Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Revolusi dari Desa di Perbatasan Indonesia-Malaysia #journeylism -1

23 Oktober 2014   19:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:59 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_368530" align="aligncenter" width="560" caption="Pesta adat tradisional Dayak di Malinau/Pepih Nugraha"][/caption]

Malinau. Jujur, semula saya pikir Malino, kawasan puncak perbukitan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang sudah tidak asing bagi saya. Malino kok di Kalimantan? pikir saya. Tetapi ingatan segera berputar dan hinggap di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara di mana Malinau terletak di tapal batas wilayah itu.

Peristiwa bermula ketika Pemred Kompas.com yang baru, Achmad Subechi, memberi saya sebuah nomor ponsel. Nomor Bupati Malinau Yansen TP. "Kau hubungi dia. Dia doktor ilmu pemerintahan. Orangnya pintar. Di Malinau sedang pesta adat tradisional Irau," pesannya. "Kau kesanalah!"

Bechi, demikian saya memanggilnya, tentu saja sangat mengenal Bupati Yansen karena sebelumnya bertugas di Kalimantan Timur sebagai Pemred Tribun Kaltim. Saya senang-senang saja diminta jalan-jalan, ke Kalimantan pula. Memang agak sedikit "kelam" perkenalan saya dengan Kalimantan terkait kerusuhan horisontal yang mengharu biru beberapa tahun silam. Saya sempat ke Sanggauledo di Pontianak naik helikopter sebelum kerusuhan Sampit meledak. Tetapi, sekarang saya ke Kalimantan untuk suasana yang "enjoy". Sebuah perjalanan wisata-jurnalistik yang saya sebut "Journeylism".

Saya memperkenalkan diri melalui pesan singkat dan langsung menghubunginya. Di telepon saya mengutarakan niat saya mengunjungi Malinau, melihat pesta adat Irau dan menghadiri bedah buku yang ditulisnya. "Oh, suatu kehormatan apabila Pak Pepih bisa hadir di Malinau," kata Bupati Yansen di ujung telepon, sepekan sebelum bedah buku yang berlangsung 17 Oktober 2014 berlangsung. "Pak Pepih", oh.... betapa kata "Pak" di depan nama saya sungguh menyadarkan bahwa saya memang sudah tidak muda lagi, dan Bupati Yansen tidaklah salah.

Anyway... Saya meminta sekretaris dan manajemen mempersiapkan segala keperluan untuk keberangkatan saya ke Malinau. Dan hari Kamis, 16 Oktober 2014 saya terbang menggunakan Lion Air yang terpagi, penerbangan pukul 05.00 WIB. Saya manfaatkan waktu perjalanan untuk merem karena tadi harus bangun pukul dua dinihari, tetapi usaha itu gagal. Alhasil hanya bisa membunuh waktu dengan membaca buku esai kebudayaan karangan Mohamad Sobary berjudul agak menyeramkan, "Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal", sampai "Singa Udara" itu tiba di Bandara Internasional Juwata Tarakan dua setengah jam kemudian.

Menjejakkan kaki di garbarata bandara internasional ini jadi teringat Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang sudah menjadi kumuh, kolot, dan kotor. Sepekan sebelumnya, saya juga menginjakkan kaki di Bandara Internasional Kualanamu, yang meski belum selesai pembangunan seluruhnya, sebagaimana Bandara Internasional Juwata ini, tetapi sudah menunjukkan kemewahannya. Di Kualanamu, kereta api yang menuju Kota Medan malah sampai menyentuh bibir jalur kedatangan. Satu-satunya bandara yang berkereta di Indonesia. Juwata, sedang membangun geliatnya, meski tidak mungkin dilengkapi kereta yang menyentuh bibir bandara. Belum ada kereta di Kalimantan, bukan?

Ternyata saya diperlakukan sebagai "orang penting" di Juwata ini, paling tidak ada orang yang mencari saya saat saya sarapan pagi di restoran yang dikelola Dharma Wanita (masih ada, ya?). Rolan namanya. Olehnya, saya kemudian diajak ke ruang tunggu VIP dan urusan tiket pesawat Tarakan-Malinau tahu beres, demikian juga bagasi saya. "Di Malinau bagasi juga ada yang mengurus," katanya. Jadi, enteng saja saya memasuki ruang VIP bandara Juwata.

Di sana saya bertemu Anya Dwinov. Pesohor tentunya, sehingga saya langsung mengenalnya. Lebih belia dari yang semula saya duga. Bersama tiga rekannya; manajer, perias wajah, dan asisten pribadinya, mereka berempat juga punya tujuan yang sama, yaitu Malinau. Kami saling berkenalan. "Saya diminta sebagai moderator bedah buku Revolusi dari Desa," kata Anya saat saya tanya maksud kehadirannya di Malinau. Saat Anya bertanya balik maksud kedatangan saya ke Malinau, saya menjawab, "Menghadiri acara bedah buku yang dimoderatori Anya." Kami tertawa dan cepat akrab.

Pesawat yang membawa kami dan penumpang lainnya bernama Kalstar, pesawat berbaling-baling dengan kapasitas sekitar 40-an penumpang. Perjalanan Tarakan-Malinau berlangsung hanya 20 menit saja di ketinggian 7.000 kaki. Robert Atty Bessing, nama bandara Malinau, adalah bandara sederhana dengan runway pendek yang hanya bisa didarati pesawat penumpang kecil. Kami digiring ke ruang VIP bandara Malinau itu dan Anya sudah harus melayani orang-orang yang ingin berfoto bersamanya. Hari pertama saya ditempatkan di sebuah hotel, persisnya penginapan tiga lantai yang lumayan representatif dan menghabiskan "malam pertama" saya di Malinau tanpa kegiatan berarti.

[caption id="attachment_368531" align="aligncenter" width="432" caption="Saya bersama Bupati Malinau Dr Yansen"]

14140434881310721230
14140434881310721230
[/caption]

Saya baru mengenal dan bersalaman dengan Bupati Yansen, sohibul bait sekaligus penulis buku Revolusi dari Desa, pada keesokan harinya, yakni saat acara bedah buku itu akan dimulai. Saya sedang duduk di kursi perserta dan seorang petugas mencolek saya. "Tempat duduk Bapak di sana," katanya. Di aula yang besar itu saya digiring ke tempat duduk VIP yang diminta si petugas. Suasana yang agak aneh, pikir saya. Bukankah saya hanya sebagai hadirin saja? Semua orang VIP mengenakan batik resmi, dan saya yang digiring ke tempat duduk VIP hanya mengenakan kemeja biru kotak-kotak kecil. Sampai di sini saya tidak merasa bersalah, toh saya hadir sebagai hadirin biasa yang bermaksud mengundang Yansen ke Jakarta dalam sebuah acara.

Di tangan saya sudah ada buku yang akan dibedah, buku yang baru beberapa menit lalu diberikan Mas Dodi Mawardi yang akan bertindak sebagai MC sekaligus moderator bersama Anya Dwinov. Saya berniat memperkenalkan diri kepada Bupati Yansen yang hadir dengan kalung adat kebesarannya, tetapi dia langsung menyapa, "Pak Pepih, ya?" Saya mengangguk dan menyalaminya. Bincang sebentar sambil berdiri dan itu cukup menyedot perhatian hadirin. Mungkin mereka pikir, siapa orang ini?

Saya agak rikuh juga duduk diapit para petinggi Kabupaten Malinau, sebuah kabupaten baru berumur 15 tahun yang berpisah dari kabupaten induk, Bulungan. Di samping kiri saya duduk Kapolres AKBP Yohanes Agus Rijanto, di kanan saya Wakil Bupati Malinau Topan Amrullah yang duduk berdampingan dengan Bupati Yansen. Hadir pula Komandan Kodim Letkol Agus Bhakti, duduk dekat Bupati. Di belakang panggung terdapat backdrop terkait dengan bedah buku yang dihadiri 1.500 orang itu dengan dua pembedah utama; Prof Dr Sadu Wasistiono, profesor dalam bidang sistem pemerintahan dan otonomi daerah di IPDN, dan Prof Dr Soesilo Zauhar, ketua program doktor ilmu administrasi Universitas Brawijaya.

Ini bedah buku kolosal yang pernah saya hadiri. Selain dihadiri lebih dari seribu orang, di antaranya kepala desa dan camat se-Malinau, para akademisi dari luar yang sengaja diundang, tokoh masyarakat setempat, para pegawai negeri sipil dan pegawai swasta, mereka bakal menyimak paparan Bupati Malinau mengenai buku yang ditulisnya, disusul bedah buku yang menghadirkan dua profesor tadi, lengkap dengan penulis buku Dr Yansen sendiri. Beberapa saat sebelum acara dimulai, yaitu menampilkan seni tari tradisional Dayak, Bupati Yansen mendatangi tempat duduk saya. "Nanti Pak Pepih juga tampil di panggung sebagai pembicara," bisiknya.

Alamak!!! How come! Bagaimana ini bisa terjadi? Kaget luar biasa saya mendengar permintaannya di antara gemuruh suara hadirin.

Memang beberapa saat sebelumnya saat saya menerima buku dari Mas Dodi, saya diberi tahu mengenai kemungkinan saya tampil sebagai pembicara. Tetapi itu imposible, pikir saya. Masak saya dipersandingkan dengan dua profesor yang sangat ahli di bidang ilmu pemerintahan? Saya sama sekali tidak ada persiapan dan itu tercermin dari kemeja lengan pendek yang saya kenakan, bukan kemeja batik lengan panjang yang resmi sebagaimana kalau saya didapuk sebagai pembicara. Artinya, saya sama sekali tidak berpretensi macam-macam di acara akbar itu, apalagi sebagai pembicara!

Ilmu politik dan ilmu hukum tata negara bukanlah barang baru bagi saya, sebab sepanjang tahun 1997-2000 saya meliput parlemen dan partai-partai politik. Saya cukup paham saat anggota Majelis mengamandemen konstitusi. Saya berteman dengan Profesor Ryaas Rasyid saat yang bersangkutan menyusun RUU Susduk, RUU Pemilu, dan RUU Otonomi Daerah. Berbekal ilmu yang tidak didapat dari bangku kuliah itulah saya mengangguk, mengiyakan saja, sebab tidak mungkin juga saya menolak permintaannya. No way out!

Sekuat-kuatnya mental saya dalam menghadapi suasana, agak melayang juga saat saya melangkahkah kaki ke atas panggung saat Anya Dwinov dan Dodi Mawardi menyebut nama saya. Pikiran berkecamuk tidak karuan, tetapi tantangan sedang membentang persis di depan. (bersambung)

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun