Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Langkah GM Kembalikan Bakrie Award, Blogger Terlibat?

22 Juni 2010   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:22 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_174252" align="alignleft" width="300" caption="Goenawan Mohamad/Kompas.com"][/caption] Kekaguman saya mungkin tidak ada habisnya kepada Goenawan Mohamad (GM), tokoh pers Indonesia, yang saat sidang putusan kasasi di Mahkamah Agung tahun 1996 lalu di saat pemerintah Soeharto tetap membreidel Majalah Tempo yang dipimpinnya, ia memberi orasi seusai sidang. Saya hadir meliput di Gedung Mahkamah Agung yang angker itu, yang saya pikir waktu itu, GM sedang menghadapi tembok baja kekuasaan melalui tangan-tangan para hakim agung. Kata-katanya yang saya ingat, "Saudara-saudara bisa lihat keputusan Mahkamah Agung hari ini!" Lalu mencuatlah kalimat GM yang saya ingat sampai sekarang, yang saat itu kerap GM kemukakan: "Kebenaran bisa disalahkan, tetapi tidak bisa dikalahkan!" Konteksnya adalah, "kebenaran" yang bisa disalahkan oleh penguasa saat itu. Bahwa kemudian kebenaran tidak bisa dikalahkan, terbukti dengan tumbangnya Soeharto dan majalah Tempo bisa hidup kembali (baca: menang). Cerita GM dengan Majalah Tempo yang dibesarkannya, sangat menarik. Setidak-tidaknya menarik perhatian saya yang membaca Tempo sejak saya duduk di bangku SMA, lalu kemudian membaca edisi pertamanya saat majalah mingguan itu lahir tahun 1973 (kalau tidak salah) dengan cover pebulutangkis Minarni, setelah saya bekerja di pusat informasi. Bahkan sebagai penghormatan dan kekaguman pada Tempo, saya menulis artikel di Harian Kompas edisi 18 Februari 1995 berjudul "Pusat Informasi Majalah, Mengapa Tidak?" Hari ini GM yang kolom "catatan pinggir"-nya sangat menawan itu membuat berita! Dikabarkan di sini, bahwa GM memulangkan kembali Bakrie Award yang telah diterimanya sejak 2004 lalu akibat kecewa terhadap Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Harian Setgab Aburizal Bakrie sebagai tokoh bisnis dan politik, yang dipandangnya tidak ada kesesuaian antara cita-cita pemberian penghargaan Bakrie Award dan apa yang dilakukan Aburizal Bakrie dalam dunia bisnis dan politik. Bakrie Award dilaksanakan Freedom Institute besutan Rizal Mallarangeng, sedangkan nama "Bakrie" di depan kata "Award" sesungguhnya ditabalkan sebagai nama Ahmad Bakrie, ayah Aburizal Bakrie. Terlepas dari soal Bakrie Award itu, pengembalian penghargaan yang telah diterima GM untuk dikembalikan kepada Freedom Institute (berikut hadiah uang Rp 100 juta plus bunganya), tentulah memunculkan analis menarik. Ada yang salut, mengerti dan mamahami langkah GM tersebut, tetapi ada juga yang mempertanyakan: kok baru dikembalikan sekarang? GM di sini menyebut alasan mengapa baru kali ini ia mengembalikan Bakrie Award itu. Saya tidak dalam kapasitas membela Bakrie and his gang, juga tidak dalam kapasitas memuji langkah yang ditempuh GM. Saya hanya melihat langkah GM sebagai pesohor (prominence people) dalam industri pers, sekaligus budayawan dengan tag "berani melawan rezim Soeharto", yang tiba-tiba mengembalikan Bakrie Award yang pernah diterimanya sebagai dedikasinya di dunia sastra/kebudayaan. Ada apa? Dan... yang paling mengejutkan saya adalah....  GM mengaku tidak tahan mendengar jawaban Aburizal Bakrie saat berdialog dengan para blogger di Langsat, Kebayoran Baru, beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, demikian sebagaimana diberitakan Tempointeraktif, Aburizal Bakrie menjawab dengan tidak merasa bersalah kasus lumpur Lapindo dan sejumlah kasus lainnya. Loh, kok jadi menyeret-nyeret blogger? Kenapa Langsat harus disebut-sebut dalam urusan Bakrie ini? Wah, jangan-jangan blogger sudah diseret-seret memasuki ranah politik!? Tidak ada yang salah dengan terseretnya blogger ke arus politik. sengaja atau tidak. Tetapi dalam kasus GM mengembalikan Bakrie Award saya melihat; salah-salah pihak blogger yang dipersalahkan! Saya melihatnya begini. Langsat adalah tempat yang nyaman untuk berkumpulnya para blogger, termasuk saya yang dua kali pernah kongkow-kongkow di sana. Suasananya sangat guyub, karena para blogger senior sangat welcome terhadap blogger pendatang baru, seperti saya. Tetapi ketika GM menyebut-nyebut "Aburizal Bakrie di Langsat", saya mulai berpikir apakah ada kemungkinan Aburizal Bakrie merasa "dikerjain" para blogger? Lebih jauh lagi, benarkah blogger menjadikan ajang obrolan santai itu sebagai "perangkap" kalau kemudian itulah alasan GM yang menyebut-nyebut Aburizal Bakrie tidak mau meminta maaf? Nakalnya, apakah ajang pertemuan yang dibesut para blogger itu memang seharusnya dijadikan tempat Aburizal Bakrie meminta maaf? Sepengetahuan saya, blogger adalah manusia-manusia "indie" (independent) alias manusia merdeka. Merdeka dalam menulis, merdeka dalam menuangkan gagasan, tanpa harus diarah-arahkan, tanpa ada kepentingan alias vested interest. Saya dulu pernah kecewa terhadap postingan di Kompasiana ini yang ditulis oleh Kompasianer tertentu yang membela mati-matian jagoannya dalam ajang Pilpres 2009 lalu, sehingga beberapa komentarnya pun saya nilai sudah menyerang prinadi dan saling menjatuhkan. Akan tetapi saya cepat sadar, bahwa postingan dukungan seperti itu adalah sebagai cerminan mengeluarkan pendapat sekaligus cermin independensi Kompasianer itu sendiri. Maksudnya, kalau sudah menetapkan keyakinan terhadap capres yang dijagokannya, dia bergeming (baca: tidak goyah) dan tidak terpengaruh provokasi orang lain. Bagi saya, mereka tidak sedang berpolitik, tetapi sekedar mempertahankan argumen dan sekaligus menunjukkan dukungan kepada capres yang diidolakannya! Memang sebaiknya, blogger juga bisa independen dan netral saat menulis politik, sekalipun di antara mereka ada yang menjagokan capres, cagub, atau cabup tertentu. Kembali ke soal GM mengembalikan Bakrie Award yang diterimanya, moga-moga saja Aburizal Bakrie tidak merasa "dikerjain" para blogger, karena bagaimana pun juga saya dan semua para Kompasianer tidak lain adalah blogger. Juga, semoga GM tidak menjadikan tidak ada pernyataan rasa bersalahnya Aburizal di tempat berkumpulnya para blogger di Langsat sebagai alasan mengembalikan Bakrie Award! Semoga, semoga....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun