paling bergengsi di bidang jurnalistik itu. Rupanya telah terjadi peperangan yang hebat dalam batinnya, yang berakhir dengan keputusannya yang tragis itu: bunuh diri. Kalau saya dihadapkan pada momen itu, saya tentu saja akan bertindak seperti Carter: mengabadikan momen itu terlebih dahulu, entah itu lewat foto maupun video. Barulah jika ada kesempatan, saya menolong anak itu. Kelihatannya keji dan tidak berperikemanusiaan, ya? Boleh jadi demikian. Inilah sebabnya mengapa jurnalis sering dibenci di berbagai pelosok dunia karena dianggap selalu mengedepankan profesionalisme ketimbang humanisme. Jurnalis sering dicap si Raja Tega, yang perasaannya kurang tersentuh oleh penderitaan kemanusiaan, demikian pendapat sementara orang. Mengapa saya harus mengabadikan terlebih dahulu baru menolong kemudian? Lagi-lagi karena saya mengedepankan profesionalisme ketimbang kemanusiaan. Jahat sekali, ya? Tetapi tentu saja dengan catatan khusus. Misalnya untuk contoh kasus foto Kevin Carter yang "sangat berbicara" itu. Sederhana saja pertimbangannya, yakni dengan mengabarkan peristiwa memilukan lewat hasil bidikannya di koran-koran dunia, apa yang dikerjakannya telah mengubah pandangan dunia mengenai kelaparan yang demikian dahsyat di Sudan. Bahkan mungkin bantuan dan perhatianpun mengalir ke anak-anak Sudan khususnya dan umumnya anak-anak Afrika. Beda kalau si jurnalis abai pada momen yang hebat ini lalu sibuk menolong, maka tidak ada kabar buruk kepada dunia mengenai bencana kelaparan di Afrika. Terlebih lagi, bukankah tugas jurnalis itu mengabarkan, dan bukan mendedikasikan diri untuk terjun langsung menolong, sebagaimana yang dilakukan para volunteer. Justru dengan mengabarkan kepada dunia lewat foto-fotonya itu, volunteer dengan sendirinya datang. Jadi, saya tidak sependapat dengan pengabaian masalah kemanusiaan. Ada satu kejadian nyata, di Tanah Air, dimana seorang wartawan yang ditugaskan meliput kerusuhan di Papua, saat deadline tiba, dia tidak mengirimkan beritanya. Editor bertanya mengapa peristiwa kerusuhan yang demikian besar dan menewaskan banyak orang, tidak diliput, tidak ditulis dan tidak ada pula laporannya. Jawaban si jurnalis, "Wah, saya nggak nulis berita, sebab saya sibuk menolong korban kerusuhan!" Tentu saja ini jawaban konyol dan maaf, tolol, si jurnalis. Momen yang begitu penting terlewatkan, sementara koran itu hanya mengandalkan satu-satunya laporan lengkap dari si jurnalis yang kebetulan ditugaskan di Papua. Tentu saja editor di Jakarta marah besar. Tidak lama kemudian, si jurnalis diberhentikan karena dianggap tidak punya lagi kepekaan terhadap berita, dengan kata lain jurnalis tidak punya lagi "nose for news". Memang menjadi dikotomi yang saling bertentangan. Dari sisi kemanusiaan, si jurnalis tentulah "hero". Akan tetapi di sisi jurnalistik, dia benar-benar "zero". Dia tidak bertanggung jawab pada profesi "suci"-nya yang seharusnya mengabarkan berita penting kepada pembacanya. Dalam suatu kesempatan meliput kerusuhan di Ambon, saya melihat dengan mata kepala sendiri, seseorang dibunuh secara keji dengan cara yang tidak usahlah saya deskripsikan di sini. Anda bisa bayangkan bagaimana saya bisa menolong kekerasan luar biasa yang sulit dibayangkan imajinasi liar sekalipun. Kalau saya tampil sebagai "hero" dengan mencoba menolong si korban, sayalah yang menjadi giliran pembantaian berikutnya. Jurnalis seperti saya, dituntun oleh nalurinya, lebih memilih menjauh sampai pasukan keamanan tiba. Demikian salah satu "seni" meliput di daerah bergolak yang sulit saya temukan dalam buku-buku jurnalistik sekalipun. Dalam pekerjaannya itulah, khususnya meliput di daerah konflik dan bencana, seorang wartawan kemungkinan akan dihadaplan kepada persoalan memilih antara dua kutub yang saling berlawanan secara diametral ini: mengedepankan humanisme atau profesionalisme, mendahulukan kemanusiaan atau pekerjaan. Jika pilihan itu jatuh menimpa saya, saya akan memilih yang terakhir. Kendati Anda benci dengan pilihan saya, tetapi bagi saya pembaca menunggu informasi yang bakal saya tulis! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun