[caption id="attachment_48444" align="alignleft" width="448" caption="Pakaian ihram yang dikenakan salah seorang jamaah di Mina/by Pepih Nugraha"][/caption] Cukup sering aku berpergian ke luar negeri, terlalu sering aku bepergian ke luar kota, tetapi tidak seberat kepergian ke Tanah Suci ini dalam melambaikan tangan kepada anakku. Hati memang terasa ringan karena didasari sikap penyerahan diri total saat kita niat berhaji. Ibaratnya, Kau mau apakan diriku ini ya, Allah, aku terima. Tetapi, seringan apapun kaki melangkah, seberat apapun tanganku melambai, kucoba untuk berempati…andai aku jadi anakku, si Kakang.
Dari sorot matanya aku tahu, anakku menggenggam kesedihan yang dalam…
Saat dua bus bergerak dari sebuah mesjid di Cibubur ke arah Asrama Haji Pondok Gede, semula aku sempat berbincang-bincang dengan anakku yang masih berusia 13 tahun itu. Sempat pula ia kupeluk erat dan kugenggam erat. Sengaja dadaku kurekatkan pada dadanya, biar ia bisa merasakan degup jantungku. Sebaliknya, aku juga berusaha merasakan degup jantungnya. Hemm… rasanya baru kemarin aku menimangmu, Nak…kini kau sudah beranjak dewasa, menjadi anak remaja yang harus kutinggalkan pula. Aku tidak menitikkan air mata, tetapi mata anak itu terlihat memerah seperti menahan airmata agar tidak tertumpah. Ia tidak pula mengucapkan sepatah katapun saat kupeluk erat, misalnya mendoakan atau berharap agar kedua orangtuanya bisa kembali lagi.
Tidak. Anakku hanya “berbicara” lewat matanya yang memerah itu. Lalu ia menghilang di tengah kepungan ratusan pengantar lainnya, terlebih lagi ketika aku harus segera naik bus. Batinnya tentulah berontak, mengapa dirinya juga adiknya yang masih kecil harus kutinggalkan begitu saja untuk waktu yang lama dan dengan jarak yang berbilang, beribu-ribu mil dari Tanah Air. Di atas bus itu, aku benar-benar kehilangan pandangan atas anakku itu. Kucoba melongokkan kepala ke luar kaca bus, tetapi yang kusapu adalah pandangan orang-orang yang sama sekali tak kukenal, yakni para pengantar. Sedangkan anakku…menghilang entah kemana.
Itulah kenangan akan anakku yang sempat menyusup ingatanku saat sepuluh bus bergerak dari Asrama Haji Pondok Gede menuju terminal tiga Bandara Internasional Soekarno Hatta, terminal khusus haji, pada keesokan harinya. Betapa peristiwa kemarin itu saat aku kehilangan pandang atas anakku, masih kubawa saat rangkaian bus membelah jalan tol menuju arah barat, Sabtu 14 November 2009. Lagi-lagi kuncinya hanya berserah diri saja, meski harapanku tentunya bisa kembali lagi ke Tanah Air untuk menemui anakku lagi.
Semalam di Asrama Haji Pondok Gede sebelum esok berangkat, banyak peristiwa yang kulewatkan. Jumat, 13 November 2009 malam seharusnya aku duduk di depan televisi, menyaksikan penampilanku di Kick Andy sebagai narasumber atau pembahas Citizen Journalism. Beberapa SMS mengabariku kalau aku sedang tampil di MetroTV di acara Kick Andy itu. Mereka bertanya apakah aku juga menonton acara yang sama. Kujawab, tidak, karena aku mulai masuk proses karantina, dimana pukul empat dinihari harus bangun dan siap-siap berpakaian untuk menuju bandara.
Saat tubuh kurebahkan di salah satu kamar di Asrama Haji sebelum berengkat tidur, beberapa raut wajah melintas dengan cepat, anakku…Kakang dan Gadis, teman-temanku yang baik, orangtua, saudara-saudara. Semua berlalu demikian cepat seperti fragmen pita seluloid. Lalu, lelah menuntunku menuju alam mimpi.
Keesokan harinya, aku sudah berada di atas jalan tol menuju bandara. Tiba di Soekarno Hatta, ketentuan mengharuskan aku dan rombongan segera berpakaian ihram karena miqat berada di atas pesawat, beberapa saat sebelum pesawat mendarat di Jeddah. Bahkan, niat umrah pun harus diucapkan di atas pesawat dengan bantuan pembimbing. Itu keharusan yang wajib kujalani. Maka pemandangan mushola Terminal Tiga Bandara Soekarno Hatta saat itu dipenuhi jamaah pria yang saling minta tolong mengenakan pakaian ihram. Aku tercenung dibuatnya!
Kau tahu apa itu pakaian ihram, kawan? Pakaian ihram hanyalah dua lembar kain putih bersih yang satu bagian dililitkan mengeliling pinggang seperti mengenakan kain sarung, satunya lagi dililitkan di badan. Dua helai kain berbentuk empat persegi panjang tanpa jahitan…dan itu harus kau kenakan selama ritual haji dan umrah!
Untuk urusan mengenakan pakaian ihram, aku berusaha mandiri dan kulakukan sendiri saja. Ini karena aku lumayan menyimak saat pembimbing jauh-jauh hari mengajari jamaah mengenakan pakaian ihram. Hal sepele tetapi kuikuti dengan baik, sehingga tidak kikuk lagi saat mengenakannya. Memang ada teknik dan cara melipat khusus yang urutannya tidak boleh keliru, khususnya saat mengenakan pakaian ihram bagian bawah seperti kita mengenakan kain sarung. Mengenakan pakaian ihram bagian bawah ini harus ekstra kencang dan tidak boleh lepas, juga tidak boleh tersingkap. Kau boleh mengenakan ikat pinggang khusus, ikat pinggang yang bisa dijadikan tempat menyimpan real atau rupiahmu. Jika pakaian ihram bagian bawahmu tersingkap, salah-salah kemaluanmu bisa “kemana-mana” atau bisa terlihat orang lain akibat larangan tidak boleh mengenakan celana dalam!
Porno! What?
Janganlah kau berpikir macam-macam, kawan, ini bukan porno! Aku tidak sedang cerita jorok dan tidak sedang mengumbar cerita tak senonoh. Aku hanya berusaha mengikuti aturan ketat tata cara berihram. Bayangkan, selama prosesi umroh dan haji, pakaian yang kaukenakan itu harus tetap bersih tanpa noda (najis). Kau tidak boleh membuka atau menggantinya dengan pakaian lain, kecuali saat kau mandi atau berhajat. Saat kau tidur kedinginan pada malam hari, bahkan saat kau mabit (menginap) di Mina dan Muzdalifah kelak, tidak boleh pula kau lepas pakaian ihrammu itu untuk alasan apapun. Kau harus tetap mengenakannya dan kalau kau kedinginan, lilitkan saja pakaian ihram bagian atas agar tubuhmu terlindung dari tamparan angin yang menusuk. Dan…pakaian ihram ini harus kukenakan sejak masih berada di Tanah Air, di Soekarno Hatta!
Aku tercenung dan terus merenungi pakaian ihram yang kukenakan ini. Sebuah pakaian sederhana namun bermakna dalam. Dimana gerangan letak kedalamannya? Yah…aku baru tersadar kalau kain ihram itu cermin penyerahan diri total yang sesungguhnya. Ia adalah cermin kalau suatu saat aku, kau dan kita semua mati dipanggil Allah. Tidak ada yang bisa kaubawa agar kau bisa tampil sopan saat menghadap Ilahi selain pakaian ihram yang kaukenakan itu! Jika kau mati secara Islam, kau tidak butuh jaket kulit mewah, tidak perlu juga kemeja bagus, cukup dua helai pakaian putih itu saja, tetapi kau tidak boleh benar-benar telanjang saat dipanggil Yang Kuasa. Sedangkan jaminan kau masuk surga atau neraka adalah segala perbutan yang telah kaujalani selama hidup di dunia.
Kelak akan kuceritakan bagaimana jamaah yang meninggal di Tanah Arab cukup hanya mengenakan pakaian ihram yang dipakainya itu!
Maka kau bisa bayangkan saat antrian jamaah siap menaiki tangga pesawat Garuda, kau pasti akan memandang serombongan jamaah dengan seragam ihram yang berjalan seperti makhluk penurut dengan kepasrahan total. Salah satu dari jamaah yang menaiki tangga pesawat dan berserah diri secara total itu adalah aku… diriku yang berniat meneruskan kisah perjalanan ini dalam kesempatan berikutnya jika Allah masih memberiku umur. (Bersambung)
Tulisan Sebelumnya:
Kepergian dan Bayangan Almarhumah Ibu (Berhaji2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H