[caption id="attachment_338807" align="aligncenter" width="614" caption="Iskandar Zulkarnaen (Kompasiana/ dok. Marlistya Citraningrum)"][/caption]
Sesungguhnya bukan yang pertama buat Kompasiana. Pada tahun 2010 lalu saat Piala Dunia sepakbola berlangsung di Afrika Selatan, Kompasiana mengirimkan seorang Kompasianer untuk meliput pesta olahraga terbesar se-Galaksi Bima Sakti itu. Si Kompasianer lolos setelah melalui penyaringan tertulis dan kepergiannya dibiayai oleh sponsor yang bekerja sama dengan Kompasiana kala itu. Sayangnya, gaung keberangkatan dan keberadaannya di Afrika Selatan tidak bergema dan menjalar. Tidak ada laporan pandangan mata dari Afrika Selatan saat berlangsungnya Piala Dunia. Tidak ada euforia sepakbola, setidak-tidaknya dalam bentuk laporan, yang bisa dinikmati pembaca. Alhasil, Kompasiana seperti tidak berbuat apa-apa, seperti tidak mengirim siapa-siapa.
Empat tahun kemudian, pada Piala Dunia tahun 2014 yang bakal berlangsung di Brasil Juni tahun 2014 ini, Kompasiana kembali mengirimkan seorang Kompasianer. Persisnya admin Kompasiana, yaitu saudara Iskandar Zulkarnaen. Pemilihan Iskandar ke Brasil kali ini bukan karena jasa baik pemasang iklan yang bekerja sama dengan Kompasiana. Iskandar berangkat ke Brasil tanpa pemasang iklan sekalipun! Keberangkatannya sepenuhnya atas tanggungan dan biaya PT KCM di mana Kompasiana bernaung.
Timbul pertanyaan; seberapa pentingkah Kompasiana mengirimkan seorang adminnya ke Piala Dunia di Brasil yang bergengsi itu? Bukankah mengirimkan seseorang ke Brasil untuk perhelatan akbar itu tidak murah? Apa nilai yang bakal didapat Kompasiana atas biaya yang dikeluarkan untuk menugaskan Iskandar? Apa manfaat buat Iskandar sendiri dan manfaat buat pembaca? Bukankah lazimnya pengiriman untuk meliput Piala Dunia jatuh pada wartawan di media arus utama? Mengapa sosial media Kompasiana harus "cawe-cawe" di Brasil dengan menghadirkan Iskandar sebagai "mata Kompasiana" di sana?
Pertama, tentu saja penting bagi Kompasiana untuk berada dalam pusaran peristiwa di mana miliaran pasang mata akan terpusat ke Negeri Samba Brasil selama perhelatan Piala Dunia empat tahunan itu berlangsung. Lagi pula, keberadaam Kompasiana pada ajang bergengsi itu melanjutkan "tradisi" empat tahun lalu, meski kali ini dengan format berbeda.
Kedua, nilai yang diperoleh Kompasiana dengan mengirimkan Iskandar ke Brasil adalah nilai "prestisius" yang bakal memperkuat branding Kompasiana sebagai media sosial terkemuka di Indonesia dan bahkan Asia. Bukan semata-mata bagaimana Kompasiana memperoleh uang. Sebagai media sosial, Kompasiana "tidak mau" kalah dengan media arus utama yang berlomba-lomba mengirimkan wartawannya ke sana, meski banyak pula di antara mereka yang gagal meliput. Mungkin karena persyaratannya yang sangat ketat, juga mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keberadaan peliput di Brasil.
Ketiga, manfaat buat Iskandar sebagai peliput peristiwa tentu saja tidak sedikit. Kepadanya Kompasiana memberikan peluang sekaligus tantangan bagaimana seorang penggiat media sosial bisa bersaing dengan wartawan profesional dari media arus utama dalam meliput peristiwa akbar sekaliber Piala Dunia. Dengan sendirinya, keberadaannya akan mengikis perasaan "minderwardig" yang mungkin saja merasuki dirinya saat berhadapan langsung dengan awak media arus utama. Rasa percaya diri penting buat bekal beranjak pada peristiwa besar lainnya di kemudian hari. Sedangkan manfaat buat pembaca Kompasiana, tentu saja bakal disuguhi laporan pandangan mata dari seorang Iskandar yang melihat peristiwa dari sisi kacamata jurnalisme warga!
Keempat, tidak lain sebagai eksistensi Kompasiana selaku media sosial di tengah arus besar media arus utama. Kompasiana adalah satu keniscayaan yang tidak bisa disepelekan atau direndahkan begitu saja hanya karena persoalan "wartawan" dan "bukan wartawan". Kenyataannya, warga yang bukan wartawan bisa menulis di Kompasiana dan itu dibaca publik secara masif. Diskusi "wartawan" dan "bukan wartawan" dengan sendirinya sudah tidak relevan lagi. Kenyataannya pula, tidak jarang laporan warga di Kompasiana  menjadi berita arus utama yang ramai diperbincangkan khalayak.
Kelima, keberadaan Iskandar di Brasil akan memberinya pengalaman dan pehamanan bagaimana laporan warga seharusnya ditulis, dikembangkan, dan disistribusikan. Apa kiranya format laporan yang tepat bagi peristiwa besar sekaliber Piala Dunia, apakah full text (narasi), memanfaatkan aplikasi semacam "Soundcloud" untuk  laporan verbal atau aplikasi "selfie video reportage" semacam "Videolicious" yang akan dikembangkan untuk pembaca Kompasiana di seluruh dunia.
Iskandar sebagai peliput Piala Dunia akan diberi tantangan yang berbeda dari sekadar wartawan profesional dari media arus utama bekerja, baik dalam cara penulisan maupun penyajian laporannya. Kepadanya akan dibekali seperangkat "alat perang" yang memungkinkan laporan bisa disampaikan secara "real time". Pada waktu-waktu tertentu, Iskandar akan memanfaatkan Google Hangout di mana Kompasianer bisa bertanya langsung, bahkan bisa memesan liputan peristiwa sepesifik untuk keesokan harinya. Kamera yang digunakan pun diupayakan terkoneksi ke internet (Wi-fi maupun 4G) sehingga bisa secepatnya termuat di Kompasiana. Di welcome page Kompasianasendiri bakal di-create semacam landing page khusus untuk keperluan liputan Piala Dunia Brasil itu.
Sebagai jurnalis warga, Iskandar bakal meliput sisi lain dari perhelatan Piala Dunia, bukan pertandingan per petandingan sepakbola yang sudah jatahnya wartawan media arus utama. Sisi lain itu tidak lain dari euforia warga global yang secara bersamaan berada di Brasil, potret sosial-politik warga Brasil saat berlangsungnya Piala Dunia, kuliner dan gaya hidup warga lokal yang praktis bersinggungan dengan warga "interlokal" saat berada di Brasil, dan sisi-sisi humanisme lainnya dari sebuah pesta besar Piala Dunia yang luput dari pandangan mata media "mainstream".
Selagi Iskandar mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatannya ke Brasil pada Juni ini, kita sebagai Kompasianer juga berharap banyak dari laporan "pandanngan mata" dan laporan "real-time"-nya seorang reporter warga di tengah pusaran arus besar media arus utama.
Kita tunggu saja!
***
Palmerah, siang berhujan, 28 Mei 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H