Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sejuta Kabut

2 Januari 2010   13:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:40 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_47222" align="alignnone" width="500" caption="Iwan Abdulrachman di Youtube/by Pepih Nugraha"][/caption] Ada kisah tercecer yang sayang kalau saya tidak menceritakannya disini, yakni pertemuan dan percakapan saya dengan Iwan Abdulrachman. Ia seorang musisi, penggubah lagu, sekaligus pecinta alam dari Bandung. Di blantika musik, nama yang melekat padanya adalah "Abah Iwan". Entah berapa kali sudah saya menulis kesan mengenai Abah Iwan, baik sesaat setelah menonton konsernya maupun saat saya mengenang lagu-lagunya. Lagu-lagu dengan lirik kuat bermakna, yang jika mengiringinya cukup dengan petikan gitar akustik. Terakhir kali saya bertemu dan sejenak berbincang dengan Abah Iwan saat Harian Kompas mengadakan Silaturahmi atau Halal Bihalal Idul Fitri 1430 Hijriyah, bertepatan dengan 9 Oktober 2009 lalu, di Bentara Budaya Jakarta. Abah Iwan membawakan lagu-lagu yang senafas dengan Idul Fitri, seperti biasa bertemankan gitar akustiknya. Dalam kesempatan ini saya tidak ingin bercerita mengenai lagu legendariisnya seperti Melati dari Jayagiri, Flamboyan atau Detik Hidup.  saya ingin bercerita tentang sebuah lagu Abah Iwan yang boleh jadi tidak begitu dikenal sebagaimana lagu-lagu yang saya sebutkan tadi, tetapi begitu saya hapal nada dan liriknya sejak saya duduk di bangku kelas lima sekolah dasar tahun 1976 lalu. Judul lagu itu adalah Sejuta Kabut. Tigapuluh empat tahun lalu orangtua belum punya televisi, tetapi saya pertama kali melihat videoklip Iwan Abdulrachman saat membawakan Sejuta Kabut itu di TVRI saat saya berada di Bandung, di rumah orangtua teman saya, Agus Ridar (Hemmm..dimana kau gerangan kini, Gus?). Saya ingat betul, Abah Iwan yang tergabung dalam grup Kali Kautsar (koreksi saya jika keliru), membawakan lagu itu di Puncak, Bogor, di perkebunan teh yang berkabut, sesuai makna yang tersirat dalam lagu Sejuta Kabut. Kala itu yang saya ingat dari Sejuta Kabut adalah intro dengan petikan tremolo atau bergetar, menggigil seperti terkena kabut Puncak. Kala mahasiswa dulu, beberapa tahun silam, pernah saya menapak tilas menembus kabut pekat Puncak bersama kawan-kawan. Kala itu saya membawa gitar akustik dan teman-teman terheran-heran saat saya memetik intro tremolo gaya Abah Iwan lalu menyanyikan Sejuta Kabut. Lagu yang mereka tidak kenal, tetapi saya memainkan dan menyanyikannya dengan nikmat dan khidmat, yang kemudian memaksa teman-teman mendengarkannya sampai tuntas! Tadi sore, saya tiba-tiba ingin memainkan dan menyanyikannya kembali. Lalu saya raih gitar akustik dan coba memainkannya di depan rumah, seperti biasa. Saya juga tidak tahu, entah ada dorongan darimana ketika tiba-tiba saya teringat Sejuta Kabut. Teringatkah saya akan seseorang berwajah lembut yang telah memberi saya gairah dan semangat hidup? Boleh jadi ya. Akan tetapi, hadirnya sebuah lagu dalam ingatan dan kemudian ingin memainkannya, tidak selalu harus teringat seseorang atau peristiwa. Ia bisa datang dengan tiba-tiba. Terlebih lagi, Sejuta Kabut memiliki kekuatan lirik memikat, dalam, dan menggetarkan. Saya menemukan Sejuta Kabut tanpa videoklip di Youtube. Kalau teman-teman punya waktu, simak Sejuta Kabut di bawah ini: Sedangkan lirik Sejuta Kabut adalah sebagai berikut: Sejuta kabut turun perlahan Merayap di jemari jalanan Meratap, melolong lalu menjauh Menggoreskan kesan ngeri di hati Sejuta kabut turun semalam Mengetuk-ngetuk jendela kamarku Meratap, melolong lalu menjauh Menggaungkan kesan suram padaku Lalu kusibak tirai hatiku Kubuka lebar-lebar pintu jiwaku Kuterjuni kabut yang di kakiku Berbekal matahari yang bernyala yang membara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun