Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taufik Mihardja dalam Sepenggal Kenangan

28 Agustus 2014   05:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua bulan sebelumnya saya mendengar Vik, demikian kami memanggilnya sesuai inisialnya di Harian Kompas, menderita sakit gagal ginjal. Konon pula, satu ginjal sudah tidak berfungsi dan satunya lagi berfungsi tinggal 30 persen. Saat itu Taufik sudah mulai cuci darah dan "pekerjaan"-nya mencari informasi mengenai transplantasi ginjal sudah sering dilakukannya lewat internet. Untuk yang satu ini, saya memberanikan diri menghadap di ruang kerjanya mengenai sakitnya itu. Yang saya dapatkan adalah pernyataan singkat, "Ah sudahlah, nggak penting dan nggak perlu dibahas itu. Gue baik-baik aja, Pep!"

Syukurlah, pikir saya, sebab setahu saya Taufik menderita jantung dan pernah dirawat intensif di Harapan Kita. Masih terbayang, dua tahun sebelumnya saat ia merayakan usianya yang setengah abad persis, wajahnya berbinar cerah. Tetapi tidak saat saya menemuinya di ruang kerjanya. Pucat.

Tetapi saya skeptis dan tidak puas dengan jawabannya, meski saya tak kuasa mendesaknya. Saya hanya ngeloyor pergi dan bertekad mencari informasi dari pihak lain; istrinya. Lewat istri saya yang berteman dengan Diana, istri Taufik, istri saya dua kali kopdaran di sebuah mal di bilangan Jakarta Pusat. Dari dua kali kopdaran itu, misi saya mengorek informasi pasti tentang kesehatannya dari istrinya sendiri menemui kegagalan. "Diana tidak mau cerita apa-apa tentang kesehatan Taufik," lapor istri saya. Ya sudah, semoga dia memang sehat-sehat saja, pikir saya. Saya sempat berpikir lain, jangan-jangan ia tidak mau orang ikut susah karena sakitnya itu!

Sudah hampir dua tahun Taufik tidak lagi hadir di Rapat Redaksi Harian Kompas setiap hari Rabu. Pada hari Rabu 13 Agustus 2014, saya dititipi pesan oleh Redaktur Pelaksana Harian Kompas James Luhulima agar Taufik ikut rapat "Reboan" lagi. Alasannya, Taufik sudah sepenuhnya menjadi Pemred Kompas.com. "Maksudnya saya ikut lagi rapat Rabu?" demikian pesan BBM Taufik pada hari itu juga kepada saya yang tentu saja saya iyakan. "Oh, okay," tulisnya lagi menyanggupi. Artinya, Rabu depannya lagi atau tanggal 20 Agustus, seharusnya Taufik memenuhi kesanggupan ikut Rapat Reboan.

Tetapi, sampai pada waktunya, saya tidak melihat kehadiran Taufik, dan usai rapat saya cek ke sekretarisnya, Angel. Saya mendapat keterangan dari Angel, "Mas Vik tidak mungkin hadir di rapat Rabu, itu waktunya dia rutin memeriksakan diri ke Siloam."

Rabu, 27 Agustus 2014 pagi ini, saya masih berharap Taufik ikut rapat Rabu biar ada perwakilan Kompas.com dan saya bisa sepenuhnya mewakili Kompasiana.com. Selama ini saya menjadi semacam wakil kedua media online tersebut. Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Bukan hanya Taufik yang dikenal rekan-rekan sejawat sebagai rendah hati dan tidak sombong itu tidak bisa hadir di Rapat Reboan, tetapi dia pergi untuk selamanya karena panggilan-Nya yang tak kuasa ditolaknya. Lewat penuturan Diana istrinya kemudian, tubuh Taufik sudah mendingin saat ia hendak membangunkannya sholat subuh. Tidak ada respons, nafasnya pun telah hilang.

Saya hanya bisa tertegun saat saya mengusap kening Taufik yang beku, di rumah duka sebelum jenazah yang membujur kaku itu dishalatkan dan diberangkatkan ke peristirahatan terakhirnya di Cikalong, Jawa Barat. Diana meminta saya agar memaafkan seuaminya jika ada kesalahan. Saya mengangguk. Air mata ini menggenang dan jatuh.

Suatu saat nanti, kita bertemu lagi, Vik....

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun