Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taufik Mihardja dalam Sepenggal Kenangan

28 Agustus 2014   05:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409158974100077709

[caption id="attachment_355751" align="aligncenter" width="604" caption="Taufik H Mihardja (Facebook Vik)"][/caption]

Pada rapat redaksi Kompas.com yang berlangsung hari Selasa, 26 Agustus 2014 mulai pukul 10.00 pagi, Redaktur Pelaksana Tri Wahono memberi kesempatan kepada Taufik Hidayat Mihardja sebagai Pemimpin Redaksi untuk memberi usulan atau pandangan mengenai isu apa yang layak digoreng di hari-hari mendatang. "Apa, ya?" jawabnya dengan nada bertanya. Ia yang sejak rapat dimulai lebih sering diam dan mendengarkan itu akhirnya berpesan agar berita sepakbola di Kompas.com lebih punya greget lagi. Selepas memimpin rapat, Taufik berlalu ke ruang kerjanya, sementara saya masih menulis resume rapat, setidaknya untuk catatan pribadi.

Kurang dari 19 jam kemudian saya mendapat kabar, Taufik meninggal dunia!

Saya tercenung dan tidak percaya atas kabar itu. Saya coba membuka profil Facebook miliknya, belum ada siapapun yang mengabarkan tanda-tanda yang menjurus kematian, katakanlah ucapan "Innalillahi", "RIP", dan semacamnya. Mungkin karena ia memproteksi akun Facebooknya sehingga siapapun tidak bisa menorehkan pesan di dindingnya. Otomatis yang bisa saya lakukan adalah "berteriak".... TAUFIKKKSSS diakhiri dengan tiga emoticons tanda bersedih di salah satu berita pamungkas yang ditautkannya di Facebook. Setelah memastikan kabar dari istrinya, Diana, saya pun menulis status mengenai kepergian Taufik.

Beberapa menit berselang, selagi saya berkendaraan menuju rumah duka di kawasan Pos Pengumben, saya biarkan pikiran melayang ke peristiwa yang boleh jadi mengingatkan hubungan terakhir saya dengan Taufik, baik untuk urusan pekerjaan atau urusan yang sifatnya pribadi. Meski kami berbeda garis tangan, Taufik yang kariernya melejit bagai roket, tetaplah "junior" saya dalam urusan angkatan kerja. Saya sudah berkarya di Harian Kompas sejak 1990, Taufik menyusul setahun kemudian. Tetapi untuk urusan berita, saya adalah "yesterday afternoon journalist" di matanya karena saya baru benar-benar menjadi wartawan tahun 1995, sementara Taufik sebelum masuk Kompas pun sudah berkarya sebagai wartawan Kantor Berita Antara. Dan ketika dia menjadi atasan saya untuk selama kurang lebih 16 tahun terhitung sejak dia menjadi wakil editor politik, saya menempatkannya sebagai pimpinan dan saya ikut kehendaknya.

Dari pengembaraan ingatan saya, untuk urusan pekerjaan misalnya, saya menangkap sekelebat peristiwa yang terjadi beberapa hari sebelumnya saat saya harus menandatangani sebanyak dua kali RKK atau semacam progres pencapaian saya bekerja selama satu semester terakhir. Ini tidak biasanya.

Untuk urusan nilai di mana saya harus menilai pekerjaan saya, saya tidak mau ambil pusing dan menyerahkan pada pimpinan saya itu, mau nilai berapa pun silakan. Bukan saya tidak butuh nilai baik yang kelak akan berpengaruh terhadap bonus maupun gratifikasi yang akan saya terima, lebih karena saya kadang tidak mampu menilai pekerjaan saya sendiri. Demikian mudahnya saya menilai rekan kerja yang kebetulan jenjangnya ada di bawah saya, tetapi saya kesulitan menilai diri saya sendiri. Untuk itulah saya menyerahkannya kepada Taufik.

Akibat "kemalasan" saya menilai diri sendiri, SDM berbaik hati membantu saya memberikan nilai 2,75 yang sebenarnya sudah masuk antara C dan B. Untuk nilai perkiraan SDM pun saya terima saja dan langsung menyatakan setuju dengan menandatangani kolom persetujuan, tanpa memberi catatan keberatan atau setuju kepada pimpinan. Demikianlah mekanisme penilaian karya di kantor kami berkerja. Namun keesokan harinya saya ditelepon SDM agar segera ke kantor untuk menandatangani RKK "lainnya". Saya tanya kepada rekan SDM mengapa saya harus menandatangani dua kali RKK itu. "Oh, sudah dikoreksi, ini nilainya menjadi 3," kata rekan SDM. Saya tahu persis siapa yang mengoreksi nilai 2,75 ke 3 itu.

Saat saya hendak membubuhkan RKK yang baru, saya melihat dua tanda tangan Taufik sudah ada dan mendahului saya. "Lho, mestinya saya yang terlebih dahulu menandatangani RKK ini, baru Taufik yang setuju dan menandatanganinya," kata saya kepada rekan SDM yang kemudian mengangkat bahunya pertanda tidak mengerti. Saya berpikir baik, mungkin karena Taufik sudah yakin atas nilai yang sudah diubah SDM itu, lagi pula pengembalian berkas RKK sudah nyaris menyentuh tenggat waktu. Saya yang tidak pernah memberi catatan "bawahan" terhadap "atasan" di RKK tersebut, baru kali itulah saya memberi catatan. Persisnya bukan catatan, tetapi ungkapan syukur. Di catatan RKK itu saya menulis, "Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Vik!"

Demikianlah, bahasa RKK yang seharusnya resmi, saya gunakan seakan-akan sebagai pesan biasa dengan bahasa yang cair, seperti bahasa tutur. Alhasil, kami berdua sama-sama melakukan "sesuatu" yang tidak seperti biasanya; tidak biasanya Taufik membubuhi tandatangan di RKK sebelum bawahannya mendandatangani dan tidak biasanya saya memberi catatan kepada atasan di RKK itu selama sekian tahun saya menjadi bawahannya. Saya tidak tahu, apakah pesan di RKK itu sempat ia baca atau belum. Bukan masalahlah.

Itu untuk urusan pekerjaan. Untuk urusan pribadi.... saya coba memutar kembali ingatan saya. Got it!

Dua bulan sebelumnya saya mendengar Vik, demikian kami memanggilnya sesuai inisialnya di Harian Kompas, menderita sakit gagal ginjal. Konon pula, satu ginjal sudah tidak berfungsi dan satunya lagi berfungsi tinggal 30 persen. Saat itu Taufik sudah mulai cuci darah dan "pekerjaan"-nya mencari informasi mengenai transplantasi ginjal sudah sering dilakukannya lewat internet. Untuk yang satu ini, saya memberanikan diri menghadap di ruang kerjanya mengenai sakitnya itu. Yang saya dapatkan adalah pernyataan singkat, "Ah sudahlah, nggak penting dan nggak perlu dibahas itu. Gue baik-baik aja, Pep!"

Syukurlah, pikir saya, sebab setahu saya Taufik menderita jantung dan pernah dirawat intensif di Harapan Kita. Masih terbayang, dua tahun sebelumnya saat ia merayakan usianya yang setengah abad persis, wajahnya berbinar cerah. Tetapi tidak saat saya menemuinya di ruang kerjanya. Pucat.

Tetapi saya skeptis dan tidak puas dengan jawabannya, meski saya tak kuasa mendesaknya. Saya hanya ngeloyor pergi dan bertekad mencari informasi dari pihak lain; istrinya. Lewat istri saya yang berteman dengan Diana, istri Taufik, istri saya dua kali kopdaran di sebuah mal di bilangan Jakarta Pusat. Dari dua kali kopdaran itu, misi saya mengorek informasi pasti tentang kesehatannya dari istrinya sendiri menemui kegagalan. "Diana tidak mau cerita apa-apa tentang kesehatan Taufik," lapor istri saya. Ya sudah, semoga dia memang sehat-sehat saja, pikir saya. Saya sempat berpikir lain, jangan-jangan ia tidak mau orang ikut susah karena sakitnya itu!

Sudah hampir dua tahun Taufik tidak lagi hadir di Rapat Redaksi Harian Kompas setiap hari Rabu. Pada hari Rabu 13 Agustus 2014, saya dititipi pesan oleh Redaktur Pelaksana Harian Kompas James Luhulima agar Taufik ikut rapat "Reboan" lagi. Alasannya, Taufik sudah sepenuhnya menjadi Pemred Kompas.com. "Maksudnya saya ikut lagi rapat Rabu?" demikian pesan BBM Taufik pada hari itu juga kepada saya yang tentu saja saya iyakan. "Oh, okay," tulisnya lagi menyanggupi. Artinya, Rabu depannya lagi atau tanggal 20 Agustus, seharusnya Taufik memenuhi kesanggupan ikut Rapat Reboan.

Tetapi, sampai pada waktunya, saya tidak melihat kehadiran Taufik, dan usai rapat saya cek ke sekretarisnya, Angel. Saya mendapat keterangan dari Angel, "Mas Vik tidak mungkin hadir di rapat Rabu, itu waktunya dia rutin memeriksakan diri ke Siloam."

Rabu, 27 Agustus 2014 pagi ini, saya masih berharap Taufik ikut rapat Rabu biar ada perwakilan Kompas.com dan saya bisa sepenuhnya mewakili Kompasiana.com. Selama ini saya menjadi semacam wakil kedua media online tersebut. Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Bukan hanya Taufik yang dikenal rekan-rekan sejawat sebagai rendah hati dan tidak sombong itu tidak bisa hadir di Rapat Reboan, tetapi dia pergi untuk selamanya karena panggilan-Nya yang tak kuasa ditolaknya. Lewat penuturan Diana istrinya kemudian, tubuh Taufik sudah mendingin saat ia hendak membangunkannya sholat subuh. Tidak ada respons, nafasnya pun telah hilang.

Saya hanya bisa tertegun saat saya mengusap kening Taufik yang beku, di rumah duka sebelum jenazah yang membujur kaku itu dishalatkan dan diberangkatkan ke peristirahatan terakhirnya di Cikalong, Jawa Barat. Diana meminta saya agar memaafkan seuaminya jika ada kesalahan. Saya mengangguk. Air mata ini menggenang dan jatuh.

Suatu saat nanti, kita bertemu lagi, Vik....

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun