Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kompasiana sebagai Media "Whistle Blower" Paling Berpengaruh

21 Mei 2014   02:16 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_337279" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi-Whistleblower (oig.ssa.gov)"][/caption]

Bisakah media arus utama menjadi media "whistle blower" oleh seseorang yang bermaksud mengungkap aib di lingkungan institusinya untuk kepentingan orang banyak? Tentu saja bisa dan ini cerita lama. Identitas si pesiul alias pengungkap aib pastilah disembunyikan oleh media tersebut atas nama "sumber yang tidak bersedia diungkapkan identitasnya" atau "Sumber Fulan kepada Media A", misalnya, merujuk pada nama media. Alasan identitas disembunyikan jelas, yakni demi keamanan. Bukan saja keamanan bagi si wartawan yang menulis berita tersebut, melainkan kepada si sumber. Tanggung jawab ada pada media tersebut.

Pertanyaan sama diajukan, bisakah media sosial seperti Kompasiana ini menjadi "whistle blower" oleh seseorang yang bermaksud membongkar kebobrokan atau ketidakadilan pada suatu institusi di mana dia bekerja? Jawabannya juga sama; bisa! Bedanya, pada media warga seperti Kompasiana, tanggung jawab ada pada penulisnya alias si pengungkap aib, sementara Kompasiana sebagai media warga yang mewadahi tulisan warga tersebut menilai apakah konten yang diungkapkan menyalahi tata-tertib atau tidak. Bila menyalahi tata-tertib, terbuka peluang untuk di-remove, sebuah upaya terakhir yang sangat tidak demokratis!

Sejak kelahirannya lima tahun lalu, Kompasiana tidak semata-mata tumbuh sebagai etalase warga berupa tulisan opini, reportase warga (citizen journalism) atau fiksi, melainkan hal yang tidak terduga; yakni tumbuh sebagai media pengungkap aib atau media "whistle blower" itu tadi. Banyak contoh yang sudah terjadi. Saya mencoba mengungkap tiga "whistle blower" di Kompasiana yang cukup fenomenal. Salah satunya adalah bagaimana pemilik akun "Putra Angkasa" menulis artikel (tepatnya membongkar) skandal korupsi di tubuh militer, dalam hal ini Angkatan Udara, 26 Januari 2013.

Tentu saja "Putra Angkasa" bukanlah nama sebenarnya melainkan sekadar pseudonym alias nama samaran. Meski nama samaran, "Putra Angkasa" pastilah orang, bukan jin atau sebangsanya. Besar dugaan, ia adalah salah satu anggota militer juga yang "gatal" karena merasa institusi di mana dia berdinas (militer) menjadi arena korupsi yang dilakukan segelintir oknum yang boleh jadi atasannya sendiri. Apa yang ia lihat dan rasakan sebagai prilaku koruptif, itulah yang ditulis dan dilaporkannya. Boleh jadi ada pertanyaan; apakah si "Putra Angkasa" ini tentara yang berjiwa pengecut dan jauh dari sikap ksatria karena menyembunyikan identitasnya? Masih bisa diperdebatkan!

Di kalangan atasannya atau korps di mana dia berdinas, tentulah jiwanya tidak patriotik karena telah mengungkap aib ke luar barak. Tetapi bagi orang yang mengidam-idamkan pemerintah yang bersih, apa yang dilakukannya adalah sangat ksatria karena ia mengungkapkan hal itu untuk kepentingan orang banyak. Kalau menggunakan nama jelas, sudah pasti ia sedang melakukan bunuh diri!

Contoh lain adalah Kompasianer dengan akun "Susi Avivah" yang menulis berita menggemparkan berjudul Ardi Bakrie Murka Iklan Jokowi Muncul di Viva.co.id. (7 April 2014). Tulisan yang membocorkan adanya surat edaran agar karyawan yang menyalahi "aturan" dipersilakan keluar dari perusahaannya karena memasang iklan Jokowi jelang pemilu legislatif dianggap sebagai kesalahan fatal, kemudian banyak dikutip media arus utama dan menjadi isu nasional. Siapa si "whistle blower" alias pengungkap aib tersebut. Jelas nama yang tertera di Kompasiana sebagai pemilik akun "Susi Avivah". Tetapi siapakah "Susi Avivah" sebenarnya? Boleh jadi dia salah satu karyawan yang bekerja di lingkungan Grup Bakrie.

Satu lagi yang tidak kalah fenomenalnya adalah pemilik akun "Penulis UGM" yang pada 15 Februari 2014 menulis artikel yang sangat menggemparkan jagat akademis, "Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang (OPINI-nya di Kompas 10 Februari 2014)". Mengapa disebut menggegerkan jagat akademi, karena tulisan itu telah memaksa Anggito Abimanyu sebagai dosen senior UGM mengundurkan diri dari almamaternya.

Menjadi bisa diidentifikasi bahwa baik "Putra Angkasa", "Susi Avivah", maupun "Penulis UGM", ketiganya sama-sama menggunakan nama samaran. Dua akun tanpa foto profil, sedangkan "Penulis UGM" menggunakan foto menggambarkan seorang bocah ingusan (dalam arti sebenarnya). Persamaan di antaranya ketiganya, mereka sama-sama hanya menulis satu artikel saja, untuk selanjutnya ketiganya "menghilang" bagai ditelan bumi tanpa pernah muncul kembali di Kompasiana.

Dalam tulisan singkat ini, saya tentu saja tidak akan mendalami masing-masing konten tulisan itu, pembaca dapat menelaah dan mempelajarinya sendiri sebagai sebuah kajian. Hanya saja, sebagaimana Kompasiana bertumbuh dari pengalaman, dari satu peristiwa ke peristiwa lain secara dinamis, telah menyadarkan saya bahwa Kompasiana boleh jadi (ke depan) akan bertumbuh sebagai media "whistle blower" alias media pengungkap aib paling berpengaruh.

Apakah si pengungkap aib itu layak dimasukkan sebagai "penulis pengecut" karena tidak bersedia menunjukkan identitasnya? Kita bisa berdebat di sini. Bagi saya, upaya menulis dan mengungkap aib yang ada di sekitarnya, apalagi menyangkut kepentingan orang banyak, adalah suatu keberanian tersendiri terlepas dari ia secara "pengecut" menyembunyikan identitasnya. Kalau dengan nama terang atau identitas jelas, bisa jadi dia sedang melakukan bunuh diri atau paling ringan "sok jagoan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun