Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pengakuan Saya di Depan CEO KG Agung Adiprasetyo

3 Juni 2011   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55 3059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya katakan begini, "Kalau Pak Agung ditanya apa produk Kompas Gramedia yang paling mendunia saat ini, bahkan telah menjadi 'Number One in the World', jawab saja 'Kompasiana'!" Saya tidak sedang membual di depan CEO Kompas Gramedia (KG) Agung Adiprasetyo yang saya panggil "Pak Agung" itu, sebab saya sambil menunjukkan statistik Alexa.com, situs pemeringkat yang membandingkan Kompasiana dengan OhmyNews.com, NowPublic.com, Stomp.com.sg, dan Oknation.net, empat situs jawara di ceruk Citizen Journalism (CJ). Telah sering saya berjumpa Agung Adiprasetyo, baik saat berpapasan di lift kantor maupun dalam acara-acara tertentu di lingkungan KG. Sapaan "Mas" umum terdengar, selebihnya suasana santai. Tetapi kesempatan bertemu CEO kali ini justru dalam suasana yang amat formal dan menegangkan, setidak-tidaknya bagi saya. Selasa, 31 Mei 2011 lalu, saya berperan sebagai orang yang paling dicecar CEO, sementara CEO berperan sebagai pencecar alias penguji proyek akhir saya di Prasetya Mulya Business School. Saya konsisten dengan Kompasiana, sebuah social blog yang saya asuh sejak awal kelahirannya 2,5 tahun lalu, bahkan saat saya harus membuat proyek akhir kuliah singkat saya di sekolah bisnis itu. Selain CEO, saya dicecar juga oleh mantan bos kelompok Majalah di lingkungan KG, Widi Krastawan, yang kini ditarik ke Humas Korporat, juga dosen Prasetya Mulya, Robby. Dicecar karena saya harus mempertanggungjawabkan proyek akhir saya. Ini sekolah bisnis. Cara mainnya sederhana. Biaya sekolah saya yang ditanggung perusahaan sekitar Rp 80 juta. Lewat proyek akhir itu, saya harus mengubah uang sejumlah itu menjadi tiga kali lipat atau Rp 240 juta dalam kurun waktu maksimal tiga bulan. Melalui proyek akhir itu, saya harus mewujudkan ide bisnis di tataran pragmatis. Saya harus membuat proyek. Saya menguasa Kompasiana. Maka proyek akhir yang saya buat tidak jauh-jauh dari Kompasiana. Percayakah Anda melalui Kompasiana saya mampu menyulap Rp 80 juta menjadi Rp 240 juta dalam kurun waktu tiga bulan? Anda mungkin tidak akan percaya. Semula saya juga tidak percaya. Akan tetapi lewat proyek akhir ini, saya harus percaya. Maka wajar kalau para pemilik modal yang diwakili CEO Agung Adiprasetyo, tidak ingin modal yang saya buat menguap begitu saja. Dia berhak ragu, maka terus bertanya. Sementara saya yang punya proyek ada dalam posisi menjelaskan dan meyakinkannya. Begitulah inti permainan di sekolah bisnis ini. Dalam proyek ini saya cenderung melawan arus alias tidak sebagaimana galibnya atau seharusnya. Pertanyaan yang wajar dari seorang CEO adalah, mengapa saya mau menciptakan tren online ke print sementara galibnya adalah dari print ke online? Dalam proyek itu, saya memang ingin membawa Kompasiana yang selama ini bermain di ranah online menjadi print, atau bermetamorfosa dalam bentuk apa saja nantinya. Setidak-tidaknya, saya fokus dulu menjadi print. Dalam hal ini. saya teringat konsep "perahu naga" versus "kano arung jeram". Bisnis yang menganut paham perahu naga cenderung menjaga harmoni dengan satu genderang pemimpin sebagai pengarah, semua mengayuh dan bahkan bernapas yang teratur, harmonis. Sementara konsep arung jeram justru sering melawan arus. Tidak jelas siapa pemimpinnya, tetapi masing-masing individu berimprovisasi agar bisa menaklukkan jeram yang terjal dan arus yang besar dan liar. Saya memilih yang kedua. Maka, wajar jika pertanyaan CEO adalah mengapa saya melawan arus. Saya tunjukkan ranking Kompasiana berdasarkan situs Alexa.com dibanding dengan empat situs CJ dunia seperti terlihat di bawah ini. Pertama-tama saya tunjukkan Traffic Rank Kompasiana yang baru berumur 2,5 tahun dibanding 4 jawara CJ sebelumnya. Saya ceritakan bahwa beberapa tahun lalu saya menulis panjang lebar mengenai kehebatan OhmyNews.com besutan Oh Yeng Ho dari Korea Selatan yang mendapat momentum saat Presiden Roh Tae Wo dipaksa turun oleh gerakan mahasiswa. Saya juga pernah menulis Stomp.com.sg sebaia jawara CJ di Asia Tenggara. NowPublic.com adalah situs CJ internasional bermarkas di Kanada, sedangkan OkNation.net adalah situs CJ di Thailand yang menyabet medali emas WAN-IFRA Award tingkat Asia tahun lalu, sementara Kompasiana menduduki runner-up.  Lalu saya tunjukkan pula Page View keempat jawara CJ itu dengan Kompasiana sebagaimana tergambar di bawah ini: Dari grafik Alexa itu terlihat, betapa jumlah halaman Kompasiana yang dibaca di atas 4 jawara CJ dunia! Lantas, bolehkah saya berbangga diri bahwa sebenarnya Kompasiana sudah layak disebut sebagai "The Most Progressive CJ in the World"? atau bahkan "The Biggest CJ in the World"? Saya tentu saja tidak berani sesumbar, sebab acuan saya hanya menggunakan Alexa, sementara ada banyak situs seperti Alexa-Alexa lainnya seperti Google Analytics atau ComScore, yang belum tentu bercerita sama seperti Alexa. Tetapi bagaimanapun, saya harus punya pijakan data untuk meyakinkan bahwa proyek akhir saya bisa berjalan dengan melihat performa Kompasiana yang makin hari makin menunjukkan kemajuannya dilihat dari sisi traffic dan jumlah halaman yang dibaca. Data atau perbandingan statistik itu setidak-tidaknya menunjukkan bahwa Kompasiana yang berbasis bahasa Indonesia bisa bersaing dengan situs CJ lainnya, yang merupakan "senior" Kompasiana. Saya tidak tahu apakah pengakuan saya di depan CEO KG Agung Adiprasetyo ini terlalu berlebihan atau "lebay" kata anak muda sekarang, atau cukup masuk akal. Bagaimanapun, saya harus mengegolkan proyek akhir saya di sekolah bisnis ini. Kredibilitas dan performa individu saya sebagai karyawan/wartawan Kompas yang berada di lingkungan KG dipertaruhkan lewat proyek akhir yang dibiayai sepenuhnya oleh KG ini. Terlebih lagi, saya harus tetap membawa Kompasiana ke ranah yang lebih berwibawa dengan model bisnis yang tidak semata-mata mengandalkan iklan bannner, tetapi online activity lainnya serta metamorfosa Kompasiana menjadi konten buku, majalah, audio, audio-visual, dan bahkan format digital dalam kemasan bisnis, "makes money. Ke depan, setiap metamorfosa Kompasiana menjadi konten baru adalah bisnis yang  juga harus berimbas kepada para penulisnya. Konten tidak lagi gratis ketika sudah bermetamorfosa, penulisnya harus dibayar. Itulah visi dan misi saya membawa Kompasiana ke depan, setidak-tidaknya yang saya pertaruhkan lewat ujian proyek akhir di sekolah bisnis ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun